Kontribusi Industri Asuransi ke PDB Masih Tertinggal dari Perbankan dan Pasar Modal
Ilustrasi asuransi.(SHUTTERSTOCK/PASUWAN)
15:04
22 Desember 2025

Kontribusi Industri Asuransi ke PDB Masih Tertinggal dari Perbankan dan Pasar Modal

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai kontribusi industri asuransi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih relatif rendah jika dibandingkan dengan sektor keuangan lain, khususnya perbankan dan pasar modal.

Padahal, industri asuransi memiliki peran strategis dalam menopang stabilitas ekonomi, memperdalam intermediasi keuangan, serta mendukung pertumbuhan jangka panjang.

Kepala Departemen Pengawasan Asuransi dan Jasa Penunjang OJK, Sumarjono, mengatakan kontribusi industri asuransi terhadap PDB saat ini masih berada di kisaran 5 persen.

Ilustrasi asuransi kesehatan. FREEPIK/FREEPIK Ilustrasi asuransi kesehatan.

Angka tersebut jauh tertinggal dibandingkan dengan perbankan dan pasar modal, sekaligus masih jauh dari target ideal menuju visi Indonesia Emas.

"Jadi kontribusi industri asuransi terhadap PDB masih cukup rendah. Terutama jika dibandingkan dengan sektor lain termasuk perbankan dan pasar modal,” ujar Sumarjono saat gelaran Indonesia Economic & Insurance Outlook 2026, Senin (22/12/2025).

OJK sendiri membidik kontribusi pasar saham lewat kapitalisasi pasar (market cap) dapat mencapai 70 persen terhadap pertumbuhan ekonomi atau PDB pada akhir 2025.

Hingga perdagangan pukul 14.25 WIB, Senin siang ini nilai kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia (BEI) menyentuh Rp 15.836,403 triliun.

Di sisi perbankan, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan pada 2025 akan berada di batas bawah kisaran target 8 sampai 11 persen secara tahunan (year on year/yoy).

BI mencatat penyaluran kredit perbankan pada November 2025 tercatat tumbuh 7,74 persen (yoy), meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 7,36 persen (yoy).

Namun demikian, penguatan tersebut belum mencerminkan pemulihan permintaan kredit yang solid. Mengingat pada awal tahun ini pertumbuhan kredit dapat mencapai 10,27 persen.

Ilustrasi kredit, fintech, pinjaman daring. FREEPIK/PCH.VECTOR Ilustrasi kredit, fintech, pinjaman daring.

Kondisi tersebut juga tercermin dari masih besarnya fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan).

Pada November 2025, nilai undisbursed loan mencapai Rp 2.509,4 triliun atau sekitar 23,18 persen dari total plafon kredit yang tersedia di perbankan.

Dari sisi penawaran, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, kapasitas pembiayaan perbankan tetap kuat.

Hal ini ditopang oleh rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang meningkat menjadi 29,67 persen, serta pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 12,03 persen (yoy) pada November 2025.

Berbagai kajian internasional, termasuk dari McKinsey Global Institute, menunjukkan bahwa untuk menjadi negara maju, Indonesia membutuhkan peningkatan produktivitas, pendalaman permodalan, transformasi struktur ekonomi dari sektor agrikultur ke sektor jasa, serta penguatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan regulasi.

Dalam konteks tersebut, industri asuransi memiliki posisi yang sangat strategis. Saat ini, aset industri asuransi, termasuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), telah mencapai sekitar Rp 1.200 triliun.

Aset tersebut sebagian besar ditempatkan pada berbagai instrumen keuangan, termasuk Surat Berharga Negara (SBN), sehingga berkontribusi langsung dalam mendukung pembiayaan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 secara tegas menempatkan sektor keuangan, termasuk asuransi, sebagai motor pendalaman intermediasi dan peningkatan produktivitas nasional.

“Kalau kita lihat, kita saat ini ada di angka mungkin sekitar 5 sekian persen kalau dibandingkan dengan PDB, aset asuransi kita. Dan kita harus menuju ke angka 20 persen di Indonesia Emas. Nah ini tantangan yang tentu sangat challenging, dan perlu ada terobosan-terobosan baru. Tapi tetap kita harus optimis,” papar Sumarjono.

