Banjir Barang Impor Deras, Bagaimana Nasib Industri Padat Karya?
Dalam beberapa bulan terakhir, istilah “banjir barang impor” kembali ramai di ruang publik.
Dari sentra konveksi hingga kawasan industri, pelaku usaha mengeluhkan tekanan produk murah dari luar negeri, terutama dari China.
Di sisi lain, pemerintah sedang menjalankan paket deregulasi impor baru yang diklaim untuk menjaga pasokan dan daya saing, sekaligus merespons tekanan industri padat karya.
Ilustrasi impor.
Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dan pernyataan para pejabat serta pelaku usaha menunjukkan bagaimana derasnya arus barang impor dan bentuk respons kebijakan yang mulai dijalankan pemerintah sepanjang 2024–2025.
Skala "banjir impor" dalam angka
BPS mencatat, nilai impor Indonesia sepanjang Januari–Agustus 2025 mencapai 155,99 miliar dollar AS, naik 2,05 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Impor nonmigas bahkan naik 4,85 persen menjadi 134,88 miliar dollar AS.
Pada Agustus 2025 saja, nilai impor Indonesia mencapai 19,47 miliar dollar AS, meski secara tahunan turun 6,56 persen dibanding Agustus 2024.
Namun, di banyak sektor, pelaku usaha menilai tekanan impor terasa bukan hanya dari sisi nilai, tetapi dari struktur dan asal negara, terutama untuk barang-barang manufaktur yang berhadapan langsung dengan produk domestik.
Salah satu sorotan datang dari lonjakan impor dari China. Data BPS mencatat, nilai impor Indonesia dari China periode Januari–Mei 2025 mencapai sekitar 33,45 miliar dollar AS, naik 16,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Ilustrasi impor.
Pada Mei 2025 saja, impor dari China disebut mencapai sekitar 7,09 miliar dollar AS.
Kelompok utama barang yang masuk adalah mesin dan peralatan mekanis, mesin listrik, serta kendaraan dan komponennya.
Artinya, arus barang impor dari China tidak hanya berupa barang konsumsi, tetapi juga bahan baku dan barang modal yang terhubung erat dengan rantai pasok industri dalam negeri.
Di sisi lain, BPS juga melaporkan adanya kenaikan volume impor. Dalam publikasi Februari 2025, BPS mencatat nilai impor bulan itu mencapai 18,85 miliar dollar AS, naik 5,09 persen dibandingkan Januari 2025, dengan volume impor yang meningkat 28,65 persen.
Tekstil dan pakaian jadi: episentrum tekanan
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu sektor yang paling sering dikaitkan dengan istilah "banjir barang impor”.
Tekanan datang dari dua sisi sekaligus: impor pakaian jadi baru dan maraknya impor pakaian bekas serta tekstil bekas.
BPS mencatat bahwa China tetap menjadi negara dengan nilai impor nonmigas terbesar Indonesia, dengan kontribusi lebih dari sepertiga impor nonmigas pada bulan tersebut.
Di hilir, asosiasi industri menggambarkan situasi yang kian berat.
Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkapkan, industri tekstil dalam negeri tengah terancam oleh gempuran produk tekstil impor. Akibatnya, banyak perusahaan terpaksa gulung tikar.
Diperkirakan nilai ekonomi industri tekstil ini mencapai Rp 235 triliun per tahun. Namun demikian, potensi tersebut bisa hilang karena gempuran produk tekstil impor.
Ilustrasi industri tekstil.
Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, kondisi ini sangat disayangkan karena industri tekstil memiliki potensi besar untuk memberikan nilai tambah ekonomi.
Misalnya, bahan baku seperti PX (Paraxylene) yang dibeli seharga Rp 5.000 per 0,30 kilogram, dapat menghasilkan nilai tambah menjadi 1 kg pakaian jadi senilai Rp 104.000 atau naik hingga 200 persen.
Berdasarkan data APSyFI, per 2023 terdapat kebutuhan konsumsi garmen domestik sebesar 2,26 juta ton.
Jika melihat kebutuhan tersebut ditambah nilai konsumsi garmen dalam negeri sebesar 15,18 miliar dollar AS, berarti nilai ekonomi industri tekstil mencapai Rp 235 triliun per tahun.
"Dari PX yang cuma Rp 5.000 kali kuantitinya, kita beli dari Pertamina hampir 600.000 metrik ton per tahun, jadi total nilainya sekitar Rp 10 triliun. Dari Rp 10 triliun itu, business size-nya bisa berkembang jadi Rp 235 triliun,” jelas Redma dalam keterangannya.
Suara dari daerah: dumping dan PHK di sentra industri
Tekanan impor tidak hanya terasa di tingkat nasional, tetapi juga pada level provinsi.
Di Jawa Tengah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) setempat menggambarkan serbuan produk impor, terutama dari China, sebagai tantangan besar bagi industri tekstil dan alas kaki.
“Kita memang mengalami problem besar dengan masuknya produk-produk dari China terutama tekstil dan alas kaki dengan harga yang murah. Kita menghadapi itu dan ini sangat mengacaukan pasar kita dalam negeri. Ini dumping,” kata Ketua Apindo Jawa Tengah, Frans Kongi.
Upaya pemerintah dalam menjaga pemulihan ekonomi diperkirakan akan berpengaruh terhadap membaiknya kinerja impor.
