POME Diakui ICAO, Indonesia Punya Modal Masuk Pasar SAF Global
- Pengakuan International Civil Aviation Organization (ICAO) terhadap Palm Oil Mill Effluent (POME) sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF) menjadi sinyal penting bagi posisi Indonesia dalam peta transisi energi sektor penerbangan global.
POME resmi tercantum dalam dokumen “CORSIA Default Life Cycle Emissions Values for CORSIA Eligible Fuels” setelah melalui studi global CAEP/14 ICAO tentang Life Cycle Assessment (LCA) untuk jalur POME–HEFA berbasis Indonesia. Studi ini melibatkan PT Tripatra Engineering bersama Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS).
Pengajuan POME dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan, dengan dukungan Kementerian Luar Negeri. Prosesnya dimulai sejak November 2024, mencakup pengumpulan data lapangan di pabrik kelapa sawit, penyusunan working paper untuk ICAO Working Group 5, serta diskusi teknis dengan negara-negara anggota.
Dalam evaluasi teknis yang berlangsung sekitar satu tahun, POME dibandingkan dengan studi akademik dari Hasselt University dan diverifikasi oleh Joint Research Centre (JRC). Hasilnya, POME memperoleh nilai LCA sebesar 18,1 gCO?e/MJ, lebih rendah dibandingkan avtur konvensional.
Nilai tersebut kini dapat digunakan sebagai default value dalam skema Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) bagi produsen SAF di seluruh dunia.
President Director & CEO Tripatra, Raymond Rasfuldi, mengatakan limbah cair industri kelapa sawit yang selama ini berpotensi menghasilkan emisi metana dapat dikonversi menjadi bahan bakar penerbangan berkelanjutan dengan emisi lebih rendah.
“Pendekatan ini menggambarkan penerapan ekonomi sirkular, di mana limbah industri diolah menjadi produk energi bernilai tinggi yang memberi manfaat ekonomi sekaligus menekan dampak lingkungan,” ujar Raymond dalam keterangan tertulis, Selasa (16/12/2025).
Ia menambahkan, keterlibatan Tripatra dalam studi internasional ini menegaskan peran perusahaan sebagai katalis kolaborasi lintas sektor dalam membangun ekosistem SAF di Indonesia. Menurut dia, pengembangan SAF berbasis POME juga berkontribusi langsung terhadap upaya dekarbonisasi sektor transportasi dan energi nasional.
Tekanan untuk menurunkan emisi di sektor penerbangan global terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Data International Air Transport Association (IATA) menunjukkan industri penerbangan menyumbang sekitar 3 persen dari total emisi karbon dioksida global, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil pesawat.
Melalui skema CORSIA, ICAO mendorong penggunaan SAF sebagai salah satu instrumen utama untuk mencapai target net-zero carbon emissions pada 2050. SAF dinilai strategis karena dapat digunakan langsung sebagai drop-in fuel tanpa modifikasi mesin pesawat maupun infrastruktur bandara.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Lukman F Laisa, menyebut pengakuan ICAO ini sebagai momentum besar bagi Indonesia.
“Persetujuan ICAO ini menegaskan bahwa POME secara resmi diakui sebagai bahan baku SAF dengan nilai emisi yang sangat kompetitif, mampu memberikan emission saving hingga 80 persen dibandingkan bahan bakar fosil,” kata Lukman, dikutip dari siaran pers Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Ia menambahkan, keberhasilan tersebut merupakan hasil kerja kolaboratif lintas institusi. “Kami berterima kasih atas dukungan Kementerian Luar Negeri serta kontribusi teknis dari Tripatra dan IPOSS. Upaya ini menunjukkan komitmen Indonesia di forum internasional,” ujarnya.
Tripatra mencatat, dengan pengalaman lebih dari 50 tahun di sektor energi, perusahaan telah mengalokasikan sumber daya untuk pengembangan teknologi dan infrastruktur biofuel, termasuk SAF. Menurut Raymond, penguatan industri biofuel nasional dinilai penting untuk mendukung ketahanan energi dan keberlanjutan jangka panjang Indonesia.
Tag: #pome #diakui #icao #indonesia #punya #modal #masuk #pasar #global