Ekonom Nilai Menkeu Purbaya Abaikan Keterbukaan Risiko Fiskal dalam Pengelolaan APBN
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti sikap pemerintah yang dinilai kurang transparan dalam mengungkapkan risiko fiskal kepada publik.
Menurut Awalil, risiko fiskal seharusnya dipahami sebagai deviasi antara hasil dengan target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang muncul akibat guncangan makroekonomi atau kewajiban kontinjensi.
“Risiko fiskal harus diungkap agar publik memahami potensi tekanan terhadap APBN secara transparan,” ujarnya dalam keterangannya dikutip pada Senin (3/11/2025).
Mengutip Xavier (2019), ia menjelaskan bahwa risiko fiskal dapat disebabkan oleh tiga kategori utama: risiko ekonomi umum, risiko fiskal spesifik, dan risiko kelembagaan seperti lemahnya kontrol pengeluaran atau penerimaan negara.
Ia menjabarkan, risiko fiskal dapat berasal dari faktor internal maupun eksternal yang memberi tekanan terhadap APBN, baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Oleh karena itu, risiko fiskal tidak hanya perlu diidentifikasi, tetapi juga harus dikelola dan diungkapkan secara transparan agar publik memahami kondisi fiskal negara secara utuh.
Menurut Awalil, pengungkapan risiko fiskal merupakan bagian penting dari tata kelola APBN yang baik.
Transparansi ini berfungsi meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan, memperkuat akuntabilitas fiskal, serta menjaga kesinambungan fiskal jangka panjang.
“Sayangnya, hal itu belum menjadi praktik yang dijalankan secara terbuka,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengungkapan risiko fiskal sebenarnya sudah dilakukan pemerintah sejak 2008 melalui Nota Keuangan yang menyertai APBN.
Bahkan, sejak 2022 pemerintah telah mengadopsi taksonomi risiko fiskal yang umum digunakan secara internasional.
Namun, dalam praktiknya, asesmen pemerintah dalam peta risiko terkesan menurunkan level koordinat risiko agar terlihat moderat.
Sebagai contoh, Nota Keuangan RAPBN 2026 menunjukkan risiko ekonomi makro terhadap pendapatan negara berada pada tingkat dampak sedang dan kemungkinan sangat mungkin terjadi.
Sementara untuk pembiayaan anggaran, risikonya juga dikategorikan sedang dan mungkin terjadi.
Menurut Awalil, klasifikasi ini terlalu rendah jika dibandingkan dengan indikator riil seperti rasio pembayaran utang terhadap pendapatan negara yang sudah mencapai 45,18 persen pada 2024.
Awalil menilai, pemerintah tampak enggan mengungkapkan risiko fiskal secara terbuka kepada publik.
Selama ini, informasi tersebut hanya termuat dalam Nota Keuangan yang bersifat teknokratis dan jarang dikomunikasikan secara luas.
“Padahal, pengungkapan risiko adalah bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk memastikan transparansi dan keberlanjutan fiskal,” kata dia.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa tanpa keterbukaan mengenai risiko fiskal, publik sulit menilai seberapa realistis kebijakan anggaran yang dijalankan pemerintah.
Transparansi, menurutnya, adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik sekaligus memastikan kebijakan fiskal tetap kredibel di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Tag: #ekonom #nilai #menkeu #purbaya #abaikan #keterbukaan #risiko #fiskal #dalam #pengelolaan #apbn