



1 Tahun Prabowo-Gibran, Catatan Ombudsman terkait MBG
- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dinilai sebagai keputusan politik besar yang sarat makna.
Saat ini Indonesia sedang menulis sejarah baru dalam pelayanan publik. Apakah MBG akan dikenang sebagai keberhasilan besar pemerintah dalam melayani rakyatnya atau justru hanya tercatat sebagai kegagalan karena tata kelola yang lemah?
Bahkan, pemerintah berani mengalokasikan anggaran jumbo senilai Rp 71 triliun di tahun ini untuk MBG. Targetnya visioner, menjangkau 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir tahun, mencakup anak-anak, ibu hamil, dan kelompok rentan lainnya.
MBG juga bersinggungan langsung dengan sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial. Ia menopang kesehatan masyarakat melalui gizi seimbang, memperkuat pendidikan karena distribusi dilakukan di sekolah dan pesantren, serta berfungsi sebagai jaring pengaman sosial agar anak dari keluarga miskin tak tertinggal mengakses makanan bergizi.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan MBG adalah keputusan politik besar sekaligus ikhtiar bangsa yang membawa harapan dan tantangan.
“MBG adalah keputusan politik dan ikhtiar besar bangsa. Ia membawa harapan sekaligus tantangan. Ada celah maladministrasi yang harus ditutupi, tetapi ada pula capaian positif yang dapat diapresiasi,” ujar Yeka saat ditemui di gedung Ombudsman RI, Selasa (30/9/2025).
Namun, di balik cita-cita mulia itu, Ombudsman RI mencatat ada delapan masalah serius dan empat potensi maladministrasi yang bisa mencederai semangat pelayanan publik jika tak segera dibenahi.
8 Masalah
Dari hasil kajian Ombudsman, terdapat delapan masalah utama dalam penyelenggaraan MBG. Pertama, kesenjangan yang lebar antara target dan realisasi capaian. Kedua, maraknya kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah. Ketiga, permasalahan dalam penetapan mitra yayasan dan SPPG yang belum transparan dan rawan konflik kepentingan.
Keempat, keterbatasan dan penataan sumber daya manusia termasuk keterlambatan honorarium serta beban kerja guru dan relawan. Kelima, ketidaksesuaian mutu bahan baku akibat belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas. Keenam, penerapan standar penggalan makanan yang belum konsisten.
Ketujuh, distribusi makanan yang belum tertib dan masih membebani guru di sekolah. Dan kedelapan, sistem pengawasan yang belum terintegrasi, masih bersifat reaktif, dan belum sepenuhnya berbasiskan data.
Yeka memandang, kedelapan permasalahan bisa menimbulkan risiko turunnya kepercayaan publik, bahkan memicu kekecewaan serta kemarahan masyarakat. Karena itu, ia menilai diperlukan langkah perbaikan yang cepat, terukur, dan transparan agar tujuan utama MBG sebagai wujud kehadiran negara dalam melindungi dan mensejahterakan rakyat tetap terjaga.
“Ombudsman sangat tidak mengharapkan program MBG ini jadikan kanal yang membangkitkan kemarahan masyarakat yang berpotensi ditumpangi oleh kepentingan politik tertentu dan ini yang harus diwaspadai di kemudian hari,” paparnya.
Pelajar SD Negeri Cangkringrembang, Kabupaten Demak menikmati makan bergizi gratis usai dibagikan pada Senin (24/2/2025).
4 Potensi Maladministrasi
Merujuk pada delapan permasalahan dalam pelaksanaan program MBG, Ombudsman RI menemukan setidaknya empat potensi maladministrasi utama dalam penyelenggaraan program.
Pertama, adanya penundaan berlarut. Kedua, adanya diskriminasi. Ketiga, ketidakmampuan atau lemahnya kompetensi dalam penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP). Keempat, penyimpangan prosedur.
Keempat bentuk maladministrasi bukan hanya menggambarkan kelemahan tata kelola, tapi sekaligus menjadi pengingat penting bahwa prinsip pelayanan publik, yaitu kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, harus ditegakkan secara konsisten.
Dalam kaitan itu, Yeka menilai perlu disadari bahwa faktor eksternal, khususnya potensi intervensi politik, juga tidak dapat diabaikan dalam melihat dinamika penyelenggaraan program MBG.
Keterkaitan sejumlah yayasan dengan jejaring kekuasaan berpotensi menggeser orientasi program dari fokus utama pada perbaikan gizi menuju kepentingan yang lebih sempit. Jika tidak diantisipasi sejak dini melalui regulasi yang jelas, mekanisme seleksi yang transparan, serta pengawasan yang independen, maka dapat melahirkan bentuk maladministrasi struktural yang menghambat efektivitas program.
“Oleh karena itu, penguatan tata kelola menjadi langkah yang krusial agar MBG tetap berada pada jalur sebagai instrumen peningkatan kualitas gizi dan pembangunan sumber daya manusia Indonesia,” bebernya.
