Kronologi Indonesia Kehilangan Investor Semikonduktor Gegara Kebijakan 'Nyeleneh'
Ilustrasi chip [Unsplash]
13:24
19 November 2025

Kronologi Indonesia Kehilangan Investor Semikonduktor Gegara Kebijakan 'Nyeleneh'

Baca 10 detik
  • Pada 1970-an hingga 1980-an, Indonesia adalah pusat perakitan semikonduktor Asia Tenggara.
  • Kebijakan larangan otomasi yang dikeluarkan Menteri Tenaga Kerja Sudomo pada 1980-an menyebabkan perusahaan multinasional seperti Fairchild terpaksa relokasi.
  • Setelah kehilangan basis produksinya, Indonesia kini menjadi negara pengimpor chip semikonduktor.

Indonesia memiliki sejarah yang sering terlupakan sebagai pemain kunci dalam rantai pasok industri elektronik global.

Pada era 1970-an dan 1980-an, Indonesia sempat menjadi "raksasa semikonduktor" di Asia Tenggara, menampung investasi besar dari perusahaan multinasional Amerika Serikat.

Namun, serangkaian blunder kebijakan dan perubahan iklim investasi global membuat pabrik-pabrik tersebut hengkang.

Akibatnya, kini Indonesia menjadi pengimpor chip semikonduktor, tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Periode Emas (1970–1980-an): Basis Perakitan Chip Dunia 

Pada periode ini, Indonesia benar-benar masuk ke rantai industri elektronik dunia. Perusahaan-perusahaan raksasa AS seperti Fairchild, National Semiconductor, dan Monsanto mendirikan fasilitas perakitan, pengujian, dan pengemasan integrated circuit (IC) serta Light Emitting Diode (LED) di Jakarta dan Bandung.

Fairchild Semiconductor, misalnya, menjadi simbol kejayaan dengan mempekerjakan lebih dari 6.000 orang, mayoritas adalah perempuan, di pabriknya di Jakarta.

Puncaknya pada tahun 1980-an, Indonesia menjadi salah satu produsen semikonduktor yang mampu mengekspor chip ke berbagai negara, membuktikan kemampuan teknis dan kapasitas produksi bangsa.

Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki industri terkait seperti pabrik komponen elektronik analog dan digital, hingga industri TV dan Radio nasional yang kuat (National Gobel, Polytron, Sharp Indonesia).

Blunder Kebijakan Sudomo: Larangan Otomasi yang "Membagongkan" 

Awal kemunduran industri semikonduktor Indonesia secara spesifik dapat ditelusuri kembali ke kebijakan yang dianggap "blunder" pada medio 1980-an.

Saat itu, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, kebijakan ekonomi sangat fokus pada penciptaan lapangan kerja massal, sehingga industri padat karya mendapat perhatian khusus.

Kebijakan ini, yang dimaksudkan sebagai gestur pro-buruh, diimplementasikan secara pukul rata tanpa pandang bulu.

Laksamana TNI (Purn.) Muhammad Sudomo, yang saat itu menjabat Menteri Tenaga Kerja, mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan melarang penggunaan robot atau otomatisasi di industri semikonduktor.

Kebijakan ini merupakan pukulan telak yang "membagongkan" industri teknologi tinggi.

Proses pembuatan semikonduktor—mulai dari pembuatan dodol silikon, mengirisnya menjadi wafer setipis 400 microns, hingga mengukir rangkaian logika (transistor) menggunakan teknologi litografi (yang kala itu sudah mencapai skala 800 nanometer)—sangat membutuhkan presisi tinggi, error rendah, dan kontinuitas yang hanya bisa dicapai oleh robot dan otomatisasi.

Ketidakmungkinan manusia melakukan proses manufaktur berskala nanometer ini secara masif dan kontinu dengan standar global, membuat perusahaan multinasional seperti Fairchild tak punya pilihan.

Mereka terpaksa menutup operasinya atau relokasi ke negara tetangga, terutama Malaysia.

Selain blunder kebijakan Sudomo, hengkangnya pabrik semikonduktor dan kegagalan Indonesia mempertahankan posisi dipicu oleh beberapa faktor lain yang datang secara simultan:

Perubahan Model Bisnis Global: Industri semikonduktor dunia berubah drastis dari model terintegrasi (hulu ke hilir) menjadi terpecah-pecah (fragmented). Investor memilih negara yang dianggap lebih menguntungkan.

Negara Pesaing Memberi Insentif: Pada era 1990-an hingga 2000-an, negara pesaing seperti Malaysia, China, Vietnam, dan Thailand bergerak cepat menawarkan insentif pajak besar-besaran dan ongkos produksi yang jauh lebih murah. Indonesia tidak mengimbangi langkah ini.

Krisis Ekonomi 1998: Krisis moneter menghantam industri manufaktur, menyebabkan banyak pabrik bangkrut, investasi teknologi mandek, dan industri elektronik lokal runtuh. Ini adalah pukulan terbesar yang mengakhiri kejayaan tersebut.

Kurangnya Roadmap Riset Jangka Panjang: Tidak ada kelanjutan riset dan investasi jangka panjang (20–40 tahun) pada ekosistem elektronik nasional. Sementara negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura gencar mendukung universitas dan membangun roadmap teknologi.

Dominasi Impor: Indonesia memilih menjadi negara dagang daripada negara industri, di mana banyak perusahaan lokal lebih memilih mengimpor dan menjual daripada memproduksi.

Setelah kehilangan statusnya dan menjadi pengimpor chip semikonduktor, Pemerintah saat ini berupaya membangkitkan kembali industri ini, salah satunya dengan fokus pada pembangunan ekosistem, termasuk mengusulkan larangan ekspor silika untuk mendorong industri pengolahan dalam negeri.

Editor: M Nurhadi

Tag:  #kronologi #indonesia #kehilangan #investor #semikonduktor #gegara #kebijakan #nyeleneh

KOMENTAR