Di Tengah Kenaikan Biaya Asuransi, Kelas Menengah Bergantung ke BPJS Kesehatan?
Ilustrasi tarif premi asuransi kesehatan naik. (DOK. Shutterstock.)
09:04
8 Juni 2025

Di Tengah Kenaikan Biaya Asuransi, Kelas Menengah Bergantung ke BPJS Kesehatan?

- Aturan terkait nasabah asuransi kesehatan yang harus ikut menanggung 10 persen biaya klaim dinilai akan menambah beban pengeluaran masyarakat, khususnya kelas menengah.

Hal tersebut berpotensi membuat masyarakat kelas menengah menghentikan polis asuransi kesehatan dan hanya akan bergantung ke BPJS Kesehatan.

Namun demikian, industri asuransi kesehatan juga tengah menghadapi tren klaim asuransi kesehatan yang terus naik. Tanpa adanya upaya intervensi regulator, hal ini akan membuat premi yang dibayarkan peserta juga terus naik.

Tak jauh beda, masyarakat yang menilai premi asuransi kesehatan tak terjangkau bisa jadi akan berlari dan bergantung ke BPJS Kesehatan.

Pengamat Asuransi Dedy Kristianto mengatakan, pemegang polis asuransi kesehatan swasta berpotensi untuk lebih melirik BPJS Kesehatan yang tidak menerapkan skema co-payment.

"Walaupun dengan segala kekurangan dan kelebihan BPJS, tetapi jika berbicara mengenai uang, masyarakat akan memilih yang lebih murah," kata dia kepada Kompas.com, ditulis Sabtu (7/6/2025).

Ia menjelaskan, skema sharing risk ini akan semakin memberatkan pemegang polis karena menambah pengeluaran yang sebelumnya sudah beres ditangani ketika membeli premi asuransi kesehatan.

Ia menambahkan, bagi perusahaan asuransi kebijakan ini juga perlu ditinjau ulang mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang bergejolak.

Pemegang polis yang merasa keberatan bukan tidak mungkin akan menghentikan polis asuransi kesehatannya.

"Perlu diantisipasi surrender rate yang tinggi pada perusahaan asuransi," imbuh dia.

Dedy menerangkan, masalah peningkatan klaim kesehatan asuransi telah menjadi perhatian regulator.

OJK melihat kondisi ini perlu diselesaikan agar perusahaan asuransi tidak berdarah-darah dalam jangka waktu yang lama.

Adapun, regulasi ini menurut OJK bertujuan untuk mencegah moral hazard dan mengurai penggunaan layanan kesehatan secara berlebihan (overutilitas).

"Jadi diharapakan nasabah lebih bisa mengatur penggunaan asuransi kesehatannya," ungkap dia.

Di samping itu, Dedy bilang perusahaan yang tidak mau kehilangan banyak bisnis akibat penerapan ketentuan baru ini harus melakukan banyak inovasi.

"Apakah dari sisi produk besaran premi yang lebih murah, peningkatan pelayanan, baik internal maupun pelayanan kesehatannya," tutup dia.

Dihubungi secara terpisah, Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengimbau nasabah untuk tidak keberatan menanggung sendiri klaim karena merupakan pembagian risiko agar keberlanjutan asuransi dalam membayar klaim tetap terjaga.

Hal itu dinilai masih lebih baik dibandingkan kenaikan premi asuransi kesehatan yang harus ditanggung nasabah.

"Untuk menjaga sustainability asuransi dalam memberi pelayanan kepada nasabah," kata dia kepada Kompas.com, ditulis Jumat (6/6/2025).

Irvan menambahkan, aturan tentang co-payment ini seharusnya tidak mengurangi minat masyarakat membeli produk asuransi kesehatan.

"Karena kenaikan klaim asuransi kesehatan atau inflasi medis terus meningkat, melebihi persentase nilai klaim yang harus ditanggung nasabah," imbuh dia.

Sementara itu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) melaporkan, beberapa perusahaan asuransi sejak awal tahun juga telah melakukan penyesuaian harga premi pada premi produk asuransi kesehatannya.

Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon menjelaskan, ketika klaim produk asuransi kesehatan naik, hal itu akan diikuti oleh naiknya premi asuransi kesehatan.

Adapun, rata-rata kenaikan klaim asuransi kesehatan di beberapa perusahaan rata-rata naik 29 persen.

"Kalau terus naik (klaim) dan kemudian asuransi terpaksa me-review perhitungannya, akan tiba masanya di mana asuransi kesehatan ini mungkin dirasakan berat sekali buat dibeli," kata dia dalam Konferensi Pers Laporan Kinerja Industri Asuransi Jiwa Kuartal I-2025, Rabu (4/6/2025).

Ia menambahkan, ketika asuransi kesehatan sulit didapatkan masyarakat, masyarakat akan cenderung hanya mengandalkan BPJS Kesehatan.

"Kalau semua menggunakan, mungkin jadi berat juga buat BPJS Kesehatan dan ujung-ujungnya untuk pemerintah," imbuh dia.

Budi mengungkapkan co-payment ini bukan sesuatu yang baru dan telah diterapkan ke dalam berbagai negara di dunia.

Adapun secara umum, adanya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan atau SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 merupakan suatu langkah strategis OJK dalam memperkuat tata kelola dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.

Dalam aturan baru itu, pemegang polis paling sedikit ikut menanggung sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan.

Pemegang polis memiliki batas maksimum sebesar Rp 300.000 per pengajuan klaim rawat jalan dan Rp 3 juta per pengajuan klaim rawat inap.

Budi menerangkan, regulasi ini hadir sebagai jawaban atas tantangan industri khususnya yang terkait dengan pengendalian biaya klaim, transparansi manfaat, serta perlindungan hak masyarakat.

"Kami memandang aturan ini sebagai peluang untuk membangun sistem aksuansi kesehatan yang lebih adil dan efisien," ujar dia.

Sebagai informasi, inflasi medis yang terjadi di Indonesia memang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Data dari Mercer Marsh Benefits menunjukkan, inflasi medis di Indonesia pada 2024 ada di kisaran 10,1 persen.

Sementara itu, pada 2025, inflasi medis di Indonesia diperkirakan dapat mencapai angka 19 persen.

Angka itu sekaligus mengantarkan Indonesia menduduki uruta kedua tertinggi negara di Asia Pasifik dengan angka inflasi medis tertinggi.

Tag:  #tengah #kenaikan #biaya #asuransi #kelas #menengah #bergantung #bpjs #kesehatan

KOMENTAR