



Hari Buruh 2025: Agenda Melawan Eksploitasi Ojek Online
TANGGAL 1 Mei bukan sekadar tanggal dalam kalender; ia adalah refleksi perjuangan buruh melawan ketidakadilan struktural yang terus berkembang.
Dari era pabrik hingga zaman algoritma, pekerja masih sering diposisikan sebagai pihak lemah, sekadar “peminta kerja” di hadapan kekuasaan modal.
Meski lebih dari 136 tahun sejak May Day pertama kali dideklarasikan, perjuangan buruh belum usai. Ketimpangan antara pemilik modal dan tenaga kerja tetap nyata.
Bentuk eksploitasi hanya berubah, dari pemilik pabrik ke platform digital, dari cambuk mandor ke tekanan algoritma.
Sejarah mencatat, 1 Mei 1886 menjadi tonggak penting saat buruh di Amerika Serikat melancarkan pemogokan massal menuntut delapan jam kerja.
Di Haymarket Square, Chicago, demonstrasi damai berujung tragedi berdarah pada 4 Mei 1886. Bom meledak, bentrokan pecah, nyawa melayang, dan sejumlah aktivis dihukum secara tidak adil.
Tragedi ini menggugah kesadaran global, hingga pada 1889, Kongres Buruh Internasional menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional—dirayakan pertama kali setahun kemudian.
Namun, apakah eksploitasi telah berakhir? Jelas belum. Bentuknya berubah, tetapi esensinya tetap: subordinasi pekerja dalam sistem ekonomi yang timpang.
Di era digital, eksploitasi hadir dengan wajah yang lebih halus, tapi mencengkeram: fleksibilitas semu, algoritma tak kasat mata, dan hilangnya kepastian kerja.
Perusahaan berbasis aplikasi seperti Gojek, Grab, dan Maxim menjadi contoh paling kentara. Pada 2024, jumlah pengemudi ojek online di Indonesia mencapai 4,7 juta orang. Mereka disebut “mitra”, tetapi tak memiliki perlindungan dasar sebagai pekerja.
Biaya kendaraan, perawatan, dan bahan bakar ditanggung sendiri, sementara pendapatan dikendalikan penuh oleh algoritma. Siapa mendapat pesanan, kapan, dan berapa besar penghasilan—semua ditentukan oleh sistem yang tak bisa digugat.
Dalam kenyataannya, banyak pengemudi bekerja lebih dari 12 jam sehari demi mengejar insentif yang makin sulit diraih akibat perubahan skema dan target algoritma.
Mereka terjebak dalam fleksibilitas palsu: bebas memilih jam kerja, tapi diburu oleh kebutuhan dan tekanan sistem.
Hubungan antara platform dan pekerja lebih menyerupai subordinasi daripada kemitraan. Tak ada kontrak kerja formal, tak ada jaminan sosial, tak ada hak untuk berunding. Mereka dikecualikan dari sistem perlindungan yang dirancang untuk dunia kerja konvensional.
Kecenderungan ini menunjukkan gejala “perbudakan modern”, di mana eksploitasi terjadi secara terstruktur, tapi tersembunyi di balik retorika kemajuan teknologi.
Dunia kerja digital telah menciptakan sistem yang tampak bebas, tetapi penuh kendali. Pekerja tak hanya bersaing dengan manusia lain, tetapi juga dengan algoritma dan mesin yang tak mengenal lelah, sakit, atau protes.
Kemunculan AI dan otomatisasi memperdalam jurang ketimpangan. Mereka yang tidak memiliki akses terhadap teknologi canggih terpinggirkan.
Sementara itu, sistem sosial dan hukum belum cukup tanggap terhadap realitas baru ini. Negara belum sepenuhnya hadir untuk menjamin hak-hak pekerja digital.
Karena itu, agenda perjuangan buruh tahun 2025 harus berani menempatkan eksploitasi digital sebagai isu utama.
Perlu ada dorongan kuat untuk mereformasi kebijakan ketenagakerjaan yang mampu menjangkau pekerja informal dan digital, serta menuntut tanggung jawab platform terhadap perlindungan pekerja.
Negara perlu mengembangkan sistem perlindungan sosial yang inklusif dan adaptif—yang tak hanya melindungi pekerja pabrik, tapi juga kurir aplikasi, sopir daring, dan freelancer digital.
Ini mencakup hak atas jaminan kesehatan, perlindungan kecelakaan, kepastian penghasilan minimum, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang adil.
