Perempuan dan Jerat Pinjol: Literasi Keuangan Jadi Kunci Perlindungan
Kemudahan mengajukan pinjaman online alias pinjol, yakni cukup lewat ponsel, unggah identitas, lalu dana cair, membuat ini kerap menjadi “jalan pintas”.
Ini khususnya saat kebutuhan mendesak datang bersamaan: uang sekolah anak, biaya berobat, kebutuhan dapur, hingga menutup utang lama.
Pada titik ini, perempuan sering berada di barisan terdepan sebagai pengambil keputusan harian di rumah tangga, sekaligus penanggung beban ganda yang tidak selalu terlihat.
Ilustrasi mengatur keuangan, membuat resolusi keuangan. Freelancer kerap berhadapan dengan penghasilan naik-turun. Lalu, bagaimana cara agar keuangan tetap stabil tanpa gaji tetap? Berikut tips dan triknya
Fenomena pinjol menunjukkan tren mengkhawatirkan bagi perempuan.
Perempuan menjadi kelompok yang rentan terjerat pinjol, dengan pemicu yang kerap berlapis, mulai dari kebutuhan keluarga, akses yang mudah, hingga praktik pinjol ilegal yang menjerat lewat bunga dan penagihan bermasalah.
Di sisi lain, data dan laporan otoritas memperlihatkan masalah pinjol ilegal masih masif.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sejak 1 Januari hingga 30 November 2025 terdapat 23.147 pengaduan terkait entitas ilegal, dengan 18.633 pengaduan mengenai pinjaman online alias pinjol ilegal dan 4.514 pengaduan terkait investasi ilegal.
Angka pengaduan itu mempertegas bahwa persoalannya bukan sekadar “orang berutang lalu gagal bayar”, melainkan juga menyangkut ekosistem perlindungan konsumen, literasi, dan kemampuan memilah layanan legal versus ilegal.
Akses yang cepat, jebakan yang juga cepat
Salah satu ciri yang membuat pinjol begitu menarik, dan sekaligus berisiko, adalah kecepatan.
Bagi banyak perempuan, keputusan keuangan harian sering harus dibuat dalam waktu sempit: uang belanja menipis, tagihan jatuh tempo, atau ada kebutuhan mendadak.
Ilustrasi pinjaman online atau pinjol, pinjaman daring.
Dalam situasi seperti itu, pinjaman daring yang “instan” dapat terlihat sebagai solusi rasional.
Namun kecepatan itu juga membuka ruang bagi jebakan lain, yaitu pinjol ilegal, penyalahgunaan data, hingga penagihan yang tidak sesuai aturan.
OJK dan Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) melaporkan penindakan berkelanjutan.
Dalam siaran pers RDKB November 2025, OJK juga merinci jumlah entitas ilegal yang telah dihentikan/diblokir sejak 2017 hingga 30 November 2025, termasuk pinjol ilegal yang jumlahnya sangat dominan.
Konsumen, terutama yang berada dalam tekanan ekonomi, kerap sulit membedakan layanan legal dan ilegal.
Dalam konteks perempuan, terutama ibu rumah tangga dan pekerja informal, ketika akses informasi terbatas dan kebutuhan mendesak, celah ini menjadi pintu masuk bagi praktik yang merugikan.
Ketika literasi tertinggal, risiko membesar
Narasi “perempuan rentan terjerat pinjol” sering kali disederhanakan menjadi soal perilaku konsumtif.
Padahal, data literasi dan inklusi memperlihatkan persoalan struktural, antara lain pemahaman keuangan belum merata, sementara akses ke produk keuangan sudah meluas.
OJK dan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 melaporkan indeks literasi keuangan 66,46 persen dan indeks inklusi keuangan 80,51 persen.
Artinya, akses (inklusi) lebih tinggi daripada pemahaman (literasi).
Kesenjangan ini penting karena masyarakat bisa “sudah menggunakan produk keuangan” tanpa benar-benar memahami konsekuensi biaya, bunga, denda, serta risiko perlindungan data.
Ilustrasi pinjaman online, pinjol.
Dalam klasifikasi berdasarkan gender, OJK dan BPS juga menegaskan literasi masih timpang. Sejumlah publikasi turunan SNLIK 2025 mencatat literasi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, sementara inklusi relatif setara.
