Menapaki Sejarah Kelistrikan Indonesia: Dari Privilege Kolonial hingga Energi Hijau Masa Depan Seluruh Rakyat
Museum Listrik dan Energi Baru (MLEB) di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. (Dok. MLEB)
12:54
31 Oktober 2025

Menapaki Sejarah Kelistrikan Indonesia: Dari Privilege Kolonial hingga Energi Hijau Masa Depan Seluruh Rakyat

Listrik kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Namun, perjalanan panjang Indonesia menuju terang benderang ini ternyata menyimpan kisah menarik sejak masa penjajahan Belanda hingga era energi hijau yang tengah dikembangkan saat ini.

Museum Listrik dan Energi Baru (MLEB) adalah satu dari sekian banyak saksi perjalanan kelistrikan di Indonesia. Supervisor Bidang Pengembangan MLEB, Jamaludin, menjelaskan secara rinci bagaimana kelistrikan Indonesia berkembang dari masa ke masa, hingga menjadi tulang punggung peradaban modern.

Awal Mula: Listrik untuk Kolonial Belanda (tahun 1890-an)

Perjalanan listrik di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, saat negeri ini masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Jamaludin menuturkan, saat itu listrik belum digunakan untuk kepentingan menyalakan lampu rumah milik rakyat, melainkan kepentingan pemerintah kolonial dan perusahaan swasta Belanda.

"Pada masa itu, listrik bukan untuk rakyat, melainkan digunakan untuk kepentingan pemerintah kolonial dan perusahaan swasta Belanda, seperti perusahaan gula, pertambangan, dan perkeretaapian," ujarnya saat berbincang dengan JawaPos.com

Listrik pertama kali menyala di Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1897. Pembangkit tersebut dikelola oleh NV NIGM (Nederland Indische Gas Maatschappij), perusahaan gas Belanda yang kemudian merambah bisnis listrik. Dari situ, penerangan mulai menjangkau kota besar lain seperti Surabaya, Semarang, dan Medan, meski hanya untuk kalangan elit kolonial.

Masa Pendudukan Jepang: Awal Kemandirian Teknis (1942–1945)

Saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942, seluruh aset listrik Belanda diambil alih oleh pemerintah militer Jepang. Sayangnya, karena Perang Dunia II, banyak pembangkit rusak dan pasokan listrik menurun drastis. Namun, masa ini justru menjadi momen penting bagi tenaga lokal.

"Masa ini menjadi titik awal bagi tenaga teknis lokal Indonesia untuk mulai belajar mengoperasikan sistem kelistrikan dari pihak Jepang. Sebuah pengalaman yang kelak menjadi penting setelah kemerdekaan," jelas Jamaludin.

Dua Bulan setelah Proklamasi: Listrik untuk Rakyat Indonesia (1945–1950-an)

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, para pemuda Indonesia bergerak cepat merebut aset kelistrikan dari tangan Jepang. 

Peristiwa penting terjadi pada 27 Oktober 1945, ketika para pekerja listrik dan gas di Jakarta berhasil mengambil alih perusahaan listrik Jepang dan membentuk lembaga baru bernama Jawatan Listrik dan Gas di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga.

"Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Listrik Nasional setiap 27 Oktober," terangnya.

Tanggal tersebut kini diperingati sebagai Hari Listrik Nasional. Saat itu, kapasitas listrik nasional baru sekitar 157,5 megawatt. Namun semangat untuk menghadirkan listrik hingga seluruh pelosok negeri mulai berkobar.

Listrik pertama kali menyala di Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1897. Pembangkit tersebut dikelola oleh NV NIGM (Nederland Indische Gas Maatschappij). (dok. MLEB)

Era Pembangunan: Lahirnya PLN dan Proyek Raksasa (1950–1970-an)

Memasuki tahun 1950-an, pemerintah gencar membangun pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di berbagai daerah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat.

Pada tahun 1961, dibentuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang bertanggung jawab atas penyediaan tenaga listrik di seluruh Indonesia.

PLN kemudian memimpin proyek besar seperti PLTA Jatiluhur, PLTU Tanjung Priok, dan PLTA Sigura-gura. Listrik mulai menjangkau daerah-daerah di luar Jawa, meskipun masih terbatas di perkotaan.

"PLN menjadi simbol semangat kemandirian energi bangsa," katanya.


Modernisasi: Program Listrik Masuk Desa (1980–1990-an)

Dekade 1980–1990-an menjadi tonggak modernisasi kelistrikan nasional. Pemerintah meluncurkan program Listrik Masuk Desa, membuka akses energi bagi jutaan masyarakat pedesaan.

Selain itu, teknologi pembangkit mulai beragam. Diantaranya, hadirnya PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) berbahan bakar batu bara, PLTG (Tenaga Gas), dan PLTA skala besar.

"Di akhir 1990-an, kapasitas listrik nasional meningkat tajam hingga mencapai lebih dari 20.000 MW, menandakan kemajuan besar bagi industri dan kesejahteraan masyarakat," jelas Jamaludin.

Era Reformasi: Menuju Energi Terbarukan (2000–sekarang)

Setelah reformasi, Indonesia menghadapi tantangan baru: meningkatnya kebutuhan listrik di tengah krisis energi fosil. "Pemerintah dan PLN mulai mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) seperti PLTS, PLTB, PLTP, dan PLTSa," terang Jamaludin.

Beberapa proyek besar di antaranya PLTP Kamojang (Jawa Barat), PLTB Sidrap (Sulawesi Selatan), dan PLTS Likupang (Sulawesi Utara). Upaya ini menjadi langkah nyata menuju ketahanan energi nasional dan Indonesia bebas emisi karbon.

Masa Depan: Elektrifikasi dan Energi Hijau

Kini, Indonesia sedang memasuki era elektrifikasi penuh. Dari mobil listrik, smart grid, hingga energi hijau, semuanya mengarah pada masa depan berkelanjutan. Pemerintah menargetkan pada tahun 2060, Indonesia dapat mencapai net zero emission, dimana seluruh sistem energi sudah berbasis sumber terbarukan.

"Listrik bukan lagi sekadar penerangan, tetapi tenaga kehidupan, pendorong ekonomi, dan simbol kemajuan bangsa," tegasnya.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #menapaki #sejarah #kelistrikan #indonesia #dari #privilege #kolonial #hingga #energi #hijau #masa #depan #seluruh #rakyat

KOMENTAR