Gas Surplus, tapi Kesenjangan Supply-Demand Melebar
Diskusi Strategi Penguatan Sektor Gas Bumi Indonesia yang digelar Energy Editor Society (E2S), di Jakarta, Jumat (16/5). (dok. E2S)
23:27
17 Mei 2025

Gas Surplus, tapi Kesenjangan Supply-Demand Melebar

 

- Konsumsi gas bumi hampir dipastikan terus meningkat seiring dengan strategi transisi energi yang diusung pemerintah. Apalagi temuan cadangan migas dalam beberapa tahun terakhir didominasi gas. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga sudah menetapkan swasembada sektor energi melalui hilirisasi gas.

Namun demikian di sisi lain ada kesenjangan cukup besar antara lokasi atau sumber pasokan dengan lokasi permintaan (demand). Untuk itu, pemerintah harus menyiapkan opsi berbagai metode penyaluran atau supply, baik gas pipa maupun dengan beyond pipeline misalnya, seperti LNG.

Vice President  Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Ufo Budiarius Anwar mengungkapkan, dalam beberapa tahun ke belakang temuan gas cukup besar. Diprediksi juga terjadi pada tahun-tahun mendatang.

Hanya saja tantangannya adalah temuan tersebut berada di wilayah timur Indonesia, sementara demand terpusat di Indonesia bagian barat. "Kita banyak temuan cadangan gas, tapi daerah timur Indonesia. Jadi, bagaimana bawa cadangan gas menjadi produksi dan dikirim ke end user yang ada di Jawa dan Sumatera?" kata Ufo dalam sesi diskusi Strategi Penguatan Sektor Gas Bumi Indonesia yang digelar Energy Editor Society (E2S), di Jakarta, Jumat (16/5).

Berdasarkan data SKK Migas pada 2024 rata-rata penyaluran gas bumi mencapai 5.613,43 BBTUD dengan persentase pemanfaatan gas bumi sektar 60 persen lebih diperuntukkan kebutuhan domestik. Untuk industri 26,24 persen, kemudian pupuk dan kelistrikan masing-masing 12,3 persen dan 12,51 persen.

Sisanya ada untuk LNG domestik 12,39 persen, untuk lifting minyak 3,73 persen, untuk LPG 1,37 persen, BBG dan jaringan gas masing-masing sebesar 0,13 persen dan 0,22 persen. Sementara untuk ekspor persentasenya hanya 24,17 persen untuk ekspor LNG serta ekspor gas pipa yang diekspor ke Singapura 6,95 persen.

Ufo menuturkan dengan kondisi banyaknya gas yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik maka dipastikan bahwa gas merupakan lokomotif penggerak ekonomi energi di Indonesia. Untuk itu, perlu ada dorongan serius untuk bisa mengakomodir peningkatan permintaan gas dalam negeri. 

Data SKK Migas menunjukkan bahwa kebutuhan (total demand) gas nasional akan mengalami tren peningkatan moderat dari tahun 2025 sebesar 5.613 MMSCFD hingga mencapai 6.229 MMSCFD pada tahun 2033 dan 5.751 MMSCFD pada 2035. Selama periode 2025 hingga 2035, struktur kebutuhan gas bumi nasional menunjukkan pola yang relatif sama. Sektor kelistrikan, pupuk, dan industri manufaktur akan tetap menjadi pengguna utama, yang memerlukan jaminan pasokan berkelanjutan.

Meskipun pasokan gas secara kumulatif masih berada dalam kondisi surplus, ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan di berbagai wilayah telah menunjukkan kecenderungan yang semakin lebar. Untuk tahun ini saja masalah pasokan gas cukup dirasakan.

Pemerintah memutuskan untuk melalukan swap gas pipa yang diekspor ke Singapura menjadi LNG. Ini membuat kebutuhan gas sampai Juni tahun ini sudah tercukupi. Pemerintah melakukan Swap Gas mencapai 25 BBTUD dari Natuna untuk kebutuhan domestik, khususnya wilayah Batam. Strategi ini efektif rencana dimulai pada 1 Juni 2025.

Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Pertamina Hulu Energi (PHE), Rachmat Hidajat mengakui, dengan adanya temuan gas di wilayah timur Indonesia membuat Pertamina sangat berharap kolaborasi dan keterlibatan pemerintah untuk bisa memastikan ketersediaan pasar konsumen gas. 

"Harapan ke depan inventory kita banyak, tapi stranded field dan marjinal. Belum bisa optimasi semua. Butuh kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Karena bagaimana caranya agar market mudah akses ke kita. Misalnya, negara chip in infrastruktur ini akan unlock inventory," ungkap Rachmat.

Sementara itu, Anggota Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto, menegaskan bahwa infrastuktur dasar memang harus disiapkan pemerintah. Tanpa infrastruktur dasar yang memadai, maka akan ada peningkatan biaya yang ujungnya akan berdampak pada harga gas.

Keterlibatan pemerintah, kata Sugeng, jadi kunci untuk bisa menguatkan sektor gas bumi Indonesia. Dia mencontohkan pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) yang akhirnya diambil alih oleh negara setelah gagal dibangun oleh Rekind dan Bakrie Grup.

"Nanti dari ujung Aceh sampai Jawa Timur pipa tersambung Jawa dan Sumatera. Jadi, kaya Arun akan menjadi receiving terminal storage baru alirkannya melalui pipa dan itu bisa murah," kata Sugeng. 

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menuturkan, salah satu kunci untuk bisa meredam potensi kekurangan pasokan gas di beberapa wilayah adalah, pemerintah harus terus menggenjot upaya integrasi maupun penyediaan infrastruktur gas. Menurut Komaidi dari berbagai data sekitar 80 persen cadangan gas berada di Indonesia timur, konsumen di bagian barat. 

"Kalau bangun pipa investor tanya berapa lama cadangan lewat. Kalau 5-10 tahun bangun pipa kemudian kalau balik modal 15 tahun, nggak akan dipilih. Kemudian opsi paling logis mengubah jadi LNG dengan skala kecil, lebih mahal. Sementara konsumen barat sudah terbiasa dengan harga gas murah ini yang perlu diluruskan," jelas Komaidi.

Salah satu tools yang bisa dimanfaatkan adalah keterlibatan badan usaha baik milik pemerintah maupun swasta yang memiliki modal kuat untuk bisa mendorong pemanfaatan gas domestik. "Badan usaha ini berperan penting dan utama serta menjadi mitra strategis pemerintah dalam penyiapan infrastuktur gas bumi dalam mendukung hilirisasi gas bumi," kata Komaidi

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #surplus #tapi #kesenjangan #supply #demand #melebar

KOMENTAR