



Soal Zero ODOL, Ini Masukan dari Asosiasi Logistik
- Direktur Eksekutif Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Budi Wiyono mengungkapkan bahwa penerapan kebijakan Zero Over Dimension Overloading (ODOL) membutuhkan perbaikan dan standardisasi kelas jalan.
Tanpa penyesuaian infrastruktur jalan, implementasi Zero ODOL akan sulit dan berpotensi menimbulkan masalah baru.
Budi Wiyono menyampaikan beberapa masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum Zero ODOL ini benar-benar diterapkan.
Salah satunya adalah adanya perbedaan signifikan antara daya dukung jalan di Indonesia dengan standar internasional, yang membuat penerapan Zero ODOL ini menjadi tantangan tersendiri.
Karenanya, dia menyarankan perlu adanya penyesuaian aturan terkait kelas jalan dan Jembatan Timbang (JBI) agar sesuai dengan kapasitas jalan dan standar Zero ODOL.
“Jika ini tidak diperbaiki, Zero ODOL bisa menyebabkan peningkatan biaya logistik, karena membutuhkan lebih banyak truk untuk mengangkut barang yang sama,” ujarnya dalam siaran persnya, Selasa (1/7/2025).
Dia mengutarakan bahwa infrastruktur dan kelas jalan di Indonesia banyak yang tidak terstandar.
Artinya, belum disesuaikan dengan perkembangan sistem angkutan secara internasional.
“Sebenarnya, kita sudah pernah sampaikan ini ke Bappenas, di mana jalan di Indonesia itu harus ditata. Standar gandar itu harus sesuai dengan perkembangan teknologi,” tuturnya.
Di Eropa saja, menurutnya, negara tersebut sudah menggunakan single tires untuk mengurangi beban.
“Kita harus menyesuaikan seperti itu seharusnya. Jadi, sebenarnya kita juga perlu standar angkutan barang untuk di jalan itu apa. Truk untuk mengangkut minuman, angkutan pertanian, itu kan kita tidak ada standar,” sebut dia.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan menegaskan bahwa desain kendaraan yang dipakai di Indonesia umumnya berasal dari Eropa dan Amerika.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemikir-pemikir di luar itu kebanyakan akan membangun kendaraannya dengan membayangkan apa yang akan dilewatinya.
Dia mencontohkan seperti Eropa, di mana infrastruktur jalan di sana didesain untuk bisa membuat kendaraan mampu berjalan di atas infrastruktur yang ada.
Adapun daya angkut kendaraan (MST) infrastruktur jalan di Eropa itu sudah mencapai 13 ton.
Di negara-negara Asia juga banyak yang MST-nya sudah 12 ton.
China bahkan MST-nya sudah 14 ton. “Lalu kendaraan itu masuklah ke Indonesia yang MST infrastruktur jalannya hanya 8 dan 10 ton. Pastilah itu akan menjadi masalah jika kebijakan Zero ODOL diberlakukan. Kapasitas kendaraan yang kita beli dengan kualitas MST 13 ton harus kita gunakan dengan MST 8 ton, ya jelas akan bermasalah dan secara ekonomi kita juga akan kalah,” katanya.
Menurutnya, masalah infrastruktur jalan ini bahkan akan lebih memberatkan di daerah-daerah jika Zero ODOL diterapkan.
Karena, UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan bahwa uji KIR di daerah itu didasarkan atas daya dukung jalan.
“Ini akan berat bagi kota Malang atau Garut misalnya, karena mereka akan mendapatkan MST yang 8 ton. Karena, mobil yang sama dilahirkan di daerah akan tidak sama daya angkutnya dengan yang dikeluarkan di pusat. Sementara, truk-truk itu jalan melalui lintas wilayah. Padahal, di peraturan sebelumnya, yaitu UU Nomor 14 Tahun 1992 ada jalan khusus,” ungkapnya.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Mahendra Rianto, juga menyoroti pemeliharaan jalan tol yang belum pernah dilakukan audit kekuatan jalannya hingga kini.
“Itu belum pernah ada audit kekuatan jalan tol sampai sekarang. Boleh enggak kita mengaudit jalan tol itu seperti berapa kekuatan sebetulnya, berapa jalan tol yang industri itu, berapa jalan tol yang menghubungkan antar kota, kekuatannya, ketebalannya, dan soal penggunaan materialnya,” katanya.
Pakar Transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno, menyampaikan pandangannya terkait penyebab karut marutnya sistem transportasi di Indonesia.
Dia menyampaikan hal itu terjadi karena kebijakan dan infrastruktur transportasi saat ini yang masih bersifat parsial dan terfragmentasi.
Ratusan truk berjalan untuk menolak kebijakan peraturan ODOL di sekitar kota Wonosari, Gunungkidul, Rabu (25/6/2025)
Menurut dia, sistem transportasi di Indonesia saat ini masih diatur secara sektoral berdasarkan moda transportasi tanpa adanya payung hukum integratif nasional.
Disebutkan, UU No.22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No.17/2008 tentang Pelayaran, UU No.23/2007 tentang Perkeretaapian, UU No.1/2009 tentang Penerbangan, serta UU No.2/2022 tentang Jalan, tidak saling terkait dan beroperasi sendiri-sendiri.
“Akibatnya, sistem transportasi nasional menjadi parsial, inefisien, dan gagal memenuhi kebutuhan konektivitas antar wilayah, khususnya dalam membangun Indonesia sebagai negara maritim, dan juga tidak mampu menekan biaya logistik,” tuturnya.
Lebih jauh lagi, katanya, tidak ada keterkaitan yang jelas dan fungsional antara UU Transportasi dan UU Penataan Ruang, dengan UU Transportasi serta UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam satu aliran proses perencanaan.
Menurut dia, ini menyebabkan tidak ada norma hukum yang mengatur kebutuhan dan tatanan transportasi nasional yang terstruktur dan sistemik yang diturunkan dari rencana tata ruang, dan dijadikan acuan dalam merencanakan pembangunan transportasi berdasarkan UU No.25 Tahun 2004 tentang SPPN (pembangunan transportasi tidak didasarkan cetak biru).
Karenanya, lanjutnya, pembentukan UU Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS) yang terintegrasi, holistik, inklusif, dan terstruktur hingga ke tingkat desa, menjadi sangat mendesak untuk menciptakan perencanaan berbasis kebutuhan (demand-driven), mengharmoniskan transportasi dengan tata ruang, memperkuat negara maritim, dan mewujudkan pemerataan pembangunan nasional.
“Ini perlu dibenahi dulu untuk bisa mewujudkan Zero ODOL nantinya,” ucapnya.