



Ketika Syariah Tidak Meyakinkan: Salah Narasi atau Salah Strategi?
Dalam sebuah diskusi riset terbaru, dibahas hambatan struktural perbankan syariah dalam mendorong inklusi keuangan nasional.
Pertanyaannya, mengapa sistem syariah belum sepenuhnya meyakinkan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, padahal seharusnya syariah menjadi gaya hidup kaum muslimin?
QS. Al-Baqarah (2): 208 menyerukan agar umat Islam masuk ke dalam Islam secara k?ffah—mencakup akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Artinya, bersyariah dalam keuangan bukan sekadar ritual, tapi bagian dari hidup menyeluruh.
Namun, ayat ini belum sepenuhnya dipegang teguh. Buktinya, meski industri keuangan syariah tumbuh rata-rata 21,6 persen per tahun (2019–2023), dan asetnya mencapai Rp 2.735 triliun pada 2023, pertumbuhan bank syariah justru melambat dari 20,40 persen (2022) menjadi 11,80 persen (2023), lalu turun lagi ke 6 persen (2024).
Pangsa pasarnya pun masih stagnan di kisaran 7,7 persen.
Mengapa Syariah Penting bagi Indonesia?
Percaya kalau majunya syariah akan membantu menyelesaikan masalah ekonomi dan sosial di Indonesia?
Mari kita telaah dari sisi makro yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi, stabilitas keuangan, profitabilitas, dan mengurangi risiko kredit.
Pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan inklusi keuangan memungkinkan masyarakat lebih luas untuk mengakses layanan keuangan formal seperti tabungan, pembiayaan, investasi, pasar modal, dan asuransi.
Data inklusi keuangan Indonesia mencapai 80,51 persen pada tahun 2025, naik dari 75,02 persen pada 2024 (OJK, SNLIK 2025), masih perlu mengejar ke 94 persen menurut OECD untuk acuan negara maju.
Kedua, meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Akses keuangan yang merata menciptakan basis pendanaan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Ketiga, meningkatkan profitabilitas dan stabilitas bank. Dana jangka panjang dari nasabah yang terinklusi secara finansial memiliki karakter lebih stabil dan kurang sensitif terhadap fluktuasi suku bunga.
Keempat, menurunkan risiko kredit. Literasi dan inklusi keuangan yang semakin tinggi berkontribusi terhadap kemampuan masyarakat mengelola utang secara bijak.
Tingkat literasi keuangan syariah naik dari 39,11 persen (2024) menjadi 43,42 persen (2025), walaupun demikian inklusi keuangan syariah hanya naik dari 12,88 persen menjadi 13,41 persen (SNLIK, 2025).
Dari sisi mikro, syariah berdampak positif pada ekonomi dan sosial, termasuk mengurangi kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, dan perceraian.
Dalam kaitannya dengan menekan kesenjangan ekonomi, akses keuangan syariah menjangkau masyarakat bawah secara adil.
Sementara itu dalam hubungannya dengan mengurangi kemiskinan, layanan keuangan syariah seperti zakat dan pembiayaan mikro membantu akses modal halal.
Syariah juga turut mengurangi pengangguran: Pembiayaan UMKM menciptakan peluang kerja, dengan UMKM menyumbang lebih dari 97 persen lapangan kerja nasional (BPS, 2024).
Kemudian, syariah turut menurunkan perceraian. Menurut BPS 2024, perceraian mencapai 399.921 kasus, dengan penyebab utama perselisihan, masalah ekonomi, dan tinggalkan pasangan.
Literasi keuangan syariah dapat membantu keluarga mengelola pendapatan halal, meningkatkan keharmonisan keluarga.
Perlu Strategi?
Salah satu landasan strategi adalah Institutional Theory, yang menjelaskan bagaimana institusi (aturan, norma, dan keyakinan) membentuk perilaku dan struktur organisasi.
Teori ini menekankan bahwa organisasi menyesuaikan diri dengan norma institusional untuk memperoleh legitimasi, bukan hanya untuk efisiensi. Konsep utama dalam teori ini adalah Isomorphism, yang diungkapkan oleh DiMaggio & Powell (1983), yang menyatakan bahwa organisasi menjadi serupa karena tekanan koersif, mimetik, dan normatif.
Institusionalisasi mengacu pada proses di mana praktik sosial atau kewajiban dianggap sebagai hal yang normal, dengan fokus analisis pada stabilitas dan keseragaman antar-organisasi.
Penyusunan strategi peningkatan inklusi perbankan syariah dapat menggunakan teori Institutional Logics yang fokus pada isi dari institusi yaitu “sistem kepercayaan, identitas, nilai, dan praktik” yang membimbing perilaku baik dari sisi demand, supply, dan regulasi.
Adapun gagasan utama: berbagai logika institusional (misalnya: pasar, agama, negara, keluarga) dapat hidup berdampingan dan saling bersaing, membentuk tindakan individu dan organisasi secara kompleks.
Jauh sebelum teori ini dicetuskan, ayat dan hadist telah menjelaskan strategi penyampaian dakwah yang tepat, diantaranya di QS. An-Nahl (16): 125 yang artinya " Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah1 dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik..."
Menyeru atau melayani masyarakat memerlukan hikmah (kebijaksanaan), yaitu pemahaman terhadap kondisi, karakter, dan tingkah laku mereka agar pendekatannya tepat dan efektif.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang mudah (bermuamalah) saat menjual, membeli, dan menagih" (HR. Bukhari No. 2076).
Untuk ber-muamalah dengan sikap yang bijak dan ramah, seseorang harus memahami situasi dan perilaku orang yang dihadapi, baik dalam konteks jual beli (pelanggan) maupun dalam hubungan sosial.
Semoga tulisan ini menjadi referensi bagi semua ekosistem perbankan syariah untuk dapat menyusun strategi jitu dalam rangka meningkatkan inklusi yang lebih baik. Wallahu a'lam bis-shawaab.
Tag: #ketika #syariah #tidak #meyakinkan #salah #narasi #atau #salah #strategi