



Kenapa Ada Suami yang Egois? Ini Penjelasan Psikolog
– Pernikahan tidak selamanya berjalan mulus. Ada banyak faktor yang bisa mengguncang pernikahan, seperti suami yang egois.
Psikolog klinis dewasa dan peneliti relasi interpersonal Dr. Pingkan C.B Rumondor, M.Psi. menjelaskan, ada penyebab di balik sifat suami yang egois.
“Kemungkinannya adalah belum matang secara emosional,” kata Pingkan yang sudah berpengalaman selama 14 tahun dan membuka praktik pribadi di SILC Counseling, kepada Kompas.com, Rabu (11/6/2025).
Ada beberapa kebutuhan emosional mendasar manusia yang perlu terpenuhi, di antaranya adalah kasih sayang, rasa aman, validasi, penerimaan, dan perasaan aman dalam berhubungan dengan orang lain.
Perihal suami yang egois, Pingkan melanjutkan, mereka bisa saja belum menemui cara untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya sendiri.
Meskipun sudah mengetahui kebutuhan emosionalnya, belum tentu mereka mampu untuk memenuhinya sendiri, sehingga bergantung pada orang terdekatnya.
Cara mengatasi perasaan egois
Bukan berarti hal ini tidak bisa diatasi. Menurut Pingkan, keegoisan suami bisa “diobati” dengan cara dilatih.
Namun, seorang suami harus menyadari bahwa dirinya egois terhadap istrinya.
Kesadaran seorang suami akan sifatnya bisa dimulai dari obrolan atau keluhan sang istri terhadap keegoisannya.
“Dia harus belajar mengenali emosinya sendiri. Misalnya egois itu, sebenarnya dia merasa apa sih? Perilaku yang egois itu apa sih?” tutur Pingkan.
Misalnya, suami mengharuskan istrinya membuatkan teh setiap hari, sedangkan dirinya tidak pernah melakukannya kepada sang istri.
Perilaku seperti itu bisa digali, misalnya dengan menyadari apa yang dirasakan ketika selalu disuguhi teh oleh istrinya. Lalu, gali lebih dalam tentang perasaan itu.
Apakah sang suami merasa diabaikan ketika pasangannya sedang tidak ada, sehingga untuk merasa tidak diabaikan, ia ingin selalu dibuatkan teh oleh istrinya.
“Jadi, dia harus bisa mengenali. Kedua, mengomunikasikan perasaan tersebut. Yang ketiga semacam menegosiasikan. Jadi, sebaiknya gimana ya? Mana perilaku yang buat pasangannya oke, tapi buat dia juga oke,” ucap Pingkan.
Sebab, hubungan yang sehat bukanlah ketika sebuah perilaku hanya memuaskan salah satu pihak, tetapi pihak lainnya merasa tertekan atau terpaksa.
“Perlu ada pengenalan terhadap emosi sendiri, kebutuhan diri sendiri, mengkomunikasikan itu, dan menegosiasikan. Bisa kompromi,” pungkas dia.