Keberlanjutan Laut Indonesia: Menggagas Solusi Ancaman ''Overfishing''
Kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan.(DOK. Humas Ditjen Perikanan Tangkap)
09:20
19 Januari 2024

Keberlanjutan Laut Indonesia: Menggagas Solusi Ancaman ''Overfishing''

WILAYAH kelautan Indonesia bukan sekadar merupakan sumber kekayaan vital bagi kehidupan masyarakat pesisir, tetapi juga memainkan peran penting dalam penyediaan pangan dan menjaga keberlanjutan ekosistem laut secara global.

Keberagaman hayati laut yang kaya di perairan Indonesia menyediakan mata pencaharian, sumber protein, dan keindahan alam yang tak ternilai.

Namun, di balik potensi luar biasa ini, tantangan utama yang dihadapi adalah penangkapan ikan berlebih atau overfishing, yang kini mengancam kelestarian dan keseimbangan ekosistem laut di Nusantara.

Overfishing merupakan ancaman serius terhadap keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Indonesia.

Aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan, terutama menggunakan alat tangkap yang merusak dan teknik penangkapan yang tidak selektif, dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem laut yang luas.

Terumbu karang, tempat hidup berbagai spesies ikan dan organisme laut lainnya, dapat mengalami degradasi yang signifikan.

Ancaman terhadap keberlanjutan ini tidak hanya berdampak pada ekosistem lokal, tetapi juga memiliki dampak yang meluas hingga ke ekosistem laut global.

Maka penangkapan ikan berlebih juga dapat menyebabkan penyusutan stok ikan yang signifikan. Kondisi ini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup spesies ikan tertentu, tetapi juga menciptakan ketidakseimbangan ekologis dalam rantai makanan laut.

Penyediaan pangan dan kontribusi ekonomi

Penangkapan ikan bukan hanya sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap penyediaan pangan dan kontribusi ekonomi, terutama seiring pertumbuhan populasi yang terus meningkat.

Industri perikanan tidak hanya memberikan pekerjaan kepada ribuan orang, tetapi juga menjadi sumber protein hewani yang vital bagi masyarakat.

Ketergantungan ini membuat pentingnya menjaga keberlanjutan dan keseimbangan dalam pengelolaan sumber daya laut.

Hal ini berkaitan pula terhadap kontribusi ekonomi yang substansial. Hingga 10 Desember 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperoleh capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor tersebut sebesar Rp 1,41 triliun, mendekati target optimistis Rp 1,6 triliun hingga akhir tahun.

Dengan pencapaian ini, KKP mengekspresikan keyakinan bahwa melalui program transformasi tata kelola sektor kelautan dan perikanan, PNBP dapat terus melesat di tahun-tahun mendatang.

Maka dalam melihat tren realisasi PNBP sektor kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan signifikan.

Dari Rp 267,4 miliar pada 2014, hingga mencapai Rp 1,87 triliun pada 2022, dan capaian sementara Rp 1,41 triliun pada tahun 2023.

Pertumbuhan ini mencerminkan kontribusi penting sektor ini terhadap ekonomi nasional. Bersamaan ini pula harusnya kesuksesan ekonomi sektor perikanan tidak hanya dilihat dari angka PNBP semata.

Pengelolaan perikanan yang baik menjadi kunci untuk memastikan bahwa penangkapan ikan memberikan kontribusi positif terhadap keamanan pangan.

Dengan ketersediaan ikan yang cukup dan berkelanjutan, sektor perikanan dapat membantu mengatasi masalah kelaparan dan malnutrisi di masyarakat.

Pentingnya pendekatan berkelanjutan dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya perikanan semakin terasa.

KKP sebagai pengawas sektor ini memiliki peran krusial dalam memastikan keberlanjutan ekosistem laut, menjaga keberagaman jenis ikan, dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan laut.

Tidak hanya memiliki dampak ekologis, penangkapan ikan juga memiliki dampak ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat pesisir dan nelayan.

Selain memberikan lapangan pekerjaan, industri perikanan menjadi tulang punggung ekonomi bagi komunitas pesisir, menciptakan sumber pendapatan yang vital.

Oleh karena itu, perlindungan terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan tidak hanya berkaitan dengan lingkungan, tetapi juga dengan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.

Dengan demikian, sambil mengoptimalkan potensi PNBP, perlu diimbangi dengan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang berkelanjutan, memastikan bahwa kekayaan laut yang dimiliki Indonesia dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan generasi mendatang.

Nelayan kecil dan komunitas pesisir

Namun, praktik penangkapan ikan berlebih yang tidak terkendali dapat merugikan nelayan kecil dan komunitas pesisir yang bergantung pada hasil laut untuk kehidupan mereka.

Penurunan stok ikan dapat mengancam penghidupan nelayan, menciptakan tekanan ekonomi yang signifikan di tingkat lokal.

Pemerintah Indonesia telah merespons tantangan serius yang dihadapi sektor perikanan, khususnya penangkapan ikan berlebih, dengan menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT).

Kebijakan ini, yang berbasis kuota, diimplementasikan sejak awal 2024 sebagai upaya untuk mengatasi penangkapan ikan yang tidak terkendali.

