Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Data Satgas PKH agar Tak Rugikan Petani Sawit
- Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam) menilai perlunya pemerintah untuk mengevaluasi dan memverifikasi ulang data penguasaan lahan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Langkah ini dinilai penting agar memastikan kebijakan penertiban kawasan hutan berjalan transparan, akurat, serta tidak merugikan petani kecil
Direktur Pustaka Alam, Muhamad Zainal Arifin mengungkapkan, selain banyak lahan kosong, hasil kajian terbaru lembaganya juga menunjukkan bahwa ratusan ribu hektar kebun sawit milik petani rakyat tercatat dalam data Satgas PKH.
Temuan ini pun mengindikasikan adanya dugaan potensi pelanggaran hukum yang dilakukan Satgas PKH.
"Selama ini Satgas PKH mengklaim dan melaporkan kepada Presiden Prabowo bahwa seluruh lahan yang dilakukan penguasaan kembali merupakan lahan milik perusahaan," ujar Zainal Arifin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/11/2025).
"Namun, temuan awal kami menunjukkan sekitar 614.235 hektar yang lahan sawit dikuasai kembali oleh Satgas adalah kebun sawit milik petani rakyat," imbuh dia.
Menurut data Satgas PKH per 1 Oktober 2025, sebanyak 3.404.522,67 hektar kawasan hutan telah dikuasai kembali, dan 1.507.591,9 hektar di antaranya telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara.
Berdasarkan kajian awal, Pustaka Alam mengidentifikasi sekitar 614.235 hektar tersebut merupakan kebun sawit milik petani rakyat yang ikut tercatat sebagai objek penguasaan kembali.
Kajian tersebut menggunakan sejumlah dokumen resmi, antara lain SK Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan (SK DATIN) Nomor I sampai XXIII, rekapitulasi penyerahan lahan Satgas PKH ke Agrinas Palma, serta laporan perusahaan sawit.
Pustaka Alam menilai, Satgas PKH menggunakan izin lokasi perusahaan perkebunan sebagai dasar penguasaan kembali lahan. Padahal, lahan itu secara faktual telah diusahakan petani secara mandiri selama bertahun-tahun, bahkan sebelum izin lokasi tersebut terbit.
Dalam kajian Pustaka Alam di beberapa provinsi, ditemukan sejumlah penguasaan kembali yang menimpa lahan masyarakat.
Contohnya, di Kalimantan Tengah, pada areal PT UP dilakukan penguasaan kembali seluas 571,47 hektar, dan seluruh areal tersebut merupakan lahan milik masyarakat.
Kasus serupa juga terjadi di Provinsi Riau, pada areal PT GH dengan total 7.520,35 hektar, di mana 7.402,35 hektar di antaranya adalah kebun rakyat.
Zainal memperingatkan bahwa penguasaan kembali kebun rakyat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di berbagai daerah, terutama di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, dan Riau.
Konflik dapat dipicu karena petani sawit akan berusaha mempertahankan kebun yang telah mereka usahakan selama bertahun-tahun, sementara pihak Agrinas Palma dan mitra kerja sama operasi (KSO) lainnya yang berasal dari luar daerah mulai melakukan aktivitas panen atas dasar penyerahan lahan dari Satgas PKH.
Mitra KSO hanya berorientasi pada pemanenan cepat (hit and run).
"Ke depan situasi di lapangan sangat rawan. Kegiatan panen oleh Agrinas Palma dan mitra KSO ini kerap dikawal aparat keamanan. Keterlibatan aparat dalam sengketa agraria ini menciptakan asimetris kekuasaan. Petani sawit yang memperjuangkan lahannya diperlakukan sebagai penggarap ilegal di tanah mereka sendiri," papar Zainal.
Menurutnya, apa yang dilakukan Satgas PKH ini bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang ingin melindungi petani kecil.
Kajian Pustaka Alam juga menyoroti potensi beban denda administratif berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 2025. Jika 614.235 hektar lahan rakyat dianggap sebagai kegiatan tanpa izin selama 20 tahun dan dikenakan denda Rp 375 juta per hektar, maka potensi denda mencapai Rp 230,34 triliun.
’Kami mendesak Presiden Prabowo untuk mengevaluasi data penguasaan kembali dan melakukan verifikasi ulang terhadap Data Satgas PKH. Di samping itu, penguasaan kembali yang dilakukan terhadap lahan petani rakyat harus dibatalkan dan penerapan PP Nomor 45 Tahun 2025 perlu ditinjau ulang,’’ tandasnya.
Senada, Wakil Ketua Umum Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade), Abdul Aziz meminta Presiden Prabowo segera menata ulang kebijakan tata kelola sawit dan kehutanan yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hal ini merugikan para petani sawit yang kebunnya tiba-tiba dianggap berada di dalam kawasan hutan meski mereka sudah mengantongi sertifikat maupun HGU.
Menurut Aziz, masalah utama terletak pada ketidakjelasan data dan klaim kawasan hutan yang dibuat Kementerian Kehutanan. Aziz menegaskan, perjuangan petani sawit bukan untuk menolak aturan, melainkan menuntut kejelasan dan keadilan hukum.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Satgas PKH Febrie Adriansyah menegaskan bahwa kebijakan penertiban kawasan hutan tidak semata berorientasi pada sanksi pidana, melainkan untuk mengembalikan penguasaan kawasan hutan kepada negara.
Menurut Febrie, para pelaku diwajibkan mengembalikan seluruh keuntungan yang diperoleh secara tidak sah kepada negara.
“Apabila ada pihak yang tidak kooperatif atau mencoba menghambat implementasi kebijakan ini, penyelesaian dapat ditingkatkan ke ranah penegakan hukum pidana, baik berdasarkan hukum administrasi, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” tegas Febrie.
Langkah tegas ini diharapkan memperkuat posisi negara dalam pengelolaan sumber daya alam demi kepentingan rakyat, sekaligus menjadi peringatan bagi pihak yang tidak patuh terhadap kebijakan pemerintah.
Tag: #pemerintah #diminta #tinjau #ulang #data #satgas #agar #rugikan #petani #sawit