



Utang KCIC: Mencari Jalan Keluar Tanpa Menjual Masa Depan
KERETA Cepat Jakarta - Bandung (KCJB) atau Whoosh adalah simbol keberanian Indonesia memasuki era transportasi berkecepatan tinggi.
Namun, laporan keuangan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menunjukkan realitas yang jauh dari gemilang.
Pendapatan operasional dari tiket hanya Rp 1,5 triliun tentu saja belum mampu menutup biaya bunga pinjaman sebesar Rp 2 triliun per tahun, menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana masa depan proyek ini tanpa membebani APBN?
Masalah KCIC bukan hanya soal defisit keuangan, tetapi juga soal model bisnis yang belum matang.
Ketika proyek dibiayai utang besar - dari China Development Bank (CDB) - tanpa sumber pendapatan non-operasional yang kuat, jebakan fiskal menjadi ancaman nyata.
Di luar soal kelayakan proyek yang selalu menjadi perdebatan, faktanya harus disadari bahwa pendapatan dari tiket penumpang (farebox revenue) di industri transportasi publik kereta cepat hampir tak pernah cukup menutupi biaya operasional, apalagi bunga utang.
Di Jepang, operator kereta cepat Shinkansen mencapai titik impas setelah puluhan tahun, itupun dengan dukungan ekosistem bisnis besar di sekitar jalur dan stasiun.
Dalam kasus KCIC, harga tiket harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat. Namun, biaya operasional tinggi—listrik, perawatan, dan beban bunga—membuat ruang laba menjadi sempit.
Dengan okupansi sekitar 50–60 persen, Whoosh beroperasi di bawah ambang keberlanjutan. Setiap kilometer laju Whoosh hari ini, justru makin menambah kilometer beban keuangan.
Pinjaman KCIC kepada CDB bernilai sekitar 7,2 miliar dollar AS, dengan tenor panjang, tapi bunga tetap tinggi. Meski masih dalam masa grace period pembayaran pokok, bunga berjalan per tahun Rp 2 T dan terus menumpuk.
Jika arus kas tidak membaik, pemerintah akan dihadapkan pada tiga pilihan sulit: menambah modal negara, memberi subsidi operasional, atau menjamin utang melalui instrumen fiskal.
Ketiganya berisiko menciptakan moral hazard, di mana proyek korporasi berubah menjadi beban fiskal permanen.
Dalam konteks geopolitik, posisi negosiasi Indonesia terhadap CDB pun terbatas, karena proyek ini telah menjadi simbol kerja sama bilateral.
Menghindari jebakan: Membangun sumber pendapatan kedua
Agar tidak terjebak dalam lingkaran utang, KCIC perlu melompat ke model bisnis baru: mengoptimalkan non-fare revenue dan aset strategis.
Dunia telah memberi contoh: MTR Hong Kong meraih laba besar dari pengembangan kawasan di sekitar stasiun (model Rail + Property).
JR East Jepang memperoleh 70 persen laba dari periklanan, ritel, dan pengelolaan properti, bukan tiket.
TGV Perancis mendorong pertumbuhan kawasan industri di sekitar stasiun.
Intinya, kereta cepat hanya akan berkelanjutan jika diikuti oleh pertumbuhan ekonomi di sekitarnya. Whoosh tak akan hidup dari tiket, tapi dari ekosistem bisnis yang ia gerakkan.
Setidaknya ada tiga skenario rasional yang bisa dijalankan.
Pertama, optimalisasi aset dan TOD (Transit Oriented Development). KCIC menguasai lahan di Halim, Padalarang, dan Tegalluar—lokasi emas yang bisa dikembangkan menjadi pusat bisnis, residensial, dan logistik.
Kerja sama dengan BUMN properti (seperti PTPP, Wika Realty, atau Perumnas) dapat membuka arus pendapatan baru tanpa bergantung pada APBN.
Kedua, diversifikasi bisnis dan layanan. Layanan logistik cepat, wisata kereta, dan pemanfaatan teknologi digital (misalnya advertising platform di stasiun dan kereta) bisa menambah 15–20 persen pendapatan tahunan jika dikembangkan serius.
Ketiga, restrukturisasi utang CDB secara kolektif. Pemerintah perlu memimpin negosiasi ulang untuk memperpanjang tenor, menurunkan bunga, dan memungkinkan asset-backed refinancing.
Skema semacam ini bisa mengurangi tekanan likuiditas tanpa menambah beban fiskal baru.
Masalah KCIC bukan hanya finansial, tapi juga tata kelola. Empat BUMN pemegang saham (KAI, Wijaya Karya, PTPN VIII, dan KAI Investment Management) perlu duduk bersama untuk membangun shared governance yang profesional.
Pendekatan politik perlu digantikan dengan pendekatan korporasi: transparency, accountability, dan clear return expectations.
Selain itu, pengawasan publik harus diperkuat agar proyek yang dibangun dengan semangat kebangsaan ini tidak kehilangan legitimasi sosial akibat kerahasiaan dan ketertutupan data.
KCIC adalah proyek berani, bahkan cenderung nekat, kurang perhitungan sekaligus monumental.
Namun, keberanian yang tidak diikuti oleh rasionalitas bisnis berisiko menjadikannya beban jangka panjang.
Pemerintah dan manajemen KCIC perlu menahan godaan solusi instan seperti penambahan utang atau subsidi. Yang dibutuhkan bukan uang baru, melainkan cara baru melihat aset lama.
Mengubah Whoosh dari proyek transportasi menjadi ekosistem ekonomi adalah kunci agar ia tidak menjual masa depan hanya demi menutup masa kini.
Infrastruktur tidak seharusnya menjadi beban, tetapi lokomotif pertumbuhan. Jalan keluar dari jebakan utang KCIC bukan dengan memperlambat laju, tetapi dengan mengubah arah menuju model bisnis yang berkelanjutan dan rasional.
Tag: #utang #kcic #mencari #jalan #keluar #tanpa #menjual #masa #depan