Tantangan Literasi Kesehatan di Indonesia, Mulai Faktor Budaya hingga Ketimpangan Gender
– Literasi kesehatan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.
Perbedaan pemahaman masyarakat di setiap daerah menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi upaya peningkatan literasi kesehatan secara merata.
Dosen Departemen Kependudukan dan Biostatistika, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Dr. Wahyu Septiono, S.K.M., M.I.H. mengatakan, karakteristik masyarakat yang beragam turut memengaruhi cara mereka memahami isu kesehatan.
“Setiap daerah juga punya pemahaman yang berbeda soal kesehatan. Hal ini juga menjadi tantangan untuk literasi kesehatan,” ujarnya dalam Diskusi Media terkait laporan Health Inclusivity Index (HII) 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025).
Menurut Wahyu, perbedaan latar belakang pendidikan, akses informasi, serta nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat membuat tingkat literasi kesehatan tidak merata antarwilayah.
Tantangan pemerataan literasi kesehatan di Indonesia
Norma sosial dan mitos kesehatan masih kuat
Dosen Departemen Kependudukan dan Biostatistika, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Dr. Wahyu Septiono, S.K.M., M.I.H. dalam Diskusi Media terkait laporan Health Inclusivity Index (HII) 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025).
Selain perbedaan pemahaman antarwilayah, Wahyu menyoroti kuatnya pengaruh norma sosial, budaya, dan kepercayaan terhadap mitos kesehatan sebagai tantangan utama literasi kesehatan di Indonesia.
Faktor-faktor tersebut kerap membentuk cara pandang masyarakat terhadap kesehatan, bahkan sebelum informasi medis yang benar diterima.
“Hal yang paling jadi tantangan literasi kesehatan dan sering ditemui di lapangan adalah norma sosial, budaya, dan kepercayaan masyarakat akan mitos soal kesehatan,” ujarnya.
Kepercayaan terhadap mitos kesehatan dapat memengaruhi keputusan masyarakat dalam mencari pertolongan medis.
Dalam beberapa kasus, masyarakat lebih mempercayai informasi turun-temurun dibandingkan penjelasan tenaga kesehatan, sehingga berpotensi menunda penanganan yang tepat.
Wahyu menilai, selama norma dan kepercayaan tersebut tidak diimbangi dengan edukasi yang memadai, literasi kesehatan akan sulit berkembang secara optimal.
Ketimpangan gender dalam pemahaman kesehatan
Tantangan literasi kesehatan di Indonesia juga terlihat dari adanya ketimpangan gender dalam pemahaman isu kesehatan tertentu.
Wahyu mencontohkan, masih banyak masyarakat yang menganggap kesehatan reproduksi hanya menjadi urusan perempuan.
“Contohnya, masih banyak yang beranggapan kalau kesehatan reproduksi itu urusan perempuan. Padahal penting juga untuk laki-laki. Gap gender di literasi kesehatan ini sangat terlihat di negara kita,” kata Wahyu.
Pandangan tersebut, menurutnya, membuat laki-laki merasa tidak perlu mempelajari isu kesehatan reproduksi. Akibatnya, pemahaman mengenai kesehatan tidak berkembang secara seimbang di antara kedua gender.
Ketimpangan ini berdampak pada rendahnya keterlibatan laki-laki dalam isu-isu kesehatan keluarga, termasuk dalam pengambilan keputusan penting terkait kesehatan pasangan dan anak.
Peran ayah dalam kesehatan kehamilan kerap terabaikan
Wahyu juga menyoroti minimnya peran laki-laki dalam isu kehamilan akibat rendahnya literasi kesehatan.
Selama ini, edukasi kehamilan lebih banyak difokuskan kepada ibu, sementara peran ayah sering kali terabaikan.
“Sama juga dalam kasus kehamilan, sering kali hanya ibu yang dibekali, padahal dalam kehamilan peran ayah juga penting supaya tahu pertolongan atau langkah apa yang bisa dilakukan di beberapa kondisi ibu,” terang Wahyu.
Menurutnya, keterlibatan ayah dalam pemahaman kesehatan kehamilan sangat penting, terutama dalam kondisi darurat atau saat ibu membutuhkan dukungan.
Tanpa literasi kesehatan yang memadai, peran ayah tidak dapat dijalankan secara optimal.
Kondisi ini menunjukkan bahwa literasi kesehatan bukan hanya soal pengetahuan individu, tetapi juga berkaitan dengan peran sosial dan relasi dalam keluarga.
Tanggung jawab bersama lintas sektor
Wahyu menegaskan, literasi kesehatan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah.
Seluruh elemen masyarakat memiliki peran dalam meningkatkan pemahaman kesehatan agar sistem kesehatan dapat berjalan lebih baik.
“Bicara kesehatan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi setiap lini, termasuk sumber daya atau masyarakatnya. Kalau literasi kesehatan masyarakat rendah, maka sulit untuk memajukan sistem kesehatannya juga,” ujarnya.
Ia berpandangan bahwa rendahnya literasi kesehatan akan menjadi hambatan dalam pengembangan sistem kesehatan yang inklusif dan berkelanjutan.
Program kesehatan yang dirancang dengan baik pun berisiko tidak efektif jika masyarakat tidak memiliki pemahaman yang memadai.
Maka dari itu, peningkatan literasi kesehatan perlu dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan pemerintah, akademisi, tenaga kesehatan, media, serta komunitas masyarakat.
Tanpa upaya bersama, tantangan literasi kesehatan di Indonesia akan terus berulang dan menghambat kemajuan sistem kesehatan nasional.
Tag: #tantangan #literasi #kesehatan #indonesia #mulai #faktor #budaya #hingga #ketimpangan #gender