Budaya Main Aman: Racun yang Memperlambat Transformasi BUMN
Terdakwa kasus dugaan korupsi di PT ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono (ketiga kiri), Ira Puspadewi (kanan depan), dan Muhammad Yusuf Hadi (kiri) berjalan untuk menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/11/2025). Majelis Hakim memvonis mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi dengan hukuman empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, mantan Direktur Komersial da
08:04
27 November 2025

Budaya Main Aman: Racun yang Memperlambat Transformasi BUMN

MOMEN vonis terhadap tiga mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry (kemudian direhabilitasi Presiden Prabowo Subianto) atas kasus akuisisi kapal menjadi lebih dari sekadar peristiwa hukum.

Ia berubah menjadi cermin besar bagi seluruh jajaran BUMN: bagaimana keputusan bisnis strategis bisa tiba-tiba direduksi menjadi angka semata umur kapal, nilai residu besi tua dan diseret ke ruang kriminalisasi.

Kasus ini menyampaikan pesan keras: di tengah ambisi transformasi, banyak direksi dan manajemen kini ketakutan mengambil keputusan strategis. Ketakutan itulah yang bisa membunuh inovasi jauh lebih cepat daripada badai kompetisi.

Transformasi di lingkungan BUMN telah menjadi agenda nasional yang terus digenjot dalam beberapa tahun terakhir.

Restrukturisasi, digitalisasi, tata kelola baru, semua diarahkan untuk menjadikan BUMN sebagai lokomotif ekonomi nasional.

Namun di balik itu, ada racun yang tidak tampak oleh data: budaya main aman. Pola pikir yang menomorsatukan keamanan personal dan prosedur administratif dibanding keberanian mengambil risiko untuk kemajuan.

Mengapa budaya main aman berbahaya?

Budaya main aman muncul ketika pegawai, dari level staf hingga pimpinan, memprioritaskan menghindari risiko dan kesalahan, dibanding mengejar hasil dan kemajuan.

Keputusan sering dibuat berdasarkan keamanan pribadi, bukan kepentingan organisasi atau pelanggan.

Budaya seperti ini menciptakan pola perilaku:

  • Menunggu instruksi daripada mengambil inisiatif
  • Tidak mau mencoba inovasi karena takut gagal
  • Menghindari tanggung jawab dengan membuat justifikasi prosedural
  • Fokus pada kepatuhan administratif dibanding pencapaian kinerja
  • Menjaga zona nyaman daripada memberikan kontribusi optimal

Jika budaya ini dibiarkan, maka transformasi hanya akan menjadi jargon. Strategi terbaik pun akan gagal ketika dieksekusi oleh mentalitas yang salah.

Mentalitas: Kini Vs Harapan

Bayangkan dua pegawai dengan situasi yang sama: mereka menemukan peluang efisiensi proses yang berpotensi menghemat waktu dan biaya operasional bagi perusahaan.

Pegawai dengan mentalitas saat ini lebih memilih diam dan tidak melakukan apa-apa. Ia berkata dalam hati: “Kalau saya mengusulkan ide baru dan gagal, saya bisa disalahkan. Lebih aman kalau semuanya dibiarkan berjalan seperti biasa. Yang penting saya tidak bikin masalah.”

Ia menunggu instruksi, memastikan semua prosedur formal dipenuhi, dan merasa aman karena tidak mengambil risiko pribadi.

Hasilnya, organisasi tidak bergerak maju satu langkah pun, tetap berjalan di tempat dalam rutinitas yang stagnan.

Sebaliknya, pegawai dengan mentalitas yang baik diharapkan mengambil langkah berbeda. Ia berpikir: “Kalau ada cara yang lebih baik, kenapa tidak dicoba? Kalau pun belum sempurna, itu bagian dari proses belajar.”

Ia mengumpulkan data pendukung, berdiskusi dengan rekan kerja, membuat uji coba dalam skala kecil, lalu mempresentasikan gagasan tersebut kepada pimpinan.

Jika berhasil, maka itu menjadi model perbaikan. Jika belum optimal, ia memperbaikinya dan mencoba lagi hingga menemukan cara yang terbaik. Organisasi pun bergerak maju, perlahan tapi pasti.