Namun, pertanyaan muncul apakah kebijakan ini benar-benar efektif dalam mencapai tujuannya, atau justru menjadi alat kapitalisasi untuk keuntungan pengusaha besar perikanan.

Maka PIT seharusnya tidak hanya menjadi model pengkaplingan wilayah yang hanya menguntungkan pengusaha besar di industri perikanan yang semakin membesar.

Perubahan peraturan diperlukan untuk memastikan keberlanjutan sumber daya ikan, hal ini penting untuk mengevaluasi dampak dan implikasi kebijakan ini terhadap seluruh rantai nilai perikanan, terutama nelayan tradisional.

Salah satu aspek kritis yang perlu dievaluasi adalah apakah PIT benar-benar mencapai tujuannya dalam mengurangi tingkat penangkapan ikan berlebih.

Meskipun kuota dapat menjadi alat efektif untuk mengontrol eksploitasi, implementasinya justru memerlukan pemahaman mendalam tentang dinamika setiap wilayah tangkapan ikan.

Penting untuk memastikan bahwa kuota yang ditetapkan tidak hanya memberikan keuntungan kepada pengusaha besar, tetapi juga memberikan ruang bagi nelayan tradisional untuk berkontribusi tanpa terasa terpinggirkan.

Namun, realitas di lapangan seringkali lebih kompleks daripada sekadar penerapan aturan. Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif menjadi kunci kesuksesan kebijakan ini.

Pemerintah perlu memastikan bahwa sumber daya manusia dan teknologi yang memadai tersedia untuk mengawasi kepatuhan terhadap kuota dan mencegah pelanggaran.

Selain itu, perlu dipertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan ini, terutama pada nelayan tradisional.

Pengurangan akses ke wilayah tangkapan ikan, atau pembatasan alat tangkap, dapat berdampak signifikan pada mata pencaharian dan keberlanjutan ekonomi nelayan tradisional.

Oleh karena itu, penyesuaian dan bantuan perlu dipertimbangkan untuk membantu nelayan tradisional beradaptasi dengan perubahan tanpa mengorbankan kesejahteraan mereka.

Berkaitan dengan ini penting juga untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan perikanan dan kebutuhan pangan masyarakat yang selalu dikukuhkan.

Indonesia, sebagai negara maritim dengan kekayaan laut melimpah, memiliki sejarah panjang dalam kegiatan perikanan. Nelayan tradisional telah menjadi penjaga keberlanjutan sumber daya laut, mengandalkan kearifan lokal dan pengetahuan turun-temurun.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peraturan yang tidak berpihak telah muncul, membawa dampak negatif terhadap kehidupan nelayan tradisional.

Potensi besar bagi nelayan untuk mencari nafkah dan memastikan ketahanan pangan masyarakat terancam oleh peraturan yang tidak memihak.

Perubahan peraturan perikanan sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik nelayan tradisional.

Meskipun dirancang untuk konservasi sumber daya atau pengelolaan perikanan, peraturan tersebut tidak selalu memahami dinamika ekosistem lokal dan pola penangkapan ikan tradisional.

Dampaknya sangat terasa, baik secara ekonomi maupun sosial, bagi nelayan tradisional. Keterbatasan akses ke wilayah perairan dan pembatasan alat tangkap dapat menghambat produktivitas mereka.

Untuk bertahan hidup, beberapa nelayan bahkan terpaksa melakukan penangkapan ikan ilegal atau memindahkan operasi mereka ke wilayah yang lebih jauh, meningkatkan kompetisi dan potensi konflik antar-nelayan.

Salah satu contoh kebijakan yang memicu keluhan adalah Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang diterapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan tangkap, banyak pelaku usaha, terutama nelayan tradisional, merasa kebijakan ini memberikan lebih banyak beban daripada manfaat yang diinginkan.

Pelaku usaha perikanan terus menyuarakan keluhan terhadap dampak negatif kebijakan PIT. Mereka menegaskan bahwa kebijakan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam dan ketidakpuasan yang merajalela di kalangan mereka.

Kesenjangan yang signifikan muncul antara tujuan kebijakan, terutama peningkatan PNBP, dan realitas dampaknya pada pelaku usaha perikanan, khususnya nelayan tradisional.

Kompleksitas dalam evaluasi perizinan, yang melibatkan berbagai tahap perizinan seperti SIUP, SIPI, hingga SIKPI, juga menciptakan beban administratif yang dapat menghambat daya saing dan kesejahteraan pelaku usaha perikanan.

Meskipun demikian, tanpa memberikan jaminan bahwa tujuan kebijakan akan tercapai secara efektif.

Maka, diperlukan pelibatan nelayan tradisional dalam proses perencanaan dan pembuatan kebijakan. Hal ini dapat memastikan bahwa regulasi lebih memahami kebutuhan lokal dan mendukung praktik perikanan berkelanjutan.

Dengan demikian, penerapan kebijakan PIT berbasis kuota harus efektif diimplementasikan. Bersamaan pula adanya kepastian kuota yang bijak dapat membantu mengendalikan jumlah ikan yang ditangkap, menjaga keberlanjutan stok ikan, dan mengurangi risiko overfishing.

Tag:  #keberlanjutan #laut #indonesia #menggagas #solusi #ancaman #overfishing

KOMENTAR