



Upah, Tunjangan, dan Tuntutan Ekonomi Baru
KESENJANGAN antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lapangan pekerjaan di Indonesia kian mengkhawatirkan.
Insiden kericuhan di Job Fair Bekasi pada 27 Mei 2025, menjadi cerminan nyata dari tingginya kebutuhan akan pekerjaan dan ketidaksiapan sistem yang ada.
Peristiwa ini bukan sekadar masalah manajemen acara, melainkan lonceng peringatan tentang disrupsi besar di pasar tenaga kerja yang perlu segera diantisipasi: kita memasuki era "Post-Labor Economics".
Era ini, yang ditandai oleh gelombang otomatisasi, perubahan demografi, dan tuntutan ekonomi baru, diprediksi akan mengubah fondasi upah dan tunjangan tradisional secara signifikan.
Indonesia, dengan jumlah angkatan kerja muda yang melimpah dan sektor informal yang dominan, harus siap menghadapi gejolak ini demi masa depan generasi penerus bangsa.
Upah tanpa sekat
Masa depan pekerjaan sedang bergolak. Kita memasuki era di mana fondasi upah dan tunjangan tradisional diuji oleh gelombang otomatisasi, perubahan demografi, dan tuntutan ekonomi baru.
Riset terkini menunjukkan bahwa sistem upah minimum statis akan ditinggalkan. Ambil contoh upah federal AS yang tak berubah sejak Juli 2009, sementara inflasi terus menggerus daya belinya.
Praktik "subminimum wage" untuk pekerja tip juga telah dihapus di setidaknya enam negara bagian AS, terbukti membantu memperbaiki kondisi pekerja di sektor tersebut.
Di Indonesia, hal ini berarti sektor informal, yang mencakup hampir 60 persen tenaga kerja, akan terdorong menuju standar yang lebih seragam.
Tuntutan transparansi yang semakin menguat secara global akan mendorong runtuhnya model negosiasi upah yang tertutup.
Praktik tawar-menawar upah di sektor formal akan digantikan "wage posting" transparan di lowongan kerja, sebuah mekanisme yang mengurangi asimetri informasi dan berpotensi menekan kesenjangan upah.
Praktik "upah berdasarkan pengalaman" juga akan ditinggalkan karena dianggap memicu bias, dan secara umum, transparansi gaji terbukti menekan disparitas upah.
Bahkan, upah berbasis lokasi geografis juga akan usang. Digitalisasi pekerjaan memicu alokasi upah berbasis skill global, bukan lagi zona ekonomi lokal, memungkinkan pekerja di kota-kota seperti Bandung dibayar setara pekerja di Jakarta untuk peran remote.
Namun, ini juga membawa tantangan persaingan dengan tenaga kerja global yang tak bisa dihindari.
Tunjangan fleksibel adaptif
Disrupsi tak berhenti pada upah. Tunjangan yang kaku pun akan bernasib serupa. Model asuransi kesehatan berbasis perusahaan, yang di Indonesia hanya tersedia untuk sebagian kecil pekerja formal, kemungkinan akan digantikan skema tunjangan portabel berbasis pemerintah, seperti ekstensi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjangkau jutaan pekerja informal yang belum terintegrasi penuh JKN.
Paket tunjangan tetap non-fleksibel, seperti cuti sakit seragam, akan tergeser modul tunjangan "on-demand", seperti dana pelatihan atau subsidi penitipan anak.
Tren global menunjukkan preferensi pekerja terhadap tunjangan adaptif, namun implementasinya di Indonesia masih terhambat regulasi ketenagakerjaan yang kaku.
Bahkan, sistem jaminan sosial tradisional seperti BPJS Ketenagakerjaan, yang akan kewalahan menampung pekerja paruh waktu dan gig economy yang terus bertumbuh, mungkin akan berevolusi.
Konsep Universal Basic Benefits (UBB), yang sedang diuji coba di beberapa negara maju, dapat menjadi alternatif.
Di Indonesia, kita masih di tahap awal dengan program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang cakupannya masih perlu diperluas secara signifikan.
