Kemenperin Bantah Produksi Gula RI Stagnan, Klaim Bisa Capai Swasembada
Ilustrasi gula. (Freepik/v.ivash)
12:48
29 Oktober 2025

Kemenperin Bantah Produksi Gula RI Stagnan, Klaim Bisa Capai Swasembada

- Pemerintah menepis anggapan produksi gula nasional jalan di tempat alias stagnan. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memastikan produksi tebu justru naik tajam, dan membuka peluang tercapainya swasembada dan hilirisasi gula menjadi etanol.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, mengatakan produksi gula dari tebu dalam beberapa tahun terakhir cukup signifikan. Produksinya melonjak dari 2,3 juta ton menjadi 2,8 juta ton. Lonjakan itu dinilai sebagai pencapaian besar.

“Jadi pertumbuhan, pertumbuhan produksi gula dari tebu di kita itu sudah sangat signifikan. Jadi sangat signifikan, dari 2,3 juta (ton) sampai sekarang itu sudah 2,8 juta ton, ini peningkatannya luar biasa,” ujar Putu di sela-sela pameran industri agro yang digelar di gedung Kemenperin, Jakarta Selatan, Rabu (29/10/2025).

Pemerintah percaya target swasembada dan hilirisasi gula nasional kian mendekati kenyataan. Saat ini, Indonesia hanya membutuhkan tambahan sekitar 700.000 hektare lahan tebu untuk mencapai swasembada.

Sejumlah proyek tengah berjalan di berbagai daerah, mulai pengembangan kawasan tebu di Merauke atau Papua hingga ekspansi di Blitar, Jawa Timur. Selain itu, investasi pabrik gula juga mulai bermunculan di wilayah Tegal dan sekitarnya.

“Seperti umpamanya di Jawa Timur, Blitar, itu juga peningkatan penggunaannya sangat luas. Sekarang ada di Tegal dan sekitarnya, itu juga ada investasi untuk pabrik gula,” paparnya.

Di beberapa daerah lain seperti Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sumatera Selatan, produktivitas tebu bahkan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Di Sumba, rendemen tebu bisa mencapai 12 persen, sementara di lahan rawa Sumatera Selatan, produktivitas mencapai 100 ton per hektare.

Rendemen yang semula rendah kini meningkat menjadi 5,7 persen dan diharapkan bisa mencapai 8 persen dalam waktu dekat. Semua capaian ini menjadi sinyal kuat bahwa produksi gula nasional terus mengarah ke titik swasembada dan dilanjutkan pada proyek hilirisasi.

“Ya sehingga potensinya untuk itu sudah sangat-sangat besar,” bebernya.

Meski begitu, tantangan di lapangan belum sepenuhnya teratasi. Peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Danang Permadi, menilai produktivitas tebu nasional memang masih fluktuatif akibat perubahan iklim dan tata niaga yang belum efisien.

Danang menjelaskan tren produksi tebu pada 2025 dan 2026 masih menunjukkan arah yang optimistis. Dari data terakhir, produksi gula pada 2024 tercatat sekitar 520.000 ton dan diperkirakan meningkat 3,9-5,6 persen pada 2025-2026.

“Nah terkait trennya untuk di tahun 2025 dan 2026 ini masih optimis akan terus mengalami peningkatan dari yang sebelumnya tahun 2024 ada 520.000, di tahun 2025 dan 2026 ini terus mengalami peningkatan kurang lebih di rentang 3,9 sampai 5,6 persen,” ungkap Danang saat sesi diskusi panel outlook komoditas perkebunan di Gedung Riset Perkebunan Nusantara, Bogor, Jawa Barat, Selasa kemarin.

Menurutnya, strategi perluasan lahan tebu masih bergantung pada petani tebu rakyat karena kontribusinya terhadap total produksi nasional mencapai 61 persen. Kondisi ini membuat peran petani menjadi kunci dalam menjaga pasokan bahan baku gula nasional.

Minat petani menanam tebu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga, sistem tata niaga, peran pabrik gula, akses modal, dan dukungan dari dinas pertanian. Semua faktor tersebut memiliki korelasi positif terhadap semangat petani untuk menanam.

Namun produktivitas tebu sangat bergantung pada kondisi iklim. Dengan iklim yang cenderung basah pada 2025, produktivitas nasional diproyeksikan mencapai sekitar 72 ton per hektare.

Angka ini menunjukkan potensi kenaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, meski tetap menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menjaga stabilitas hasil di tengah perubahan iklim yang tidak menentu.

“Nah terkait produksi dan produktivitas tebu, apabila kita lihat tren produksi dan juga produktivitas tebu ini memang sangat fluktuatif begitu ya,” lanjutnya.