Lebih jauh, Yeka memandang sistem yang baik akan melahirkan keadilan yang berkelanjutan. Dalam konteks inilah Ombudsman RI menekankan perlunya pembinaan dan pengawasan keberlanjutan terhadap MBG. Pengawasan tidak boleh hanya bersifat reaktif, tetapi harus konsisten, berbasis data, dan menggunakan instrumen yang jelas.
Ombudsman RI mengungkap delapan masalah besar dalam penyelenggaraan program MBG
Rekomendasi
Terkait pencegahan empat potensi maladministrasi, Ombudsman merumuskan tiga saran utama untuk memperkuat tata kelola program MBG.
Pertama, saran untuk aspek penetapan penerima bantuan, termasuk yayasan dan SPPG. Kedua, saran pada aspek penyelenggaraan SPPG. Ketiga, saran pada aspek pengawasan MBG.
Pada aspek penetapan penerima bantuan, Ombudsman menyarankan agar Badan Gizi Nasional (BGN) segera menyempurnakan regulasi atau petunjuk teknis (juknis) MBG, terutama terkait tiga hal: memperkuat verifikasi dan penetapan penerima bantuan yang harus jelas dengan kepastian waktu, adil, terbuka, dan akuntabel.
Lalu, pemenuhan syarat calon penerima manfaat seperti sekolah perlu didasarkan pada kriteria objektif seperti jarak, infrastruktur, dan kesiapan SPPG dengan dukungan data dari pemerintah daerah; serta proses kerja sama (MOU) antara SPPG dan sekolah harus memiliki panduan yang tegas, melarang pungutan tidak resmi, dan menyediakan mekanisme pelaporan bila ada penyimpangan.
Selain itu, BGN perlu menambah sejumlah personel dengan kompetensi yang sesuai sekaligus meningkatkan kapasitas manajemen kelembagaan. Dengan begitu, proses verifikasi yang seringkali dikeluhkan calon pengelola dapur, serta administrasi dan pengelolaan anggaran, dapat berjalan lebih efektif, transparan, dan akuntabel.
Untuk aspek penyelenggaraan SPPG, Ombudsman menyampaikan tujuh saran konkret yang mencakup seluruh rantai layanan, yaitu perlunya pengendalian mutu bahan yang lebih ketat, penerbitan juknis kemitraan nasional yang mengatur mekanisme harga.
Kemudian, pembayaran, serta pembagian margin secara transparan untuk mengurangi potensi moral hazard. Diperlukan pula standarisasi SOP pengelolaan dan menu, distribusi makanan yang konsisten dan tepat waktu, serta arus kas yang lancar agar honorarium staf dapur tidak tertunda.
BGN juga disarankan membangun dashboard monitoring digital untuk memantau suhu masak, keterlambatan distribusi, serta deviasi SOP secara real time. BPOM harus dilibatkan secara penuh dalam seluruh rantai pengawasan mulai dari pengelolaan hingga distribusi agar aspek keamanan pangan benar-benar terjamin.
Pada aspek pengawasan, lanjut Yeka, Ombudsman menekankan perlunya penguatan sistem koordinasi yang lebih efektif antara pemerintah pusat, daerah, dan komunitas lokal agar layanan MBG lebih responsif terhadap kondisi lapangan.
BPOM dan Dinas Kesehatan wajib dilibatkan penuh dalam inspeksi keamanan pangan. Evaluasi pelaksanaan SPPG harus dilakukan secara berkelanjutan untuk mencegah diskriminasi, maladministrasi, dan penurunan kualitas layanan.
Pengawasan wajib berbasis data melalui daftar periksa bahan masuk serta sanksi tegas bagi pemasok yang melanggar kontrak. Dalam praktiknya, SPPG yang menimbulkan insiden kesehatan harus dihentikan sementara untuk dievaluasi, sementara SPPG yang berjalan normal tetap diawasi secara konsisten dan diarahkan menuju zero accident.
Partisipasi publik juga perlu diperluas dengan melibatkan lembaga independen, serta penggunaan dashboard digital untuk memantau mutu bahan, kepatuhan distribusi, hasil uji makanan, dan keterlambatan layanan secara real time. Untuk menjamin keberlanjutan, BGN perlu mengusulkan anggaran pengawasan yang memadai kepada Kementerian Keuangan.
“Ombudsman menekankan, semua perbaikan ini harus dilakukan dengan semangat reformasi tata kelola. Tugas pemerintah bukan memperkaya segelintir orang, tapi menjamin kesejahteraan seluruh rakyat,” ucapnya.
Yeka menegaskan bahwa dengan regulasi yang kuat, SDM yang mumpuni, pengawasan independen, serta partisipasi masyarakat, program Makan Bergizi Gratis dapat menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa ini.