Jika tidak diantisipasi dengan kebijakan progresif, dunia kerja digital berpotensi melahirkan distopia baru: peradaban yang semakin dehumanistik, di mana martabat manusia dikalahkan oleh efisiensi sistem.
Hari Buruh Internasional 2025 bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk membongkar narasi palsu tentang fleksibilitas dan menuntut keadilan dalam dunia kerja baru. Perjuangan ini bukan nostalgia masa lalu, tetapi strategi menyelamatkan masa depan.
Pekerja buntung, aplikator makin untung
Ledakan ekonomi digital berbasis aplikasi sering dirayakan sebagai simbol kemajuan. Namun di balik euforia itu, tersembunyi kenyataan pahit: munculnya angkatan kerja digital yang dieksploitasi secara sistemik.
Bagi pengemudi ojek online, kurir makanan, dan pekerja lepas digital, platform bukan jalan menuju kesejahteraan, melainkan pelarian dari krisis lapangan kerja formal. Mereka bekerja tanpa jaminan sosial, perlindungan hukum, dan kepastian penghasilan.
Skema “kemitraan” hanyalah kedok. Perusahaan bebas dari tanggung jawab sebagai pemberi kerja, sementara pekerja terjebak dalam relasi sepihak yang merugikan.
Dengan dalih membuka lapangan kerja, platform terus merekrut tanpa batas. Hasilnya: persaingan brutal, pendapatan menurun, dan jam kerja makin panjang tanpa kompensasi memadai.
Mereka dikendalikan oleh algoritma yang dingin dan tak bisa diprotes. Sedikit penurunan skor performa bisa memutus akses mereka terhadap penghasilan.
Kini terbentuk kasta baru: elite korporasi di puncak, buruh digital di dasar. Ketimpangan ini bukan semata soal ekonomi, tetapi pemiskinan struktural dalam kemasan teknologi.
GoTo mencatat Rp 18,1 triliun pendapatan tahun 2023, Grab Rp 44 triliun di 2024—semua dibangun dari peluh jutaan pekerja yang bekerja 12 jam sehari tanpa perlindungan. Mereka disebut mitra, tapi diperlakukan sebagai buruh tak berhak.
Janji fleksibilitas hanya ilusi. Risiko sosial dan ekonomi dipindahkan sepenuhnya ke pundak pekerja. Tanpa regulasi, masa depan kerja bisa dikendalikan algoritma, bukan keadilan. Dunia kerja kehilangan nurani, pekerja kehilangan martabat.
Perlawanan kelas buruh digital global
Yang lahir hari ini adalah kelas buruh baru—buruh digital global. Mereka tak terikat pabrik atau negara, tapi disatukan nasib yang sama: dikendalikan oleh sistem algoritma.
Meski ditekan, para pengemudi dan kurir mulai melawan. Pada April 2025, aksi serentak terjadi di banyak kota Indonesia, menolak program "Grab Hemat" yang menurunkan tarif. Serikat seperti SPAI, KON, dan FKDOI jadi penggerak utama.
Aksi juga terjadi Agustus 2024, ribuan pengemudi berdemo di Istana Negara menuntut kejelasan status hukum. Mereka bukan sekadar mitra, melainkan pekerja yang dikontrol sepihak.
Pemogokan menjadi senjata. Juni 2021, kurir Gojek mogok menolak skema insentif baru. Agustus 2024, aksi serupa meletus kembali. Beberapa kisah berujung tragis, seperti kematian pengemudi di Bekasi dan Surabaya karena tekanan ekonomi.
Perlawanan juga terjadi di luar negeri. Di AS, ribuan pengemudi Uber dan Lyft mogok di kota besar sejak 2019. Mereka menuntut upah layak dan perlindungan sosial.
Sebagian berujung gugatan hukum, seperti AB5 di California yang mengakui pengemudi sebagai pekerja tetap—meski kemudian dilawan korporasi lewat Proposition 22.
Di Eropa, pengemudi Deliveroo di Inggris mogok pada 2021. Di Spanyol, Glovo akhirnya mengakui pengemudi sebagai karyawan tetap.
China dan India juga menyaksikan gelombang aksi, meski berbeda pendekatan: aksi diam-diam di China dan blokade jalan di India.
Berbagai serikat seperti IFAT dan IAATW membentuk jaringan global, memperjuangkan upah layak, status pekerja tetap, dan perlindungan sosial.
Namun regulasi internasional masih lemah. ILO baru mulai serius membahas isu ini dalam lima tahun terakhir, sementara praktik eksploitasi terus meluas.