Cerita di atas mencerminkan dua arah budaya kerja yang berlawanan. Mentalitas saat ini masih didominasi kebutuhan untuk fokus pada keamanan pribadi, di mana keselamatan posisi dan reputasi lebih penting daripada dampak dan kemajuan organisasi.

Pegawai merasa aman selama semua berjalan sesuai pola lama, meski tanpa hasil berarti. Sementara itu, mentalitas yang diharapkan menempatkan dampak dan kemajuan sebagai pusat keputusan, sehingga setiap tindakan dinilai dari nilai yang diciptakannya bagi perusahaan dan masyarakat.

Perbedaan mencolok juga tampak dalam cara memandang aturan. Mentalitas saat ini menjadikan prosedur sebagai tujuan akhir; selama tanda tangan lengkap dan semua dokumen rapi, pekerjaan dianggap selesai.

Sebaliknya, mentalitas yang diharapkan melihat prosedur sebagai alat untuk menciptakan nilai, bukan tembok pembatas. Yang dicari bukan sekadar benar secara administrasi, tetapi juga bermanfaat secara strategi.

Sikap terhadap kesalahan pun memperlihatkan jurang besar. Mentalitas saat ini dipenuhi ketakutan untuk salah, sehingga orang enggan mengambil risiko keputusan dan inovasi.

Sebaliknya, mentalitas yang diharapkan menghargai keberanian untuk mencoba dan belajar dari proses, karena tidak ada inovasi yang lahir dari rasa takut.

Perbedaan itu juga terlihat dalam perilaku sehari-hari. Mereka yang terjebak dalam mentalitas saat ini bersikap pasif dan defensive, menunggu perintah, menghindar dari tanggung jawab, dan sibuk mencari aman.

Sementara itu, mentalitas baru menuntut sikap proaktif dan inovatif, berani memulai, menawarkan ide, dan mencari solusi meski belum sempurna.

Pada akhirnya, perbedaan terbesar adalah soal kenyamanan. Banyak pegawai memilih menjaga zona nyaman untuk mempertahankan stabilitas pribadi.

Sedangkan mentalitas yang diharapkan mendorong orang melakukan terobosan, melampaui batas rutinitas dan membuka ruang bagi lompatan kemajuan.

Budaya berani

Di era digital dan persaingan global, organisasi yang lambat berpikir dan ragu bertindak akan tertinggal jauh.

BUMN harus mampu menjawab tantangan dengan keputusan tepat, inovasi berani, dan tanggung jawab profesional, bukan sekadar aman dari tuduhan.

Untuk itu, perubahan budaya menjadi kunci:

  • Manajemen harus memberikan ruang mencoba dan toleransi terhadap kegagalan terukur
  • Pemimpin harus mencontohkan keberanian mengambil keputusan
  • Karyawan harus berani bertanggung jawab dan proaktif memecahkan masalah
  • Sistem reward harus berbasis kontribusi, bukan sekadar senioritas dan kepatuhan

Kasus ASDP bukan hanya peringatan hukum. Ia adalah alarm moral, peringatan bahwa jika kita membiarkan budaya main aman menjadi norma, BUMN akan kehilangan roh transformasi.

Ketakutan akan menghukum keberanian dan inovasi akan mati sebelum sempat lahir.
Transformasi bukan hanya urusan struktur dan teknologi, tetapi perang melawan mentalitas lama yang menahan langkah maju.

Saatnya meninggalkan zona nyaman kekhawatiran dan membangun budaya keberanian dan tanggung jawab.

BUMN harus menjadi ruang untuk mencipta, bukan sekadar menjaga. Bangsa besar tidak tumbuh dari ketakutan, tetapi dari keberanian yang dibarengi akal sehat. BUMN tidak bisa maju tanpa budaya berani.

Semoga tidak ada Ira Puspadewi baru yang dikriminalisasi karena berani melakukan terobosan.

Tag:  #budaya #main #aman #racun #yang #memperlambat #transformasi #bumn

KOMENTAR