Bubble Pasar Saham (Bagian I)
Ilustrasi saham. Membangun kekayaan dari pasar saham bukan soal keberuntungan. Investor sukses memiliki tujuh kebiasaan yang mereka lakukan secara konsisten dan terbukti menghasilkan dalam jangka panjang.(PIXABAY/SERGEI TOKMAKOV)
07:28
27 Oktober 2025

Bubble Pasar Saham (Bagian I)

USAI merilis laporan keuangan Q3 2025, saham perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, Intel, langsung melejit hingga 8 persen selama jam pasca-penutupan (after-hours) perdagangan bursa Wall Street pada 23 September lalu.

Hanya dalam beberapa jam, kapitalisasi pasar Intel naik 3 miliar dolar AS setelah mencetak kinerja keuangan yang melampaui ekspektasi pasar.

Lonjakan ini menjadi yang paling baru dalam tren kenaikan (uptrend) harga saham Intel yang telah berlangsung sejak September lalu, setelah mengumumkan kerja sama dengan raksasa kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), Nvidia.

Saham Intel bukan satu-satunya di Wall Street yang belakangan ini terus menanjak di tengah booming teknologi AI. Tren serupa juga terjadi pada banyak saham perusahaan AS yang berkecimpung membangun infrastruktur ekosistem AI.

Kini, banyak perusahaan di AS berlomba-lomba memasukkan nama AI dalam bisnisnya. Meskipun tidak semuanya jelas menggunakan teknologi AI untuk apa, efek yang dihasilkan setidaknya lebih pasti: harga saham perusahaan langsung melejit begitu investor mendengar ada nama AI.

Contohnya Nvidia. Sejak awal tahun, harga sahamnya sudah naik hingga 30 persen. Padahal, kapitalisasi pasarnya sudah menjadi yang terbesar di AS, mencapai 4 triliun dolar AS.

Setidaknya 900 miliar dolar AS dari modal investor telah mengalir lagi ke Nvidia sepanjang tahun ini.

Di perusahaan yang kapitalisasinya lebih kecil, kenaikan harga sahamnya bisa lebih tinggi. Harga saham perusahaan media penyimpanan digital seperti Western Digital dan Seagate, misalnya, sudah naik hampir 200 persen sejak awal tahun.

Kapitalisasi pasarnya kini hampir 50 miliar dolar AS dari semula hanya belasan miliar AS saja.

Euforia AI kini tengah melanda Wall Street. Indeks Nasdaq yang sarat akan saham-saham perusahaan teknologi, tercatat sudah naik hampir 50 persen hanya dalam setengah tahun terakhir.

Tidak hanya Nasdaq, indeks komposit Dow Jones dan S&P 500 di bursa saham AS saat ini juga terus mencetak rekor baru.

Bursa saham AS kini berada pada titik tertingginya sepanjang masa (all-time high). Memperoleh untung dari berinvestasi saham seakan terasa kian mudah karena tren kenaikan pasar tampaknya juga belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Investor ritel pun mulai berbondong-bondong membeli saham perusahaan AS. Hasilnya, volume pembelian saham perusahaan AS oleh investor ritel kini mencapai angka tertinggi selama satu dekade terakhir.

Namun, situasi ini justru membuat banyak ekonom khawatir. Reli harga saham-saham yang dipicu booming AI ini dikhawatirkan justru membentuk gelembung (bubble) ekonomi pada pasar saham AS. Pasalnya, kenaikannya berlangsung sangat cepat.

Secara teori, gelembung ekonomi akan terbentuk ketika harga aset seperti saham jauh melebihi nilai intrinsiknya yang wajar.

Pemicunya biasanya karena hype dan optimisme berlebihan yang membuat pembeli berani membayar aset dengan harga yang mahal.

Contoh bubble paling konkret dan awam di masyarakat adalah tren batu akik pada 2015 silam. Saat tengah naik daun di masyarakat, harga batu akik bisa melonjak hingga belasan kali lipat (Kompas.com, 18/4/2015). Beberapa bahkan ada yang dihargai puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.

Padahal, batu akik sebenarnya tidak memiliki nilai intrinsik dan kegunaan (use case) sama sekali, kecuali bagi kalangan masyarakat yang memang hobi mengoleksi batu mulia tersebut.

Akibatnya, ketika popularitasnya mulai memudar, bubble yang telah terbentuk pun pecah. Harga batu akik lalu terjun bebas dari yang sebelumnya dibeli dengan harga puluhan juta rupiah akhirnya hanya laku terjual ratusan ribu rupiah saja beberapa bulan setelahnya (Kompas.com, 10/9/2015).

Contoh bubble lainnya adalah tren aset kripto pada saat pandemi Covid-19. Sepanjang 2020-2022, banyak aset kripto mengalami lonjakan harga yang fantastis di saat suku bunga acuan sedang sangat rendah dan nama kripto mulai dikenal oleh masyarakat luas.

