Terdidik tapi Terpinggirkan
Pencari kerja berdesakan untuk melakukan registrasi pada Job Fair di Hotel Bela Ternate, Maluku Utara, Selasa (20/5/2025). Pemprov Maluku Utara melalui Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi menggelar Job Fair 2025 dari tanggal 20-21 Mei dengan menyediakan sebanyak 2.368 lowongan kerja dan 21 perusahaan nasional maupun lokal yang siap merekrut tenaga kerja di berbagai bidang sebagai upaya untuk mengurangi angka pengangguran. (ANTARA FOTO/Andri Sap
05:48
17 Juni 2025

Terdidik tapi Terpinggirkan

DI TENGAH narasi besar pemulihan ekonomi, satu angka yang semestinya membuat kita menahan sorak adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, yang mencatat tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,76 persen—terendah setelah pandemi.

Sepintas fakta ini tampak menggembirakan. Namun, jika disandingkan dengan kenyataan bahwa jumlah penganggur justru meningkat menjadi 7,28 juta jiwa, maka paradoks itu tidak lagi bisa disembunyikan.

Statistik makro seolah menyenangkan. Namun di baliknya tersembunyi luka mikro yang membesar: semakin banyak tenaga kerja yang tersedia, tapi tidak diiringi kapasitas dunia usaha untuk menyerapnya.

Kita hidup di tengah narasi pertumbuhan yang menggoda, tetapi sering kali menutupi getirnya realitas sosial di akar rumput.

Yang paling mencolok dan sekaligus mencemaskan adalah dominasi lulusan sekolah menengah, terutama SMA dan SMK, dalam struktur pengangguran.

Mereka menyumbang porsi terbesar: lulusan SMA sebesar 28,01 persen dan SMK 23,37 persen. Kemudian SD 17,09 persen, SMP 16,20 persen, diploma IV hingga S-3 sebesar 13,89 persen, dan diploma I-III sebesar 2,44 persen.

Ini bukan semata statistik, tapi potret kegagalan sistemik dalam menyelaraskan pendidikan nasional dengan kebutuhan nyata dunia kerja.

Di balik hiruk pikuk acara wisuda dan ijazah yang mereka genggam, ada harapan keluarga, kerja keras bertahun-tahun, dan mimpi akan masa depan yang lebih baik.

Namun, kenyataannya, setelah lulus mereka berdiri di pelataran kehidupan yang membingungkan, terjebak antara ambisi dan ketidakpastian, antara potensi dan pengabaian.

Ada dua akar utama persoalan ini. Pertama, ketidaksesuaian antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan dunia kerja yang dinamis.

Kedua, minimnya penciptaan lapangan kerja formal yang stabil dan melindungi pekerja.

BPS juga mencatat 32,12 juta lulusan SMA dan 20,35 juta lulusan SMK sebagai bagian dari angkatan kerja saat ini, sebuah potensi luar biasa yang ironisnya justru menjadi kelompok paling rentan terperangkap dalam sektor informal, pekerjaan tidak layak, atau bahkan menganggur sepenuhnya.

Ketika kita menengok realitas, banyak dari mereka bekerja serabutan: menjadi pelayan konter ponsel, montir atau tukang bubut bengkel kecil, tukang parkir, atau pencuci mobil.

Bahkan di pinggiran Jakarta, saya temukan lulusan S1 menjadi petugas bersih-bersih rumah dan lulusan S2 menjadi ojek online.

Mereka bekerja bukan karena minat atau kompetensi, tapi karena kebutuhan untuk bertahan hidup. Mereka adalah korban nyata dari underemployment, pekerja yang bekerja jauh di bawah kapasitas keterampilan dan pengetahuannya.

Yang menyedihkan lagi, mereka bekerja tanpa perlindungan hukum, upah di bawah standar, tanpa kepastian karier dan bisa diberhentikan kapan saja.

Situasi ini tak hanya menggerogoti kesejahteraan ekonomi mereka, tapi juga merusak makna pendidikan itu sendiri.

Di tengah mereka, kita menyaksikan fenomena education-occupation mismatch, ketimpangan antara latar belakang pendidikan dan realitas pekerjaan, yang kian merajalela di negara berkembang seperti Indonesia.

Ini adalah bentuk kegagalan kolektif: sistem pendidikan telah gagal menciptakan lulusan yang relevan, dan pasar kerja gagal memberi ruang tumbuh bagi generasi muda.