 

Kondisi iklim yang basah berdampak pada penurunan rendemen tebu. Selain itu, perluasan lahan di kawasan hutan, lahan tadah hujan, atau lahan marginal memang dapat menambah areal tanam, tetapi berpotensi menahan peningkatan produktivitas.

Dalam tiga tahun terakhir, produktivitas di lahan-lahan seperti itu hanya berkisar 45-50 ton per hektare karena kendala infrastruktur, terutama pada akses dan pengangkutan hasil panen. Karena itu, pengembangan di kawasan hutan perlu disertai pembangunan infrastruktur dan penerapan Good Agricultural Practices (GAP).

Menghadapi perubahan iklim seperti kemarau basah, La Nina atau El Nino, langkah mitigasi terbaik menurut Danang adalah kembali ke prinsip dasar budidaya yang baik dan benar.

“Nah ini nantinya pasti akan berdampak ke rendemen, ya nanti akan saya tampilkan juga bahwasannya rendemen dengan adanya iklim basah ini pasti akan terkoreksi begitu. Nah yang perlu kita perhatikan juga ekstensifikasi di kawasan hutan atau tada hujan atau lahan marginal ini memang akan mampu mendorong perluasan lahan tebu. Namun ini akan berdampak ke stagnasi produktivitas,” kata Danang.

Selain masalah produktivitas, Danang menyoroti tren penurunan rendemen gula yang terus terjadi sejak 2019.

Pada 2025, produktivitas tebu memang meningkat akibat iklim basah, namun rendemen gula justru turun menjadi sekitar 6 persen dari sebelumnya 7,4 persen pada 2024. Rendemen baru diperkirakan naik kembali pada 2026 ketika iklim kembali normal, meski peningkatannya tidak signifikan dan hanya mencapai sekitar 7 persen.

“Di saat tahun 2025 karena iklim cenderung basah terjadi peningkatan produktivitas tebu, kebalikannya rendemen akan terkoreksi. Nah rata-rata untuk tahun ini diproyeksikan rendemen itu akan di angka 6 turun dari tahun 2024 yang di angka 7,4 persen,” lanjutnya.

Tren penurunan rendemen ini disebabkan oleh berbagai faktor, tidak hanya di kebun tetapi juga dalam proses tebang, muat, dan angkut (TMA), serta efisiensi di pabrik gula.

Danang menduga, salah satu penyebab utamanya adalah sistem tata niaga yang masih semrawut. Petani kini lebih berorientasi pada bobot atau kuantitas tebu ketimbang kualitasnya.

“Nah diduga, indikasi saya penurunan rendemen ini itu karena orientasi atau tataniaga di industri gula ini yang masih carut marut. Nah saat ini petani tebu itu sudah tidak lagi berorientasi pada kualitas tapi lebih cenderung kepada bobot atau kuantitas.

Mereka merasa apabila tebunya sudah, bobotnya sudah tinggi berarti sudah bagus produksinya,” tuturnya.

Kondisi itu diperparah dengan masuknya gula impor rafinasi ke pasar konsumsi. Kebocoran impor membuat harga gula lokal turun dan menekan margin petani.

Harga tetes, produk sampingan dari penggilingan tebu, juga ikut anjlok dari sekitar Rp 2.500 menjadi Rp 1.000-Rp 1.500 per kilogram. Padahal tetes merupakan salah satu sumber pendapatan utama petani.

Selain itu, banyak pabrik gula masih mengalami dealing loss tinggi, rata-rata 14-20 persen, bahkan ada yang mencapai 30 persen. Hal ini disebabkan pasokan bahan baku yang terganggu akibat cuaca basah dan sulitnya transportasi dari kebun ke pabrik.

Kerugian yang dialami petani membuat mereka enggan mengikuti program bongkar ratun, padahal program tersebut penting untuk regenerasi tanaman dan peningkatan produktivitas.

“Yang itu pun juga menambah semakin tertekannya ya petani tebu untuk usaha taninya begitu. Sehingga keuntungan petani tebu di tahun 2025 ini sudah diproyeksikan mengalami penurunan dibandingkan 2024. Nah dampak mekanisme pengaruh impor ini pun juga memang akan mempengaruhi produksi gula juga,” ucap Danang.

Ia menegaskan, tantangan utama menuju swasembada gula bukan hanya pada sisi produksi, tetapi juga pada pembenahan tata niaga, perbaikan infrastruktur, dan penguatan kebijakan pemerintah agar petani kembali bergairah menanam tebu.

Tag:  #kemenperin #bantah #produksi #gula #stagnan #klaim #bisa #capai #swasembada

KOMENTAR