Tarif Cukai Dua Digit Suburkan Rokok Ilegal, Rumusan CHT 2025 Perlu Ditinjau Ulang
Bea Cukai gagalkan pengiriman ratusan ribu rokok ilegal yang dibawa truk pengangkut mobil ambulans rusak di Gerbang Tol Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Ditjen Bea Cukai Wilayah Jateng-DIY/Antara
17:45
23 April 2024

Tarif Cukai Dua Digit Suburkan Rokok Ilegal, Rumusan CHT 2025 Perlu Ditinjau Ulang



— Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang berlebihan secara terus-menerus dinilai akan sangat memberatkan pelaku industri hasil tembakau (IHT). Namun, jika pemerintah tetap ingin melanjutkan rencana kenaikan cukai, sejumlah pihak merekomendasikan agar kenaikannya moderat, tidak lebih dari dua digit dan sesuai dengan tingkat inflasi saat ini.

Hal tersebut lantaran kebijakan kenaikan CHT di tahun 2023-2024 justru memicu polemik baru. Tidak hanya menyebabkan turunnya realisasi penerimaan negara dari CHT tetapi juga memperbesar perpindahan konsumsi ke rokok ilegal.

Dalam laporannya, Kementerian Keuangan menjelaskan penerimaan negara dari CHT sepanjang 2023 -2,35 persen (YoY) menjadi hanya Rp 213,48 triliun dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho berpendapat bahwa jika ingin menaikkan tarif cukai pada tahun 2025, pemerintah perlu meninjau kembali rumusan yang membentuk tarif cukai.

Rumusan yang baku, transparan, dan jelas sangat berpengaruh pada penerimaan negara dan juga keberlangsungan dari IHT itu sendiri. Dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan faktor kesehatan dijadikan parameter saat ini bagi para pemerintah dalam menentukan besaran cukai CHT.

"Misalnya saja dengan asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2025 mencapai 5 persen, lalu inflasi di angka 3 persen, dan faktor kesahatan tidak lebih dari 1 persen, sehingga semestinya tarif CHT di kisaran 9 persen. Sehingga pelaku usaha bisa lebih bersiap untuk menaikkan setorannya pada negara. Karena implikasinya dengan kenaikan tarif cukai yang dua digit tersebut produksi dari industri hasil tembakau itu menurun dan penerimaan negara dalam bentuk cukai hasil tembakau itu juga otomatis menurun,” ungkap Andry, Selasa (23/4).

Lanjut dia, pengendalian konsumsi rokok tidak hanya terletak pada tarif cukai, tetapi juga pada insentif dan fiskal. Apalagi kenaikan cukai yang eksesif bagi IHT akan berdampak ke sektor lain yang terkait seperti pertanian, padat karya, tenaga kerja, dan juga ritel.

“Sampai saat ini belum ada arah yang jelas kesana dan masih bersifat memaksa. karena kalau kita hanya fokus pada kenaikan tarif cukai pasti akan berimplikasi pada meningkatnya rokok ilegal,” jelasnya.

Sebab saat cukai naik terlalu tinggi, harga rokok pun langsung ikut meningkat. Sementara itu pabrikan tidak bisa begitu aja mengalihkan beban kenaikan tarif cukai secara langsung dan serentak kepada konsumen. Hasilnya konsumen “terpaksa” berpindah ke rokok yang lebih terjangkau dan malah membuka peluang pasar yang lebih luas bagi peredaran rokok ilegal.

Tingginya peredaran rokok ilegal pun terlihat dari penindakan yang dilakukan Bea Cukai sepanjang 2023. Melalui Operasi Gempur Rokok Ilegal tahap dua ditemukan peredaran rokok ilegal melalui PJT mengalami peningkatan dengan jumlah barang hasil penindakan mencapai 73,5 juta batang.

“Kami menilai estimasi rokok ilegal yang disurvei oleh Bea Cukai masih tergolong rendah. Karena etika rokok ilegal terus meningkat tentu cerminan yang buruk terhadap Bea Cukai. Padahal kalau kita berbicara rokok ilegal tidak hanya tupoksi Bea Cukai tapi sudah masuk kejahatan internasional atau kejahatan cross border,” tegas dia.

Menurut Andry hal tersebut yang membuat kenapa survei rokok ilegal itu selalu rendah sehingga diperlukan data pembanding untuk melihat apakah betul survei yang dilakukan oleh Kemenkeu telah mencakup peradaran rokok ilegal secara menyeluruh.

“Baik dari segi asosiasi dan kami sendiri menilai peredaran rokok ilegal semakin besar seiring dengan meningkatnya tarif cukai yang cenderung esksesif,” pungkas dia.

Dalam kesempatan yang berbeda, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, turut menyoroti kebijakan kenaikan CHT pada tahun 2023-2024 juga dinilai tidak mampu membendung maraknya perpindahan konsumsi ke rokok murah dan rokok ilegal.

Dia meminta pemerintah lebih serius lagi dalam menutup usaha rokok ilegal untuk meningkatkan penerimaan negara. Sebab, angka kerugian negara dari usaha ilegal, termasuk rokok ilegal, jumlahnya sudah sangat tinggi untuk dapat ditambal oleh negara.

“Permasalahannya kalau rokok ilegal dengan harga Rp 15.000 itu semuanya masuk ke perusahaan, sedangkan rokok legal yang masuk ke perusahaan hanya 25 persen, selebihnya masuk ke negara berupa cukai. Berarti apabila rokok legal dengan harga Rp 35.000 maka hanya sekitar Rp 8.000-9.000 yang masuk ke perusahaan untuk biaya produksi, karyawan, dan keuntungan. Ya, pasti kalah kalau (yang legal) mau melawan yang ilegal,"

Data tersebut terefleksi dari realisasi setoran cukai dalam penerimaan kepabenan dan cukai hingga 15 Maret 2024 pun ikut menyusut 5,9 persen akibat penurunan produksi barang kena cukai (BKC) utamanya hasil tembakau (HT). Fakta lainnya populasi sejumlah pabrik rokok semakin tergerus dimana dari 4.700 lebih pabrik di tahun 2019, menjadi hanya 1,000-an di tahun 2021. Dampak yang terasa pada pabrik golonganTier1 sebagai penyumbang 86 persen cukai yang saat ini hanya tersisa 4 dari sebelumnya 7 pabrik.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #tarif #cukai #digit #suburkan #rokok #ilegal #rumusan #2025 #perlu #ditinjau #ulang

KOMENTAR