



Peserta Asuransi Wajib Patungan Bayar Klaim Obat, Bikin Premi Jadi Lebih Murah?
- Masyarakat belakangan ini dihebohkan dengan adanya wacana peserta asuransi kesehatan swasta wajib ikut tanggung 10 persen klaim biaya berobat mulai tahun depan.
Wacana tersebut tertuang dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan pada 19 Mei 2025.
Dalam SEOJK tersebut, tertuang ketentuan mengenai produk asuransi kesehatan harus memiliki skema co-payment atau pembagian risiko dengan pemegang polis.
Lantas, seperti apa bunyi aturan peserta asuransi wajib tanggung 10 persen biaya klaim tersebut?
Dalam Pasal 5 SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 tertulis, produk asuransi kesehatan harus menerapkan pembagian risiko atau co-payment yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim.
Adapun, batasan maksimum pembagian risiko untuk rawat jalan sebesar Rp 300.000 per pengajuan klaim asuransi.
Sementara, pembagian risiko untuk rawat inap maksimal sebesar Rp 3 juta per pengajuan klaim.
Ketentuan dari SEOJK itu mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2026. Sedangkan, perusahaan asuransi wajib menyesuaikan produknya paling lambat 31 Desember 2026.
Alasan Perlunya Aturan Co-Payment dalam Asuransi Kesehatan
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025 sudah diterbitkan sejak 19 Mei 2025.
Adapun, salah satu latar belakang penerbitan SEOJK itu adalah untuk mendorong efisiensi dalam biaya kesehatan yang terus meningkat dengan inflasi medis yang lebih tinggi dari inflasi umum.
Ogi berharap efisiensi ini dapat memitigasi dampak dari inflasi medis dalam jangka panjang.
"Sehingga biaya kesehatan masih dapat dibiayai secara bersama baik melalui skema penyaminan nasional maupun melalui skema asuransi komersial," kata dia dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner OJK, ditulis Rabu (4/6/2025).
Selain itu, ia menyebut, SEOJK yang baru ini juga bertujuan untuk mendorong pembenahan ekosistem asuransi kesehatan dengan penerapan praktik pengolahan risiko yang lebih baik.
Adapun, sejak awal tahun, perusahaan asuransi memang telah menyesuaikan tarif premi asuransi kesehatan dengan inflasi medis yang terus meningkat.
Hal itu perlu dilakukan untuk dapat menjaga keberlanjutan bisnis di tengah tingginya klaim kesehatan yang tinggi.
OJK mencatat, rasio klaim untuk produk asuransi kesehatan yang merupakan klaim terhadap gross premium dan di luar dari cadangan klaim dan biaya operasional adalah 51,29 persen.
Sementara itu, rasio klaim asuransi kesehatan untuk asuransi umum sebesar 49,97 persen.
Selain aturan terkait co-payment tersebut, SEOJK yang baru juga memuat pemanfaatan data digital kesehatan atas efektivitas dan efisiensi layanan medis dan obat yang diberikan.
Kemudian, ada juga pembentukan medical advisory board yang memberikan masukan dari sisi medis atas layanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan.
Surat Edaran OJK ini juga memuat fitur COB atau Coordination of Benefit dengan layanan kesehatan melalui skema jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.
Asuransi adalah sebuah perjanjian hukum antara dua pihak, yaitu penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung (nasabah).
Manfaat Co-Payment Asuransi Kesehatan, Bikin Premi Turun?
Pada kesempatan yang berbeda, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon menjelaskan alasan di balik adanya aturan terkait co-payment tersebut.
Ia menerangkan, ketika klaim produk asuransi naik, hal itu akan diikuti oleh naiknya premi asuransi kesehatan.
Adapun, rata-rata kenaikan klaim asuransi kesehatan di beberapa perusahaan rata-rata naik 29 persen.
"Kalau terus naik (klaim) dan kemudian asuransi terpaksa me-review perhitungannya, akan tiba masanya di mana asuransi kesehatan ini mungkin dirasakan berat sekali buat dibeli," kata dia dalam Konferensi Pers Laporan Kinerja Industri Asuransi Jiwa Kuartal I-2025, Rabu (4/6/2025).
Ia menambahkan, ketika asuransi kesehatan sulit didapatkan masyarakat, masyarakat akan cenderung hanya mengandalkan BPJS Kesehatan.
"Kalau semua menggunakan (BPJS Kesehatan), mungkin jadi berat juga buat BPJS Kesehatan dan ujung-ujungnya untuk pemerintah," imbuh dia.
Budi mengungkapkan co-payment ini bukan sesuatu yang baru dan telah diterapkan di berbagai negara di dunia.
Menurut dia, adanya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan atau SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 merupakan suatu langkah strategis OJK dalam memperkuat tata kelola dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.
Regulasi ini hadir sebagai jawaban atas tantangan industri, khususnya yang terkait dengan pengendalian biaya klaim, transparansi manfaat, serta perlindungan hak masyarakat.
"Kami memandang aturan ini sebagai peluang untuk membangun sistem asuransi kesehatan yang lebih adil dan efisien," imbuh dia.
Ia menambahkan, pihaknya secara aktif berkoordinasi dengan OJK agar implementasi regulasi ini tetap selaras dengan dinamika industri.
Hal itu dilakukan beriringan dengan menjaga keseimbangan antara kemampuan perusahaan dan perlindungan yang optimal bagi masyarakat.
Budi percaya, skema co-payment atau pembagian risikoyang ditanggung pemegang polis dalam asuransi kesehatan dapat membuat harga premi asuransi kesehatan turun.
Meskipun di satu sisi memang akan ada biaya lain yang dibayarkan oleh pemegang polis, tetapi hal itu sudah dibatasi dengan besaran yang telah ditentukan.
"Untuk program asuransi kesehatan berdasarkan SEOJK yang baru ini, saya percaya preminya akan lebih terjangkau buat masyarakat kita," ucap dia.
Ia menambahkan, adanya skema co-payment ini juga berpotensi besar akan membuat kenaikan premi tahunan pada saat jatuh tempo tidak sebesar sebelumnya.
"Ada peluang besar kenaikan preminya pada saat polisnya jatuh tempo itu tidak sebesar sekarang," tutup dia.
Tag: #peserta #asuransi #wajib #patungan #bayar #klaim #obat #bikin #premi #jadi #lebih #murah