Elvira Nabiullina, Benteng Penjaga Pertahanan Ekonomi Rusia
DI awal 2024, ada berita besar di Eropa yang jarang dilansir di media mainstream atau hanya jadi berita kecil bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin sudah mengklaim bahwa Rusia adalah negara yang ekonominya terbesar di Eropa berdasarkan "Purchasing Power Parity" (PPP).
Ini tentu seharusnya menjadi berita besar di Eropa. Namun karena Rusia sedang berperang dengan Barat dan berbagai upaya dilakukan untuk “menjegal” Rusia di forum dunia dengan cara memboikot atau menolak semua unsur Rusia atau orang Rusia, maka ada upaya untuk meredam informasi ini.
Berita Rusia menjadi ekonomi terbesar di Eropa dalam hal daya beli tentu membuat malu berbagai negara Eropa, terutama Jerman yang selalu dianggap sebagai negara terbesar di Eropa dalam banyak hal, termasuk dalam ukuran ekonomi dan industri.
Apalagi hal ini terjadi di saat Rusia mendapatkan berbagai sanksi ekonomi di Barat. Bahkan sudah mencapai 11 putaran sanksi, yang antara lain memutus Rusia dari SWIFT, menolak membeli minyak dan gas dari Rusia, memaksa berbagai industri dan merek Barat meninggalkan Rusia seperti McDonald, memberikan sanksi kepada entity yang melakukan bisnis dengan Rusia, hingga upaya membekukan berbagai aset dan dana milik Rusia atau orang Rusia yang ada di berbagai negara Eropa dan Amerika.
Sehingga banyak pihak yang menilai bahwa perang di Ukraina bukan sekadar adu tempur antara Rusia dan Ukraina dengan menggunakan senjata Barat, tapi juga perang ekonomi dahsyat dengan berbagai manuver kebijakan dan tindakan yang terkait dengan ekonomi.
Tujuannya membuat Rusia terjepit dan diharapkan bisa menyerah karena kesulitan ekonomi yang akan dihadapi.
Jika di front perang militer, panglimanya adalah Jenderal Sergei Shoigu dan Jenderal Valeri Gerasimov, yang masing-masing adalah Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata, maka di front perang ekonomi panglimanya adalah Elvira Nabiullina, Gubernur Bank Sentral Federasi Rusia.
Elvira Nabiullina membuat berbagai kebijakan untuk memproteksi Rusia dari berbagai dampak sanksi.
Nampaknya sebelum Rusia memulai serangan pada Februari 2022, Elvira Nabiullina sudah melakukan berbagai simulasi sanksi dan counter sanksi yang akan dilakukan dan juga melakukan stress test terhadap kemampuan Rusia menghadapi sanksi.
Apalagi Rusia bukan kali pertama ini menghadapi sanksi dari Barat. Sanksi Barat bahkan sudah ada sejak delapan tahun lalu saat Rusia menjadikan Krimea sebagai bagian dari Federasi Rusia.
Belajar dari delapan tahun pengalaman itu, maka batalyon ekonomi dengan komandan Elvira Nabiullina menyiapkan berbagai skenario sanksi yang mungkin dijatuhkan terhadap Rusia.
Saat serangan pertama ke Ukraina dimulai oleh Rusia dan kemudian nilai tukar mata uang Rusia Ruble mulai hancur, Rusia tiba-tiba membuat kebijakan bahwa semua transaksi pembelian minyak Rusia oleh negara yang tak bersahabat harus menggunakan Ruble.
Kebijakan ini bahkan membuat nilai tukar Ruble menguat dan menjadi paling kuat dalam delapan tahun terakhir sejak 2014.
Langkah ini dinilai sangat jenius dan mirip langkah Mahathir Muhammad memproteksi Ringgit dengan melarang Ringgit ditransaksikan di luar Malaysia pada saat krisis moneter 1998.
Saat Barat memutuskan Rusia dari sistem perbankan SWIFT sejak 2014 yang menyebabkan bank Rusia terasing dari sistem perbankan dunia, Rusia kemudian membuat sistem alternatif pengganti SWIFT yang dinamakan SPFS. Belakangan mengikuti konsorsium alternatif CIPS yang dibuat oleh China.
Upaya ini bahkan tak berdiri sendiri. Lewat BRICS, Rusia memulai insiatif untuk menggunakan mata uang lokal masing-masing dalam transaksi antara negara BRICS yang bahkan melakukan dua fungsi sekaligus, yaitu melakukan dedollarisasi dan sekaligus menggunakan sistem alternatif pengganti.
Pipa Gas Nord Stream I dan II diledakkan. Sampai sekarang tak ada negara yang mau mengaku sebagai pelakunya dan bahkan balik menuduh Rusia adalah pelakunya.
Rusia mengenyampingkan tuduhan itu dengan mengatakan bahwa untuk memutus gas ke Eropa, Rusia tak butuh meledakkan pipa gas tersebut dan cukup dengan memutar keran gasnya di Rusia.
Putusnya pasokan gas Rusia ke Eropa yang mengakibatkan sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia dikatakan bagai menembak kaki sendiri.
Banyak analis yang menilai bahwa sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia dampaknya lebih memukul ekonomi Barat dibandingkan efek terhadap ekonomi Rusia.
Banyak pabrik di Jerman yang harus tutup setelah harga gas naik tiga kali lipat karena harus menggunakan LNG yang diimpor dan dikirim dengan kapal dari Amerika.
Berhadapan dengan sanksi tersebut, Rusia menggenjot ekspor minyak dan gas ke China dan India dan diduga dengan harga super murah.
Yang lebih menyakitkan bagi Barat adalah India kemudian mereekspor minyak yang mereka beli dari Rusia dengan harga lebih mahal ke konsumen Eropa yang sebelumnya membeli langsung dari Rusia. India berhasil menjadikan konflik Rusia dan Ukraina menjadi keuntungan bagi India.
Saat ini, Barat sedang menimang-nimang untuk membekukan berbagai aset Rusia di Eropa. Inisiatif ini awalnya sangat ditentang oleh Jerman karena mereka paham bahwa Rusia bisa melakukan hal sama.
Jerman akan menjadi pihak yang paling dirugikan karena besarnya investasi Jerman di Rusia.
Selain itu pembekuan aset dan dana warga Rusia di Eropa bisa meruntuhkan kepercayaan global terhadap kerahasiaan dan keamanan perbankan Eropa.
Pemilik dana besar dari India, China dan negara lain akan memindahkan dana mereka dari Eropa karena suatu saat mereka juga bisa jadi korban.
Lagi pula dari berbagai analis disimpulkan jika pembekuan aset dilakukan, maka Barat bisa mengantongi sekitar 300 miliar dollar aset Rusia di luar negeri, tapi Rusia justru mendapatkan aset sekitar 500 miliar dollar dari aset Barat di Eropa.
Tag: #elvira #nabiullina #benteng #penjaga #pertahanan #ekonomi #rusia