Harga koin meme (memecoin) kripto seperti Dogecoin bahkan naik hingga ratusan kali lipat hanya dalam waktu beberapa bulan. Kemudian, ada juga tren non-fungible token (NFT) yang beberapa laku terjual mencapai ratusan miliar rupiah.

Banyak dari aset kripto tersebut sebenarnya tidak memiliki tujuan yang jelas. Alih-alih didasari nilai intrinsik dan faktor fundamental yang pasti, kenaikan harganya justru lebih banyak dipicu oleh hype pada investasi kripto saat itu.

Ketika tren tersebut mulai memudar pada 2022, kapitalisasi pasar kripto pun kolaps. Banyak dari koin meme dan NFT yang dulunya bernilai tinggi kini menjadi tidak bernilai sama sekali.

Kolapsnya harga tersebut bisa terjadi karena pada dasarnya, pecahnya bubble ekonomi akan mengembalikan harga aset ke nilainya yang seharusnya. Semua kenaikan harga yang didasari oleh euforia akan terkoreksi ketika gelembungnya pecah.

Pada saham, konsepnya tidak jauh berbeda. Harga saham sebenarnya terbentuk bukan hanya berdasarkan kinerja perusahaan di masa lalu saja, tapi juga seberapa optimistis investor terhadap kinerja perusahaan di masa yang akan datang.

Harga saham saat ini biasanya telah memperhitungkan (priced in) potensi keuntungan perusahaan di masa depan, meskipun keuntungan tersebut belum tentu benar-benar akan terwujud nantinya.

Ketika investor sangat optimistis dengan masa depan perusahaan, maka sahamnya akan mulai diburu dan harganya mengalami kenaikan.

Saham produsen cip komputer seperti Nvidia dan AMD, misalnya, bisa naik drastis dalam beberapa bulan terakhir, karena pasar menaruh harapan besar pada masa depan kedua perusahaan tersebut.

Pasar meyakini keduanya akan sangat diuntungkan dari meningkatnya permintaan prosesor untuk teknologi AI di masa depan.

Inilah alasan mengapa total nilai saham perusahaan bisa jauh melebihi keuntungan yang sebenarnya dimiliki perusahaan.

Contohnya, kapitalisasi pasar saham Nvidia pada akhir 2024. mencapai lebih dari 3 triliun dolar AS meskipun labanya dalam setahun hanya senilai 32 miliar dolar AS.

Oleh karena itu, rasio kapitalisasi pasar terhadap keuntungan (price-to-earnings) sering kali menjadi patokan (benchmark) dalam menilai kewajaran valuasi perusahaan.

Misalnya, jika kapitalisasi pasar perusahaan sebesar 30 miliar dan keuntungannya 3 miliar, maka rasionya bernilai 10.

Ketika rasio tersebut terlalu tinggi, artinya ekspektasi investor pada perusahaan sangat optimistis. Sedikit saja perusahaan tidak memenuhi target atau harapan investor, harga sahamnya rawan mengalami koreksi.

Secara historis, rata-rata rasio tersebut di pasar saham AS biasanya berkisar di bawah angka 30. Artinya, mayoritas saham di bursa diperdagangkan dengan total kapitalisasi sebesar 30 kali lipat dari keuntungan perusahaannya.

Namun, angka rata-ratanya kini sudah berada di atas benchmark tersebut. Pada Nasdaq 100 yang banyak berisi saham teknologi, rata-rata rasionya sudah setinggi masa dot-com bubble pada akhir tahun 1990-an dan bubble saat pandemi Covid-19 lalu.

Hal serupa juga terjadi pada S&P 500 yang mencakup lebih banyak perusahaan.

Saham AMD, misalnya, kini diperdagangkan dengan rasio kapitalisasi mencapai 100 kali lebih besar daripada keuntungan perusahaan.

Dengan kapitalisasi pasar mencapai 275 miliar dolar AS, AMD tahun ini harus bisa mencetak laba setidaknya 9,2 miliar dolar AS agar rasionya kembali ke bawah angka 30.

Artinya, AMD harus bisa menaikkan laba bersih hingga 5 kali lipat dari laba tahun 2024 yang hanya sebesar 1,64 miliar dolar AS.

Valuasi berlebihan tersebut jelas tidak masuk akal; dan ini terjadi bukan hanya pada AMD, tetapi juga pada saham perusahaan AI lainnya.

Meski demikian, rasio kapitalisasi-keuntungan yang tinggi sebenarnya tidak selalu berarti buruk.

 

Selama perusahaan benar-benar bisa mencetak kinerja keuangan yang positif di masa mendatang, rasionya dapat berangsur turun dan kenaikan harga sahamnya dapat dijustifikasi.