Ketika lulusan SMK jurusan teknik atau administrasi justru bekerja sebagai tukang las tanpa alat keselamatan kerja atau cleaning service tanpa asuransi, kita tak lagi bicara sekadar mismatch, tapi disorientasi pembangunan SDM.

Investasi pendidikan yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial kini kehilangan nilainya.

Upaya pemerintah seperti pelatihan vokasional dan insentif dunia usaha patut diapresiasi, tapi masih jauh dari memadai.

Banyak pelatihan yang tidak berbasis data kebutuhan industri real-time dan tanpa kepastian penempatan. Akibatnya, program ini cenderung menjadi proyek formalitas administratif yang tidak menyentuh akar persoalan.

Lebih jauh, kebijakan strategis pemerintah perlu dikritisi. Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dijanjikan sebagai pemicu investasi justru banyak dikritik karena mendegradasi perlindungan buruh, menurunkan standar upah minimum, dan membuka celah fleksibilisasi kerja yang makin menekan pekerja muda.

Dalam konteks pengangguran terdidik, UU ini justru memperparah ketimpangan, karena memperkuat dominasi fleksibilitas pasar ketimbang keamanan kerja.

Omnibus Law (UU Cipta Kerja), yang semestinya menjadi solusi atas rigiditas pasar tenaga kerja, nyatanya memperdalam ketidakpastian dan meminggirkan perlindungan bagi angkatan kerja muda.

Alih-alih memperluas kesempatan kerja layak, regulasi ini mendegradasi standar ketenagakerjaan dengan melonggarkan kontrak outsourcing, mengurangi pesangon, dan memperbesar ruang bagi sistem kerja tanpa kepastian jangka panjang.

Kritik ini bukan semata retorika, tetapi telah ditegaskan oleh berbagai kajian akademik, seperti laporan organisasi ketenagakerjaan internasional (ILO) dan akademisi hukum ketenagakerjaan yang menyoroti bahwa fleksibilisasi pasar kerja tanpa kejelasan proteksi justru menciptakan “prekariat”, kelas pekerja yang hidup dalam ketidakpastian.

Bagi lulusan SMA dan SMK, UU ini menciptakan jebakan baru: mereka didorong masuk ke pasar kerja fleksibel yang longgar dalam hak, tetapi keras dalam tuntutan.

Terlihat terlalu mengedepankan narasi “kemudahan investasi” tanpa menghitung dampak jangka panjang terhadap kohesi sosial. Kita butuh reformasi pasar kerja yang adil, bukan sekadar deregulasi yang justru melucuti martabat kerja.

Fenomena paling mengkhawatirkan muncul dalam bentuk gelombang migrasi kerja ke luar negeri oleh anak-anak muda lulusan SMA/SMK.

Banyak dari mereka nekat mengadu nasib sebagai buruh kasar atau semi-terampil, tukang las, operator pabrik, pekerja konstruksi, bahkan pembantu rumah tangga dan perawat lansia, ke Malaysia, Timur Tengah, Jepang, Korsel, hingga Eropa.

Ada yang berhasil, tapi tidak sedikit yang tertipu agen abal-abal, menjadi korban eksploitasi, atau bahkan mengalami gangguan jiwa karena tekanan dan beban kerja di luar negeri yang sangat berat.

Indonesia kehilangan bonus demografi dalam wujud pekerja muda yang belum sempat tumbuh karena dipaksa hengkang akibat kegagalan sistem domestik.

Ketiadaan peluang kerja layak di dalam negeri memaksa sebagian besar lulusan menengah, baik SMA maupun SMK, untuk melirik luar negeri sebagai jalan keluar.

Data dari BNP2TKI (sekarang BP2MI) menunjukkan peningkatan tren migrasi kerja muda ke sektor informal dan semi-skill di Malaysia, Timur Tengah, Jepang, hingga Eropa Timur.

Mereka melamar menjadi pekerja kebun, kuli bangunan, operator mesin, hingga caregiver lansia di panti jompo.

Namun, kenyataan di balik euforia kerja ke luar negeri tidak seindah iklan agen penyalur. Banyak dari mereka tidak dibekali kecakapan dasar, terjebak sistem kerja eksploitatif, dan sebagian besar tidak mendapatkan kontrak kerja legal.

Bahkan, berdasarkan laporan Migrant Care dan BP2MI, sejumlah anak muda Indonesia mengalami penyiksaan, pelecehan, hingga gangguan kejiwaan akibat tekanan hidup di luar negeri.

Ini adalah bentuk paling ekstrem dari ketimpangan: negara gagal menyediakan ruang hidup yang layak bagi anak mudanya, sehingga mereka diekspor dalam posisi paling rentan, nyaris tanpa perlindungan.

