PDB China Turun ke 4,8 Persen, Krisis Properti dan Perang Dagang Jadi Beban Berat
Ilustrasi bendera China, China, ekonomi China. (FREEPIK/WWW.SLON.PICS)
11:56
20 Oktober 2025

PDB China Turun ke 4,8 Persen, Krisis Properti dan Perang Dagang Jadi Beban Berat

Pertumbuhan ekonomi China merosot ke titik terendah dalam setahun pada kuartal ketiga 2025.

Krisis properti yang berlarut dan tensi dagang dengan Amerika Serikat (AS) menekan permintaan domestik.

Pemerintah berupaya menggeser arah ekonomi agar lebih ditopang konsumsi rumah tangga.

Data resmi Senin (20/10/2025) menunjukkan produk domestik bruto (PDB) China tumbuh 4,8 persen pada Juli–September.

Angka itu turun dari 5,2 persen pada kuartal sebelumnya dan sejalan dengan proyeksi analis Reuters. Target pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 tetap di sekitar 5 persen.

“Pasar memperkirakan China tak akan mencapai target apa pun kebijakan yang diambil. Bahkan dengan stimulus tambahan, pertumbuhannya tetap di bawah 5 persen,” kata Dan Wang, Direktur China di Eurasia Group.

Ia menilai ekonomi China masih menunjukkan ketahanan meski tekanan dari AS semakin kuat.

“China mampu menahan tekanan, meski menghadapi tarif dan pembatasan ekspor besar-besaran. Beijing ingin menunjukkan komitmen kuat terhadap kebijakan pembangunan,” ujarnya.

Secara kuartalan, ekonomi tumbuh 1,1 persen, melampaui perkiraan 0,8 persen.

Krisis Properti dan Perdagangan Jadi Beban Ganda

Ketegangan dengan Washington kembali menyoroti ketidakseimbangan ekonomi China yang masih bergantung pada ekspor dan manufaktur.

Pemerintah didesak memperkuat konsumsi domestik agar pertumbuhan lebih tahan terhadap guncangan eksternal.

Ekspor memang tumbuh pada September, namun tanda-tanda pelemahan ekonomi tetap terlihat. Tekanan deflasi masih tinggi akibat kelebihan kapasitas dan perang harga di dalam negeri.

Banyak eksportir terpukul tarif tinggi dari AS. Mereka mulai mencari pasar baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Presiden AS Donald Trump bahkan mengancam menaikkan tarif hingga 100 persen untuk produk asal China mulai 1 November. Meski begitu, pejabat dari kedua negara memberi sinyal ruang negosiasi masih terbuka.

Beijing Bahas Arah Ekonomi Baru

Mulai Senin, para pemimpin China menggelar pertemuan tertutup selama empat hari untuk menyusun rencana pembangunan lima tahun ke-15.

Fokus utamanya pada industri berteknologi tinggi seperti semikonduktor dan kecerdasan buatan, sektor yang menjadi arena persaingan utama dengan AS.

Investor menunggu hasil rapat Politbiro dan Konferensi Kerja Ekonomi Pusat yang digelar Desember mendatang. Hasil kedua forum itu akan menjadi petunjuk arah kebijakan ekonomi 2026.

“Kuartal keempat akan memiliki struktur berbeda, dengan investasi publik meningkat sementara konsumsi tetap lemah,” kata Tianchen Xu, ekonom senior di Economist Intelligence Unit.

“Langkah-langkah dukungan sejak September, seperti penerbitan obligasi pemerintah dan pembiayaan proyek publik, diarahkan untuk mendorong investasi,” sambungnya.

 

Produksi Naik, Konsumsi Lesu

Produksi industri tumbuh 6,5 persen secara tahunan pada September, tertinggi dalam tiga bulan terakhir dan di atas perkiraan 5 persen.

Namun, penjualan ritel turun menjadi 3 persen, terendah dalam 10 bulan terakhir.

Investasi aset tetap juga melemah 0,5 persen sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini, berbalik arah dari kenaikan 0,5 persen pada Januari–Agustus.

Sektor properti masih menjadi penghambat utama. Investasi di sektor ini anjlok 13,9 persen secara tahunan hingga kuartal ketiga, lebih dalam dari penurunan 12,9 persen sebelumnya.

Penurunan tajam tersebut menekan pertumbuhan ekonomi dan mengikis kepercayaan konsumen.

Kombinasi krisis properti dan perang dagang membuat Beijing berada dalam posisi sulit.

Pemerintah harus memilih antara memperbesar stimulus demi menjaga pertumbuhan, atau menata ulang struktur ekonomi agar lebih seimbang dan tahan guncangan.

Tag:  #china #turun #persen #krisis #properti #perang #dagang #jadi #beban #berat

KOMENTAR