Rasio Nvidia, misalnya, pernah hampir menyentuh angka 150 pada triwulan pertama 2023. Namun, karena Nvidia benar-benar berhasil menaikkan labanya dengan sangat besar pada periode-periode setelahnya, rasio tersebut akhirnya terus turun hingga kini berada di kisaran angka 50-an. Sejak saat itu, harga sahamnya juga tetap terus tumbuh hingga 600 persen.

Saat ini, saya menilai pasar saham AS sebenarnya belum benar-benar membentuk bubble yang besar, tapi jelas sedang berada di tahap awal mengarah ke sana.

Rata-rata rasio kapitalisasi-keuntungan di pasar masih berpotensi turun ke depan seiring meningkatnya keuntungan perusahaan-perusahaan, terutama yang berkecimpung pada teknologi pendukung ekosistem AI.

Selain itu, rata-rata rasio saat ini juga masih belum setinggi puncak bubble dot-com. Saat bubble dot-com, banyak saham diperdagangkan hingga kapitalisasinya melebihi 100 kali lipat dari keuntungan perusahaan.

Beberapa perusahaan bahkan tidak bisa dihitung rasionya karena kapitalisasi sahamnya mencapai miliaran dolar AS, padahal keuangan perusahaan justru merugi.

Jika membandingkan berdasarkan rasio tersebut, situasi pasar saham AS saat ini belum menyamai puncak bubble tiga dekade lalu tersebut. Namun, arahnya ke depan tampaknya berpotensi berakhir serupa.

Pada dasarnya, resep bubble pasar saham setidaknya perlu tiga hal: narasi, valuasi perusahaan yang berlebihan (overvaluation), dan rezim suku bunga acuan rendah.

Kita sudah punya dua bahan yang pertama. Narasi bahwa AI akan menjadi teknologi besar selanjutnya (the next big thing) telah mendorong valuasi perusahaan-perusahaan teknologi di AS melonjak drastis. Yang kurang saat ini tinggal kelonggaran moneter dari bank sentral.

Suku bunga acuan yang rendah diperlukan untuk mendorong investor mulai mengambil lebih banyak risiko dengan berinvestasi menggunakan dana pinjaman dari bank (margin trading).

Aksi spekulatif ini juga terjadi pada setiap bubble pasar saham AS sebelumnya, mulai dari bubble tahun 1920-an, bubble dot-com, hingga bubble saat pandemi Covid-19.

Biaya pinjaman yang murah akan mendorong investor yang berani meminjam dana dari perbankan untuk menambah modal investasi agar keuntungannya semakin maksimal.

Dalam situasi bubble, keberanian mengambil risiko tersebut sering kali juga didorong optimisme berlebihan bahwa pasar akan terus mengalami kenaikan.

Misalnya, jika saya memiliki modal awal 50.000 dolar AS, saya bisa meminjam 150.000 dolar AS lagi dari bank jika saya yakin keuntungan pasar akan terus naik lebih tinggi dibanding biaya bunga pinjaman yang sedang rendah.

Dengan demikian, modal investasi saya menjadi empat kali lipat dari semula. Keuntungan yang akan saya dapat dari berinvestasi 200.000 dolar AS juga akan empat kali lebih besar dibanding jika saya hanya berinvestasi sebesar modal awal 50.000 dolar AS saja.

Perpaduan risiko dan optimisme inilah yang sering membuat bubble semakin cepat membesar ketika suku bunga acuan diturunkan.

Karena pasar mulai dibanjiri dana dari pinjaman dan bukan harta yang benar-benar riil dimiliki masyarakat, kenaikan harga saham-saham menjadi semakin cepat hingga bisa jauh melampaui pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya.

Ini yang nanti akan segera terjadi ketika bank sentral AS, The Fed, pada akhir Oktober ini mulai menghentikan pengetatan moneter (quantitative tightening/QT) dan melanjutkan pemangkasan suku bunga acuan.

Jumlah uang beredar di ekonomi AS akan kembali bertambah setelah sempat terhenti sejak 2022 lalu.

Sebagian dari triliunan dolar AS baru yang dicetak bank sentral dan masuk ke perekonomian nantinya akan mengalir ke pasar saham dan membuat harga-harga saham naik semakin tinggi.

Saat itu terjadi, pertanyaan yang tepat bukan lagi apakah pasar saham AS benar memasuki bubble atau tidak; tapi sampai kapan bubble kali ini bisa bertahan sebelum akhirnya pecah.

Di bagian selanjutnya, saya akan mengulas apa yang berpotensi memecahkan bubble tersebut dan bagaimana konsekuensinya termasuk bagi pasar saham di Bursa Efek Indonesia.

Tag:  #bubble #pasar #saham #bagian

KOMENTAR