Ilustrasi asuransi.SHUTTERSTOCK/JIRSAK Ilustrasi asuransi.

Selain perannya dalam mitigasi risiko, Sumarjono mengungkapkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024-2025 menunjukkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat terus meningkat.

Namun demikian, masih terdapat ruang perbaikan yang besar, terutama dalam pemahaman terhadap produk asuransi yang bersifat kompleks dan berjangka panjang.

Di sisi lain, pertumbuhan sektor asuransi sejauh ini relatif sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Ke depan, tantangannya justru semakin besar.

Untuk mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2029, aset industri asuransi perlu tumbuh di kisaran 7 sampai 9 persen, atau melampaui laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Tantangan industri asuransi pada 2026

Memasuki 2026, lanjut Sumarjono, industri asuransi dihadapkan pada sejumlah tantangan, mulai dari dampak bencana alam di sejumlah wilayah seperti Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar), dan Aceh, yang mempengaruhi kinerja 2025 dan membutuhkan proses pemulihan berkelanjutan.

Tantangan lain adalah kebutuhan pertumbuhan aset yang tinggi agar selaras dengan target Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan RPJMN 2029.

“Kalau kita belajar dari negara lain, agar aset industri asuransi tumbuh lebih cepat dari PDB, kita tidak bisa menunggu pasar, tetapi harus menyesuaikan pasar dan menciptakan ekosistem yang baru,” kata Sumarjono.

Ia juga menekankan pentingnya menjadikan asuransi sebagai kebutuhan wajib, bukan sekadar pilihan. Menurutnya, pengembangan asuransi wajib, seperti asuransi bencana, tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat, tetapi juga berperan menjaga stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Asuransi bencana adalah risiko yang besar dan tidak bisa dibiarkan ke pasar begitu saja. Selain itu, insentif pajak dan kepastian regulasi juga menjadi faktor penting,” bebernya.

Tantangan lain yang disoroti OJK adalah inflasi medis (medical inflation) yang diperkirakan mencapai 10,3 persen pada tahun depan.

Kondisi ini dinilai menjadi tantangan besar bagi industri asuransi kesehatan, mengingat tekanan inflasi medis tinggi telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Ia menegaskan, ketidakpastian dan tantangan tersebut justru dapat menjadi peluang jika dikelola dengan baik. Untuk menjawab berbagai tantangan itu, OJK telah menetapkan empat arah kebijakan utama.

Arah kebijakan pertama adalah penguatan kapasitas industri, melalui peningkatan ketahanan dan daya saing, antara lain dengan implementasi kewajiban peningkatan ekuitas tahap pertama, percepatan proses spin-off unit usaha syariah, serta kajian penguatan kapasitas reasuransi nasional.

Kebijakan kedua, transformasi digital dan integrasi data, yang bertujuan meningkatkan efisiensi operasional dan kepercayaan publik.

Langkah ini mencakup digitalisasi pendaftaran pialang, pemanfaatan analisis aktuaria berbasis big data, pengembangan tabel mortalita dan morbidita, serta pembangunan basis data terintegrasi untuk program pensiun dan pengawasan polis.

Arah kebijakan ketiga adalah pendalaman pasar yang berkelanjutan, dengan fokus pada peningkatan inklusivitas dan kedalaman sektor perasuransian melalui inovasi dan diversifikasi produk, implementasi POJK, serta penguatan ekosistem asuransi kesehatan dan sektor lainnya.

Sementara itu, arah kebijakan keempat berupa optimalisasi fungsi pengawasan untuk menjaga stabilitas industri.

OJK akan mengimplementasikan pengawasan berbasis risiko yang baru, baik melalui pengawasan off-site maupun peningkatan intensitas pengawasan on-site.

"Volume pengawasan on-site tahun depan akan kami tambah, saya ingin dua kali lipat dari tahun ini. Jadi nanti jangan kaget kalau pengawas datangnya lebih cepat,” ungkap Sumarjono.

Selain itu, OJK juga akan menyempurnakan kerangka risk-based capital dengan aturan baru terkait pengukuran tingkat kesehatan perusahaan asuransi, sebagai bagian dari upaya memperkuat industri secara berkelanjutan.

Tag:  #kontribusi #industri #asuransi #masih #tertinggal #dari #perbankan #pasar #modal

KOMENTAR