Dalam praktiknya, kondisi ini bisa membuat perempuan aktif memakai layanan keuangan digital (termasuk pinjaman) tetapi memiliki ruang kesalahan yang lebih besar saat menilai biaya pinjaman, membaca syarat, atau memahami hak konsumen.
Pinjol, perempuan, dan beban ganda di rumah tangga
Faktor “peran ganda” dan dorongan kebutuhan keluarga sebagai salah satu konteks yang mendorong perempuan masuk ke pusaran pinjol.
Dalam banyak rumah tangga, perempuan bukan hanya mengatur arus kas harian, tetapi juga menanggung tekanan sosial, yakni harus “menjaga dapur tetap mengepul”, memastikan anak tetap sekolah, dan tetap memenuhi kebutuhan keluarga besar, sering kali tanpa bantalan dana darurat.
Kerentanan bertambah ketika perempuan juga menjadi pelaku ekonomi keluarga melalui usaha mikro.
Dikutip dari Kontan, 64,5 persen UMKM di Indonesia dikelola perempuan, dan literasi keuangan bagi pelaku UMKM perempuan menjadi penting agar mereka berani mengakses modal yang aman, memanfaatkan layanan digital secara tepat, dan mengelola usaha berkelanjutan.
Dalam realitas harian, banyak pelaku usaha mikro membutuhkan perputaran cepat, tetapi tidak selalu punya akses kredit bank, tidak semua memiliki rekam kredit kuat, dan tidak semua memahami perhitungan biaya pinjaman jangka pendek.
Pada titik inilah pinjol (baik legal maupun ilegal) kerap masuk: menawarkan dana cepat untuk stok barang, kebutuhan operasional, atau menutup arus kas seret.
Masalah muncul ketika pinjaman dipakai untuk menutup pinjaman lain alias gali lubang tutup lubang, atau ketika pinjaman diambil dari layanan ilegal yang memeras lewat penagihan dan penyalahgunaan data.
Gambaran risiko dari sisi pengaduan dan penindakan
Ilustrasi fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol). Pinjol berganti nama menjadi pindar. Pinjaman daring (pindar). Pinjaman daring resmi OJK September 2025.
Sepanjang 2025, gambaran risiko pinjol ilegal dapat ditelusuri dari data pengaduan dan penindakan regulator.
Dalam RDKB November 2025, OJK menyebut:
- 23.147 pengaduan entitas ilegal (1 Januari sampai 30 November 2025)
- 18.633 pengaduan pinjaman online ilegal
Sebelumnya, Antara juga melaporkan dinamika pengaduan pada semester awal.
OJK, per 23 Mei 2025, menerima 4.344 pengaduan terkait pinjaman online ilegal dan 943 pengaduan terkait investasi ilegal, dari total 5.287 pengaduan entitas ilegal sejak 1 Januari hingga 23 Mei 2025.
“Dari total tersebut, sejumlah 4.344 pengaduan adalah terkait pinjaman online ilegal dan 943 pengaduan terkait investasi ilegal,” kata Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK.
Jika dibandingkan dengan angka hingga 30 November 2025, lonjakan pengaduan sepanjang tahun menegaskan persoalan pinjol ilegal tetap berulang dan menyasar masyarakat luas, termasuk kelompok yang rentan secara literasi dan daya tawar.
Kredit macet di kalangan muda: peringatan untuk literasi digital
Masalah pinjaman daring bukan hanya soal pinjol ilegal.
Pada layanan fintech lending yang legal pun, risiko gagal bayar tetap mengintai, terutama bila peminjam tidak memahami kemampuan bayar dan biaya pinjaman.
Terjadi kenaikan pinjaman macet di kelompok muda. Disebutkan, pinjaman macet usia 19 sampai 34 tahun naik 54,4 persen secara tahunan menjadi 438.707 akun pada semester I 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan LJK Lainnya OJK, Agusman, mengaitkan sebagian masalah dengan literasi.
Ilustrasi mengatur keuangan, membuat perencanaan keuangan.
“(Peningkatan kredit macet) salah satunya disebabkan oleh rendahnya literasi di kalangan anak muda,” terang Agusman.
Meskipun data itu berbasis kelompok umur, konteksnya relevan dengan perempuan muda, terutama pekerja awal karier dan ibu muda, yang sering menjadi pengelola belanja rumah tangga sekaligus pengguna intensif layanan digital.
