Kajian CPI: Investasi Sektor Ketenagalistrikan di RI Masih Jauh dari Target
-
Investasi kelistrikan capai USD 38 miliar, masih kurang dari kebutuhan target.
-
Investasi EBT lebih rendah daripada investasi bahan bakar fosil.
-
Swasta dominasi pembiayaan, mayoritas masih ke bahan bakar fosil.
Climate Policy Initiative (CPI) mengungkapkan hasil kajiannya terkait investasi ketenagalistrikan di Indonesia sepanjang 2019-2023. Tercatat dalam periode itu total investasi ketenagalistrikan mencapai USD 38,02 miliar atau rata-rata USD 7,6 miliar per tahun.
Director of CPI Indonesia, Tiza Mafira menyebut angka itu masih dari setengah kebutuhan investasi tahunan sebesar USD 19,4 miliar untuk mencapai target iklim nasional pada tahun 2030.
Secara rinci untuk rata-rata tahunan investasi energi baru terbarukan (EBT) baru menyentuh angka USD 1,79 miliar. Angka itu masih berada di bawah kebutuhan investasi tahunan sebesar USD 9,1 miliar untuk mencapai target Enhanced NDC Indonesia.
PerbesarIlustrasi Transisi Energi, Energi Baru dan Terbarukan. [Dok Pertamina NRE]."Meskipun Indonesia baru saja meluncurkan Second NDC dengan estimasi total kebutuhan investasi mencapai USD 472,6 miliar hingga tahun 2035, tidak ada alokasi sektoral yang secara khusus dilaporkan untuk EBT. Investasi EBT juga lebih rendah dibandingkan rata-rata tahunan investasi bahan bakar fosil yang tercatat, yaitu sebesar USD 2,55 miliar," ujar Tiza di Jakarta yang dikutip pada Senin (3/10/2025).
Dalam kajian CPI, ditemukan investasi EBT utamanya bersumber dari domestik sebesar 55 persen dan terpusat di pembangkit listrik berbasis baseload seperti panas bumi dan tenaga air.
Adapun, pembiayaan swasta untuk EBT mendominasi sebesar 60,4 persen, sementara pembiayaan publik mencapai 37 persen.
Ditemukan juga, pembiayaan untuk EBT variabel (surya dan angin) mengalami tren peningkatan, dari USD 0,03 miliar pada 2019 menjadi USD 0,68 miliar pada 2023.
"Secara keseluruhan, swasta menjadi penggerak utama pembiayaan di sektor ketenagalistrikan, dengan kontribusi sebesar 73,72 persen," kata Tiza.
Namun demikian, dari pembiayaan swasta itu sebesar 59,25 persen dialokasikan untuk bahan bakar fosil. Sumber investasi swasta internasional yang menonjol dalam pembiayaan proyek bahan bakar fosil berasal dari Tiongkok sebesar USD 2,48 miliar, dan Korea Selatan senilai USD 1,52 miliar.
CPI memperkirakan, sekitar USD 10,63 miliar (lebih dari 50 persen) dari investasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara pada periode 2019–2023 tidak tercatat.
Menurut Tiza, temuan itu menunjukkan kesenjangan data yang signifikan dan mengindikasikan bahwa nilai investasi batu bara yang sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar.
"Hal ini disebabkan banyak data terkait PLTU captive, yang beroperasi untuk memenuhi kebutuhan energi dari sektor industri, belum tercatat secara resmi," jelasnya.
Berdasarkan seluruh data tersebut, CPI menyatakan masih adanya ketimpangan dalam investasi ketenagalistrikan di Indonesia.
"Bahan bakar fosil masih mendapatkan porsi investasi terbesar, lebih dari dua kali lipat dibandingkan energi terbarukan," ujar Tiza.
Adapun data ini diperoleh CPI dari melalui proses triangulasi yang menggabungkan berbagai sumber data resmi. CPI sendiri merupakan adalah organisasi analisis dan penasehat dengan keahlian mendalam di bidang keuangan dan kebijakan iklim.
CPI memiliki tujuh kantor yang tersebar di sejumlah negara seperti Afrika Selatan, Amerika Serikat, Brazil, India, Indonesia, dan Inggris. Di Indonesia, CPI berfokus untuk mendukung perjalanan transisi menuju nol emisi bersih dan ekonomi yang berketahanan iklim.
Tag: #kajian #investasi #sektor #ketenagalistrikan #masih #jauh #dari #target