Perceraian dan Luka Sosial yang Tak Selesai
Ilustrasi cerai, perceraian.(Freepik)
14:05
27 Oktober 2025

Perceraian dan Luka Sosial yang Tak Selesai

BERITA perceraian selebritas belakangan ini menguasai ruang publik. Setelah kabar perpisahan Tasya Farasya, disusul Raisa Andriana, media sosial mendadak penuh dengan analisis, simpati, hingga sindiran. Warganet menilai, membandingkan, dan membentuk narasi mereka sendiri tentang cinta dan kegagalan rumah tangga.

Di era digital, perceraian bukan lagi peristiwa privat, tetapi tontonan massal yang memengaruhi cara masyarakat memaknai hubungan, keluarga, dan perempuan. Fenomena perceraian artis bukan hal baru, namun intensitas sorotan publik kini jauh lebih besar. Platform media sosial mempercepat penyebaran emosi kolektif: rasa penasaran bercampur empati, tetapi juga sensasi dan moralitas semu.

Di balik hingar-bingar itu, kita lupa bahwa perceraian—baik yang dialami publik figur maupun masyarakat biasa—menyisakan luka sosial yang tidak kecil.

Fenomena Publik, Luka Privat

Kasus perceraian figur publik menunjukkan paradoks sosial kita. Di satu sisi, banyak yang memandang keberanian perempuan seperti Raisa dan Tasya Farasya untuk berpisah sebagai simbol kemandirian dan self-empowerment. Mereka dianggap mewakili generasi perempuan yang tidak lagi takut mengakhiri relasi yang tidak sehat.

Namun di sisi lain, ketika perceraian menjadi bahan perbincangan tanpa empati, wacana publik justru menjauhkan kita dari refleksi yang lebih dalam: mengapa begitu banyak keluarga retak, bahkan di tengah kemapanan?

Bagi sebagian perempuan yang tengah bermasalah dalam rumah tangga, kabar perceraian artis bisa menjadi sumber kekuatan. Mereka belajar bahwa bercerai tidak selalu berarti gagal, melainkan keputusan sadar untuk melindungi diri dan anak. Namun bagi yang lain, berita semacam itu dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan: jika rumah tangga para figur sukses saja tak bertahan, bagaimana dengan mereka yang hidup dalam tekanan ekonomi?

Efek psikologis dan sosial dari narasi media ini nyata. Perceraian selebritas dapat menggeser batas moral dan sosial masyarakat—dari yang dulu tabu, kini menjadi normalized conversation. Jika tidak disertai pendidikan sosial yang sehat, masyarakat bisa memaknai perceraian semata sebagai “tren” ketimbang refleksi atas kegagalan sistem sosial dan dukungan keluarga.

Luka Sosial di Balik Statistik

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2024 tercatat lebih dari 390 ribu perceraian dan sebagian besar gugatan diajukan oleh perempuan. Selain itu, data BPS juga menunjukkan mayoritas rumah tangga—dengan jumlah anggota 1 orang atau 2 sampai dengan 3 orang—kini dikepalai oleh perempuan. Angka-angka ini mengisyaratkan bahwa perceraian bukan semata peristiwa personal, melainkan gejala sosial yang memengaruhi kesejahteraan anak, stabilitas ekonomi rumah tangga, hingga ketahanan sosial komunitas.

Banyak perempuan pasca-cerai harus memikul beban ganda—mengasuh anak sambil mencari nafkah—tanpa sistem perlindungan sosial yang kuat. Stigma sosial pun masih menjerat. Perempuan yang memilih berpisah sering kali dinilai gagal, keras kepala, atau “tidak patuh”. Padahal, bagi sebagian dari mereka, perceraian adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kekerasan atau ketidakadilan relasi.

Perspektif Kesejahteraan Sosial

Dalam teori sistem sosial, keluarga merupakan unit dasar kesejahteraan masyarakat. Ketika unit ini retak, dampaknya menjalar ke struktur sosial yang lebih luas. Tingginya angka perceraian menunjukkan adanya kerentanan struktural—baik dari sisi ekonomi, psikologis, maupun kebijakan. Banyak pasangan muda memasuki pernikahan tanpa kesiapan emosional, literasi keuangan, dan keterampilan komunikasi yang memadai.

Negara, sementara itu, lebih fokus pada legalitas perkawinan ketimbang ketahanan keluarga setelahnya. Dari sudut teori ekologi sosial Bronfenbrenner, perceraian lahir dari interaksi kompleks antara faktor pribadi, sosial, dan struktural.

Tekanan ekonomi, budaya konsumtif, dan lemahnya layanan sosial keluarga menjadi faktor pemicu yang kerap diabaikan. Karena itu, solusi tidak cukup dengan nasihat moral, melainkan melalui intervensi kesejahteraan sosial yang sistemik. Pendekatan ini menuntut hadirnya pendamping sosial, konselor keluarga, dan dukungan pemberdayaan ekonomi pasca-cerai.

Keluarga yang berpisah bukan harus dihakimi, melainkan didampingi agar tetap berfungsi sosial dan mampu mempertahankan martabat hidupnya.

Menata Ulang Dukungan Sosial

Sayangnya, kebijakan kita masih parsial. Bimbingan pra-nikah sering hanya menjadi formalitas administratif. Layanan pasca-cerai pun minim, terbatas pada aspek hukum dan nafkah anak. Padahal, dampak perceraian menyentuh dimensi psikologis, sosial, dan ekonomi secara bersamaan.

Sudah saatnya pemerintah mengembangkan Layanan Kesejahteraan Keluarga (Family Welfare Service) yang menyatukan fungsi konseling, pelatihan kerja, dan dukungan sosial bagi keluarga pasca-cerai. Kolaborasi lintas kementerian—antara Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta lembaga keagamaan dan masyarakat sipil—dapat menjadi fondasi untuk membangun sistem perlindungan keluarga yang berkelanjutan.

Mengakhiri dengan Empati

Kesejahteraan sosial bukan hanya tentang bantuan ekonomi, tetapi tentang pemulihan martabat manusia. Setiap perceraian adalah kisah kehilangan, namun juga tentang ketahanan. Baik di kalangan selebritas maupun masyarakat biasa, perceraian membuka ruang untuk menilai kembali sejauh mana sistem sosial kita mampu menopang mereka yang rapuh.

Masyarakat perlu belajar bahwa membicarakan perceraian bukan untuk menghakimi, melainkan memahami. Sebab pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan simpati musiman di linimasa media sosial, melainkan ekosistem sosial yang memberi kesempatan bagi setiap orang untuk pulih dan bertumbuh kembali. Karena perceraian, sesungguhnya, bukan akhir dari cinta, melainkan ujian bagi rasa kemanusiaan kita bersama.

Tag:  #perceraian #luka #sosial #yang #selesai

KOMENTAR