Mengapa literasi keuangan untuk perempuan perlu diprioritaskan
Literasi keuangan sering dipahami sebatas “rajin menabung” atau “mencatat pengeluaran”. Padahal, pada era keuangan digital, literasi juga mencakup kemampuan:
- Mengenali legalitas penyedia layanan
- Membaca struktur biaya (bunga, biaya layanan, denda)
- Memahami konsekuensi keterlambatan bayar
- Melindungi data pribadi
- Mengetahui kanal pengaduan saat terjadi pelanggaran
OJK sendiri mendorong perluasan literasi dengan berbagai program.
OJK mengajak perencana keuangan perempuan ikut memperluas literasi melalui pelatihan yang menjadi bagian dari Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (Gencarkan), dengan target pembentukan duta/agen literasi dan inklusi keuangan.
Pendekatan ini penting karena perempuan tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga bisa menjadi penggerak literasi di komunitas, mulai dari keluarga, arisan, kelompok usaha, hingga lingkungan kerja.
Di sisi pelindungan konsumen, OJK juga menekankan penguatan kanal pelaporan dan penanganan penipuan.
Dikutip dari Antara, Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) menerima ratusan ribu laporan sejak diluncurkan, dengan rincian rekening yang dilaporkan dan diblokir pada periode tertentu di 2025.
ilustrasi mengatur keuangan
Sementara itu, dalam RDKB November 2025, OJK merinci perkembangan laporan IASC hingga 30 November 2025, termasuk jumlah laporan, rekening yang dilaporkan, dan rekening yang diblokir.
Dari dapur ke ponsel: keputusan keuangan mikro yang berdampak besar
Dalam banyak kasus, pinjol tidak dipakai untuk konsumsi besar, melainkan untuk kebutuhan mikro yang repetitif: menutup biaya harian, menambal tagihan, atau mengejar tenggat.
Akan tetapi, akumulasi keputusan mikro ini bisa membentuk lingkaran utang, terutama jika pinjaman diambil berulang dengan tenor pendek dan biaya tinggi, atau jika peminjam masuk ke layanan ilegal.
Di lingkungan usaha mikro, risikonya bahkan bisa merembet ke keberlanjutan usaha. Literasi keuangan bagi UMKM perempuan bukan sekadar pembukuan, tetapi juga keberanian mengakses modal yang aman serta pemanfaatan layanan digital secara tepat.
Di sinilah literasi keuangan untuk perempuan menjadi strategis, bukan sekadar kampanye edukasi.
Literasi keuangan untuk perempuan berhubungan langsung dengan ketahanan keluarga, keberlanjutan UMKM, dan perlindungan dari praktik keuangan ilegal.
Peta yang perlu dibaca bersama: literasi, inklusi, dan perlindungan
Data SNLIK 2025 menampilkan satu pesan kunci: literasi meningkat, inklusi lebih tinggi, tetapi kesenjangan tetap ada.
Pada saat yang sama, pengaduan pinjol ilegal hingga November 2025 menunjukkan ekosistem ilegal masih agresif.
Karena itu, literasi keuangan bagi perempuan tidak bisa berhenti pada pesan moral “jangan berutang”.
Ilustrasi pinjaman online, pinjol, pinjaman daring.
Yang lebih dibutuhkan adalah kemampuan praktis yang menempel pada realitas hidup:
- Memahami hak konsumen dan kanal pengaduan
- Mengenali ciri-ciri pinjol ilegal dan pola penagihan bermasalah
- Mengukur kemampuan bayar sebelum mengambil pinjaman
- Mengelola arus kas rumah tangga dan usaha mikro
- Membangun dana darurat bertahap agar tidak selalu bergantung pada utang jangka pendek.
OJK, lewat penindakan Satgas PASTI, pelaporan IASC, serta program literasi seperti Gencarkan, menempatkan perlindungan dan edukasi sebagai dua kaki yang berjalan beriringan.
Di tengah penetrasi layanan digital yang terus meluas, perempuan berada pada persimpangan penting: sebagai pengelola ekonomi rumah tangga, pelaku UMKM, sekaligus pengguna produk keuangan digital.
Ketika literasi keuangan tertinggal, pusaran pinjol, terutama yang ilegal, lebih mudah menarik.
Ketika literasi keuangan menguat, ruang pengambilan keputusan menjadi lebih aman, dan perempuan punya lebih banyak kendali atas risiko yang datang dari layar ponsel.
Tag: #perempuan #jerat #pinjol #literasi #keuangan #jadi #kunci #perlindungan