Ironi Menilai Strategi Bisnis dengan Timbangan Rongsok
DALAM dunia bisnis, tidak ada keputusan tanpa risiko. Setiap langkah strategis, baik ekspansi, merger, maupun akuisisi, selalu berada pada ruang ketidakpastian.
Namun belakangan ini, muncul fenomena yang membuat kita perlu berhenti sejenak dan merenung: keputusan korporasi jangka panjang sedang dihakimi dengan logika pedagang barang rongsok.
Kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara yang menyeret 3 Direksi BUMN ASDP ke meja adalah contohnya.
Keputusan bisnis yang dilakukan melalui proses korporasi, valuasi aset, kajian kelayakan, dan perhitungan prospek usaha, tiba-tiba direduksi oleh penegak hukum (KPK dan hakim) hanya menjadi satu pertanyaan yang sangat sederhana:
“Berapa harga kapalnya? Kok mahal sekali bayarnya sampai Rp 1,2 trilliun? Bukankah itu kapal tua yang nilainya hanya Rp 19 miliar?”
Logika ini seolah memindahkan perdebatan bisnis modern kembali ke era timbang kiloan besi tua. Seakan-akan nilai perusahaan hanya ditentukan oleh seberapa berat kapalnya dan berapa kilogram logam yang bisa dijual kembali. Padahal, dunia bisnis tidak bekerja seperti itu.
Akuisisi tidak sekadar membeli barang
Dalam akuisisi perusahaan, yang dibeli bukan hanya benda fisik. Kalau hanya melihat kapal, ya yang terlihat besi.
Namun, nilai korporasi bukan dinilai dari wujud fisiknya semata, melainkan dari ekosistem bisnis yang melekat di dalamnya, seperti akses pasar dan rute yang sudah berjalan, licenses & operation rights, basis pelanggan yang sudah terbentuk, potensi sinergi biaya dan efisiensi layanan, jaringan bisnis yang siap otomatis terhubung serta prospek pertumbuhan dan scale ekonomi.
Itulah yang membuat perusahaan digital tanpa profit bisa dihargai triliunan rupiah dalam proses akuisisi global. Bukan karena gedung, bukan karena mesin, tetapi karena potensi.
Namun, dalam konteks kita, narasi publik digiring secara sempit: kapal tua sama dengan kerugian negara.
Sangat ironis ketika strategi pembangunan jangka panjang ditakar seperti menaksir harga besi bekas.
Dalam tata kelola korporasi yang sehat, tolok ukur benar atau salahnya keputusan bisnis ditentukan oleh proses, bukan hasil akhir.
Selama keputusan dibuat secara rasional, berdasarkan data dan kajian profesional, tanpa niat jahat, dan dengan dokumentasi tata kelola yang lengkap, maka keputusan tersebut adalah keputusan bisnis yang sah.
Inilah yang dikenal dengan Business Judgment Rule, prinsip global yang menjadi fondasi corporate governance modern.
Namun ironinya, dalam perdebatan publik kita hari ini, prinsip penting ini hampir tidak terdengar. Yang lebih keras justru dramatisasi angka kerugian, yang dihitung menggunakan logika paling sederhana dan paling dangkal: valuasi berdasarkan nilai scrap.
Pertanyaannya: Apakah mungkin masa depan BUMN dibangun dengan logika harga kiloan besi? Apakah mungkin transformasi ekonomi terjadi jika proses bisnis hanya dinilai dari hasil akhir?
Bagaimana mungkin manajemen berani mengambil langkah strategis jika setiap risiko dianggap kejahatan?
Jika kita mengelola BUMN hanya untuk menghindari risiko, maka sesungguhnya kita sedang menciptakan lembaga yang mati sebelum bergerak.
Mengelola negara bukan mengelola rongsokan
BUMN adalah instrumen ekonomi strategis negara. Mereka dituntut menghasilkan terobosan, bukan memelihara status quo.
Namun, jika keberanian di dalamnya selalu dibalas dengan ancaman kriminalisasi, akan lahir budaya manajemen baru: “Lakukan yang paling aman, bukan yang paling dibutuhkan.”
Jika itu yang dilakukan, maka berbahaya bagi masa depan bangsa. Perusahaan besar tidak mungkin tumbuh tanpa risiko. Transformasi tidak mungkin terjadi tanpa keberanian. Inovasi selalu dimulai dari keputusan yang tidak semua orang pahami pada awalnya.
Maka, ketika keputusan korporasi dinilai hanya dari satu sisi, tanpa melihat kompleksitas proses, kita bukan sedang membangun akuntabilitas, kita sedang membunuh keberanian.
Penegakan hukum bukan berarti menakut-nakuti profesional yang bekerja untuk negara. Yang perlu diperkuat adalah akal sehat dalam pengawasan.
Ada tiga prinsip penting yang perlu kita tegakkan:
Pertama, memisahkan kesalahan bisnis dari niat jahat. Tidak semua kegagalan adalah kejahatan, dan tidak semua kerugian adalah korupsi.
Kedua, menguatkan Business Judgment Rule. Keputusan harus dinilai dari proses, bukan hasil.
Ketiga, audit berbasis proses, bukan berbasis angka headline. Audit harus menjadi alat belajar, bukan alat penghukuman.
Jika prinsip ini dijalankan, maka BUMN akan menjadi ruang strategis yang sehat, bukan ruang yang penuh ketakutan.
Indonesia tidak akan bisa menjadi negara maju jika keberanian selalu dikonversi menjadi kesalahan. Kita tidak bisa membangun masa depan hanya dengan menaksir sisa besi dan menuduh setelah semuanya selesai.
Keputusan bisnis tidak bisa dinilai seperti menimbang rongsokan. Yang kita pertaruhkan bukan kapal tua, tetapi masa depan kompetisi ekonomi negara.
BUMN harus berani melangkah dan bangsa ini harus berani mendukung prosesnya. Karena keberanian yang sehat adalah bahan bakar kemajuan. Kita tidak bisa maju dengan mentalitas pasar besi tua.
Tag: #ironi #menilai #strategi #bisnis #dengan #timbangan #rongsok