Transformasi ini dipercepat oleh beberapa faktor kunci di Indonesia. Deindustrialisasi prematur, dengan proyeksi PHK massal di sektor tekstil (sekitar 280.000 pekerja pada 2025), memaksa transisi cepat ke ekonomi berbasis keterampilan, tetapi tanpa kesiapan infrastruktur pelatihan yang memadai.
Demografi muda Indonesia, dengan lebih dari 150 juta angkatan kerja dan median usia sekitar 30 tahun, berpotensi menjadi aset jika reskilling berhasil, tetapi berisiko menjadi beban jika gagal.
Tekanan global, termasuk gejolak pasar dan banjir impor murah, juga mempercepat otomatisasi industri dan memangkas pekerjaan berbasis upah rendah.
Dampak sosial-ekonomi yang kritis pun mengintai. Ada risiko polarisasi ketenagakerjaan: jutaan pekerja sektor informal berisiko kehilangan pendapatan tanpa jaring pengaman memadai, sementara pekerja terampil di kota akan menikmati upah global.
Eksklusi pekerja senior, sekitar 15 persen total tenaga kerja berusia di atas 50 tahun, yang kesulitan akses pelatihan ulang, berpotensi meningkatkan pengangguran struktural.
Terakhir, ketimpangan geografis akibat konsentrasi investasi di kota-kota besar akan memperlebar jurang upah desa-kota, memicu urbanisasi tak terkendali yang dapat memperburuk masalah sosial.
Jalan adaptasi bangsa
Untuk menghadapi ini, Indonesia butuh adaptasi cepat. Dalam beberapa tahun ke depan, kita bisa melihat inisiatif awal UBB terbatas dan integrasi "wage posting" dalam platform rekrutmen.
Penghapusan upah subminimum untuk sektor formal mungkin terjadi, meski UMKM perlu dipertimbangkan untuk dispensasi.
JKN berpotensi diperluas menjadi tunjangan portabel dasar, dan formula upah minimum provinsi bisa berevolusi ke "skill-based indexing" berbasis sertifikasi kompetensi.
Rekomendasi kebijakan strategis menjadi krusial. Reformasi dan perluasan cakupan JKP harus menjadi prioritas, diintegrasikan dengan insentif pelatihan berbasis industri prioritas seperti ekonomi hijau.
Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk Peta Jalan Reskilling Nasional, dengan program seperti Kartu Prakerja versi industri yang fokus pada sertifikasi digital bagi pekerja terdampak PHK.
Terakhir, desentralisasi ekonomi berbasis digital melalui pembangunan pusat-pusat digital di luar Jawa, misalnya Batam atau Makassar, penting untuk menyerap tenaga kerja terampil dengan tawaran upah kompetitif dan insentif yang menarik.
Ini akan mengurangi ketimpangan geografis dan memperluas kesempatan kerja di seluruh Nusantara.
Transisi Indonesia menuju Post-Labor Economics akan lebih dalam dan berisiko dibanding negara maju akibat ketergantungan pada sektor informal, deindustrialisasi prematur, dan kesenjangan regulasi.
Tiga titik kritis yang menentukan keberhasilan kita adalah kecepatan adopsi skema tunjangan portabel, efektivitas alih keterampilan massal, dan kemampuan meredistribusi kesempatan kerja berbasis skill ke seluruh Nusantara.
Kegagalan mengatasi tiga tantangan ini berpotensi memicu stagnasi ekonomi berkepanjangan dan eksklusi sosial, terutama di tengah momentum bonus demografi yang mencapai puncaknya pada 2045.
Dalam era di mana sebagian besar pekerjaan tradisional dapat berisiko hilang akibat otomatisasi, kesuksesan bukan lagi tentang "mencari lowongan", tetapi menciptakan peran baru melalui kombinasi keunikan manusia (empati, kreativitas, etika), penguasaan teknologi (AI sebagai alat, bukan ancaman), dan agilitas ekonomi (pendapatan multidimensi).
Ini adalah misi bangsa kini, yang membutuhkan visi jangka panjang, eksekusi konsisten, dan keyakinan teguh bahwa setiap individu punya potensi tak terbatas untuk menjadi penggerak ekonomi.
Mari kita wujudkan potensi itu, karena era emas perekonomian Indonesia ada di tangan kita.