Frans menjelaskan, kelebihan produksi di China yang sulit terserap di pasar Barat mendorong produsen negara itu mencari pasar alternatif di kawasan selatan, termasuk Indonesia.
“Jadi kelihatan stok di China cukup banyak sehingga mau tidak mau lari ke bagian selatan karena Indonesia termasuk penduduk yang paling banyak. Jadi banyak lari ke sini untuk impor barang,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Apindo Kota Semarang, Dedy Mulyadi, menambahkan bahwa ketidakseimbangan antara produk dalam negeri dan impor menjadi persoalan utama.
Ia menilai produk China dikenal “cepat dan murah, efisien”, dan ketika pabrik merugi atau tidak bisa berjalan, ujungnya adalah pengurangan karyawan.
Paket deregulasi impor 2025: respons pemerintah
Pada 30 Juni 2025, pemerintah mengumumkan paket deregulasi baru di bidang impor yang sekaligus menjadi revisi lanjutan atas Permendag 36/2023 dan Permendag 8/2024.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut deregulasi kebijakan tersebut sebagai langkah strategis untuk memperkuat perekonomian nasional di tengah ketidakpastian global.
“Proses penyusunan revisi dilakukan dengan usulan K/L, asosiasi, para stakeholder, dan melalui regulatory impact analysis,” kata Airlangga dalam konferensi pers Deregulasi Kebijakan Impor dan Kemudahan Berusaha.
Airlangga menjelaskan, revisi ini memuat perubahan kebijakan larangan dan pembatasan (lartas) untuk 10 komoditas utama yang mendapatkan relaksasi impor.
Menurut dia, pemerintah mempertimbangkan empat hal utama: kemudahan dan daya saing pelaku usaha, penciptaan lapangan kerja, dukungan terhadap sektor padat karya, serta dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menteri Perdagangan, Budi Santoso, usai rapat HBKN di gedung Kemendag, Jakarta Pusat, Senin (8/12/2025)
Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso memaparkan bahwa ia telah menandatangani sembilan Permendag baru yang mengatur impor berdasarkan klaster, antara lain:
- Permendag 16/2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor
- Permendag 17/2025 tentang Impor Tekstil dan Produk Tekstil
- Permendag 23/2025 tentang Impor Barang Konsumsi
- Aturan khusus mengenai impor barang dalam keadaan tidak baru dan limbah non-B3.
“Ini (pembagian) per klaster untuk memudahkan apabila nanti kita ada perubahan-perubahan berikutnya,” ujar Budi.
Ia menjelaskan bahwa Permendag impor yang baru akan berlaku dua bulan sejak diundangkan.
Selain deregulasi, pemerintah juga mengandalkan instrumen pengamanan perdagangan seperti safeguard dan bea masuk anti-dumping (BMAD).
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) antara lain menyelidiki perpanjangan tindakan pengamanan impor benang dan produk tekstil lain, sebagaimana disebut dalam sejumlah rilis resmi.
Pengawasan impor dan seruan penertiban
Pelaku industri menilai pengetatan pengawasan menjadi kunci agar relaksasi impor tidak berujung pada banjir barang murah.
Sejumlah asosiasi, termasuk APSyFI, sebelumnya menyebut adanya puluhan perusahaan yang diduga terlibat dalam modus impor tekstil ilegal melalui berbagai skema.
Apindo Jawa Tengah berharap ada terobosan baru dan regulasi yang tepat agar produk China tidak terlalu banyak diimpor, tanpa mempersulit kegiatan usaha yang sah.
“Musti ada suatu terobosan baru dan regulasi pemerintah yang tepat, jangan sampai menghambat atau mempersulit,” ujar Frans.
Ilustrasi tekstil, produk tekstil.
Industri tekstil dan produk tekstil saat ini sangat membutuhkan dukungan pemerintah terkait bahan baku dan kemudahan ekspansi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Garment dan Tekstil Indonesia (AGTI) Rizal Tanzil Rakhman mengatakan, jangan sampai upaya perluasan terhambat oleh perizinan yang bertele-tele.
"Terutama dalam penyediaan bahan baku dan penyederhanaan perizinan bagi industri yang ingin memperluas investasi," kata dia dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).
Data BPS menunjukkan bahwa impor Indonesia masih tumbuh dengan laju moderat dan masih dibutuhkan untuk memasok bahan baku dan barang modal.
Di sisi lain, pelaku industri, asosiasi, dan pemerintah daerah menyampaikan kekhawatiran terhadap masuknya produk impor murah, baik legal maupun ilegal, yang dinilai mengganggu ruang bagi produk dalam negeri.
Pemerintah merespons dengan kombinasi deregulasi dan penguatan pengawasan: merevisi aturan pokok impor menjadi beberapa klaster Permendag, menyiapkan instrumen trade remedies, hingga menegaskan kembali pentingnya pengawasan di lapangan.
Pelaku industri menekankan bahwa implementasi kebijakan di lapangan, termasuk penegakan terhadap impor ilegal dan dumping, akan sangat menentukan apakah banjir barang impor bisa diredam tanpa mengganggu kelancaran pasokan bahan baku bagi industri nasional.
Tag: #banjir #barang #impor #deras #bagaimana #nasib #industri #padat #karya