ESDM: Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Bukan Harga Mati untuk Transisi Energi
-
PLTN kini opsi strategis, bukan lagi pilihan terakhir energi nasional.
-
PLTN ditargetkan beroperasi pertama tahun 2032 dengan kapasitas 44 GW.
-
Tantangan PLTN adalah pendanaan besar dan mengatasi kekhawatiran masyarakat.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyebut Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bukan lagi menjadi pilihan terakhir sebagai alternatif energi baru terbarukan.
PLTN menurutnya, kini dipandang sebagai salah satu opsi strategis yang dapat berperan mendukung ketahanan energi nasional.
"PLTN sebagai salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional dalam mencapai Net Zero Emission 2060. PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional," ujar Yuliot dalam keterangan tertulis di situs resmi Kementerian ESDM, Selasa (28/10/2025).
PerbesarSebuah fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir di Jerman. [Shutterstock]Pembangkit listrik tenaga nuklir sejatinya bukan hal baru di Indonesia.
Visi untuk mengembangkannya sudah ada sejak awal 1860-an. Upaya itu dapat terlihat dari pembangunan tiga reaktor riset, yaitu Reaktor Triga di Bandung (2 MW), Reaktor Kartini di Yogyakarta (100 kW), dan Reaktor Serpong di Tangerang Selatan (30 MW).
Selain itu, pengembangan PLTN juga memiliki dasar hukum, di antaranya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran, hingga tercantumnya arah pembangunan PLTN dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.
"Dalam PP Nomor 45 Tahun 2025, PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional," kata Yuliot.
Menurutnya, seluruh dokumen itu menegaskan komitmen Indonesia untuk mengoperasikan PLTN pertama pada tahun 2032 dan mencapai kapasitas 44 GW pada tahun 2060.
"Dari total rencana 44 GW, sekitar 35 MW akan dialokasikan untuk kebutuhan listrik umum, sementara 9 GW ditujukan bagi produksi hidrogen nasional," jelasnya.
Merujuk pada PP Nomor 40 Tahun 2025, porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional diproyeksikan meningkat menjadi 5% pada tahun 2030, dan mencapai 11% pada tahun 2060.
Namun demikian, Yuliot mengakui bahwa pengembangan PLTN bukan tanpa tantangan, khususnya dari sisi pendanaan dan waktu pembangunan. Untuk satu unit PLTN membutuhkan dana mencapai USD3,8 miliar, dengan waktu konstruksi sekitar 4-5 tahun.
Tak hanya itu, soal kekhawatiran masyarakat juga menjadi pertimbangan pemerintah dalam pengembangan PLTN.
"Pemerintah akan memperhatikan penuh mitigasi dan pengawasan yang ketat, serta kerja sama internasional untuk memastikan operasional melalui BAPETEN," pungkas Yuliot.
Tag: #esdm #pembangkit #listrik #tenaga #nuklir #bukan #harga #mati #untuk #transisi #energi