Dalam jangka panjang, ketergantungan pada remitansi dari buruh migran bukanlah solusi pembangunan ekonomi, melainkan pertanda rapuhnya ekosistem ketenagakerjaan nasional.

Apabila tren pengangguran terdidik ini tidak ditanggulangi secara struktural dan cepat, kita bukan hanya menghadapi masalah ekonomi, tetapi potensi destabilisasi sosial.

Dalam teori ekonomi pembangunan (Lewis, 1954; Todaro, 1997), terdapat titik kritis ketika jumlah penganggur terdidik yang tidak terserap pasar menciptakan kelompok frustrasi yang teralienasi dari sistem.

Harus segera melakukan integrasi kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri, bukan sekadar lip service atau omon omon.

Model industry-recognized certification seperti di Kanada dan Australia perlu diadaptasi untuk memastikan lulusan memiliki kompetensi yang diakui dan dibutuhkan dunia usaha.

Lebih dari itu, negara harus memperkuat perlindungan hukum bagi pekerja muda, melarang praktik upah murah (wage dumping), dan memberikan insentif nyata bagi perusahaan yang mempekerjakan lulusan fresh graduate.

Di tingkat lokal, pemerintah daerah bisa menjadi motor solusi dengan mengembangkan program padat karya berbasis komunitas dan inkubasi UMKM berbasis keahlian anak muda.

Ekosistem ekonomi yang berpihak pada pekerja muda tak hanya akan menyelamatkan mereka dari pengangguran, tapi juga mendorong pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan.

Namun, tanggung jawab ini tidak semata di pundak negara. Dunia pendidikan harus juga berani mengevaluasi diri: apakah kurikulum mereka hanya mencetak nilai akademik atau juga keterampilan hidup dan mental tahan banting?

Lembaga pendidikan harus mulai mengukur keberhasilan berdasarkan tingkat penyerapan kerja, bukan hanya akreditasi dan IPK lulusan.

Dunia usaha pun harus mulai berhenti bersikap pasif: jangan lagi hanya “menunggu yang siap pakai”, tapi turut serta membentuk potensi melalui program pemagangan dan rekrutmen inklusif.

Di tengah semua kompleksitas ini, pemuda Indonesia menjadi kelompok paling sunyi, namun paling terdampak. Mereka bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi kehilangan arah, makna, dan kepercayaan diri.

Maka penting untuk mengubah cara kita memaknai fase menunggu. Menunggu bukanlah kegagalan. Menunggu adalah ruang jeda yang sarat makna: ruang untuk mengasah keterampilan baru, membangun portofolio mandiri, menjelajahi dunia digital, atau memulai usaha mikro sesuai keahlian.

Ini saatnya menanam ketangguhan dari dalam, sambil terus mendorong perubahan dari luar.

Pemerintah dan masyarakat harus mendukung semangat ini melalui pembukaan akses terhadap pelatihan daring, bantuan modal kecil, inkubasi kewirausahaan, dan yang tak kalah penting: membangun narasi sosial yang tidak menghakimi proses menunggu sebagai aib.

Kita harus mulai mengangkat cerita tentang ketekunan, inovasi, dan daya lenting anak-anak muda dalam menghadapi ketidakpastian.

Pengangguran bukan sekadar soal angka. Ia adalah wajah dari anak muda yang menunduk di meja makan karena belum bisa membantu ekonomi keluarga.

Ia adalah raut kecewa dari orangtua yang tak kunjung melihat anaknya diterima kerja. Ia adalah rasa malu dari seorang sarjana yang bekerja serabutan hanya demi bertahan hidup.

Maka, pertumbuhan ekonomi yang sejati bukan soal seberapa besar PDB naik, tetapi seberapa luas jalan dibuka bagi mereka yang muda, terdidik, namun selama ini terpinggirkan.

Kepada para pemuda Indonesia, generasi pemilik masa depan, ketahuilah bahwa keterlambatan bukanlah kekalahan. Dunia kerja faktanya memang belum sempurna, tetapi kalian tidak sendiri.

Teruslah mengasah diri, bangun jaringan, pelajari hal-hal baru, dan percayalah bahwa kerja keras kalian tidak akan sia-sia.

Sambil menunggu perubahan dari negara, mari kita tumbuhkan kekuatan dari dalam. Sebab ketika kesempatan itu datang, kalian tidak hanya akan menjadi pencari kerja, tapi pencipta masa depan

Tag:  #terdidik #tapi #terpinggirkan

KOMENTAR