Mengapa eksploitasi ini terus dibiarkan? Jawabannya struktural. Hukum ketenagakerjaan tertinggal jauh dari laju inovasi teknologi.
Banyak pemerintah justru terbuai janji ekonomi digital: investasi, PDB, dan penciptaan lapangan kerja. Demi citra “ramah inovasi,” ketidakadilan sering diabaikan.
Negara maju pun tidak imun. Lobi korporasi kuat, dan narasi inovasi menekan reformasi.
Meski begitu, ada titik terang. Mahkamah Agung Inggris mengakui pengemudi Uber sebagai pekerja. Spanyol mengesahkan Rider Law. California punya AB5, meski dilawan dengan Proposition 22.
Singapura relatif proaktif. Pada Januari 2025, Platform Workers Act mulai berlaku, memberi asuransi dan pensiun bagi 73.000 pekerja. Namun, isu pemotongan penghasilan masih jadi perhatian.
Di tingkat global, ILO mulai membuka ruang dialog. Tapi selama tidak ada regulasi internasional yang jelas, jutaan pekerja tetap berada di zona abu-abu—bukan buruh, bukan mitra sejati.
Pemutihan eksploitasi digital melalui label UMKM
Di tengah kritik terhadap praktik eksploitatif dalam ekonomi digital, wacana pemerintah untuk mengklasifikasikan pengemudi ojek online sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menimbulkan pertanyaan serius.
Meskipun tampak memberikan pengakuan dan akses terhadap pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), kebijakan ini justru berpotensi memutihkan relasi kerja yang eksploitatif.
Pengemudi ojek online tidak memiliki kontrol atas tarif, sistem kerja, atau akun mereka sendiri. Seluruh aktivitas mereka diatur oleh algoritma perusahaan platform.
Penyematan status “mitra UMKM” mengasumsikan adanya otonomi dan modal, padahal dalam praktiknya mereka bekerja dalam relasi subordinatif layaknya buruh. Dengan label ini, negara secara tidak langsung menghindari tanggung jawab perlindungan ketenagakerjaan.
Fenomena ini mencerminkan bentuk baru neo-feodalisme digital: perusahaan platform sebagai "tuan algoritma", dan para pengemudi sebagai "pekerja lepas" tanpa kepastian pendapatan, jaminan sosial, atau perlindungan hukum.
Sementara perusahaan seperti Gojek, Grab, dan Maxim terus mencetak keuntungan besar, para pengemudi menanggung beban risiko secara individual.
Relasi ini semakin timpang karena platform dapat sewaktu-waktu menonaktifkan akun pengemudi tanpa kejelasan prosedur atau mekanisme banding.
Kondisi ini diperparah oleh strategi rekrutmen tanpa batas yang dilakukan perusahaan aplikator, yang menciptakan overkapasitas dan kompetisi brutal antarpekerja.
Tarif ditekan, dan pendapatan terus merosot, menjadikan pekerja digital sebagai unit produksi yang mudah diganti.
Ketika negara ikut melanggengkan struktur ini melalui regulasi, maka terjadi proses normalisasi eksploitasi.
Alih-alih menghadirkan perlindungan, negara justru tunduk pada logika pasar yang menekankan fleksibilitas dan deregulasi. Ini bukan hanya bentuk abai terhadap keadilan sosial, tetapi juga berbahaya sebagai preseden kebijakan di era digital.
Membangun skema pelindungan baru
Perlindungan bagi pekerja digital membutuhkan pendekatan baru yang melampaui dikotomi klasik antara pekerja formal dan wirausaha. Pemerintah perlu segera memperbarui regulasi ketenagakerjaan untuk mengakomodasi bentuk kerja baru yang diatur oleh algoritma.
Salah satu jalan keluar adalah merancang dua skema relasi kerja yang adil: (1) skema pekerja untuk mereka yang bekerja secara subordinatif terhadap platform, dan (2) skema kemitraan berkeadilan bagi model kerja yang lebih fleksibel, tapi tetap menjamin hak dasar.
Skema pekerja memastikan hak atas upah minimum, jaminan sosial, cuti, dan perlindungan hukum. Sementara itu, skema kemitraan berkeadilan mencakup hak negosiasi atas tarif dan waktu kerja, transparansi algoritma, serta keterlibatan dalam pengambilan kebijakan platform.
Beberapa negara telah mulai menerapkan model serupa, termasuk kontribusi bersama ke sistem jaminan sosial dan partisipasi pekerja dalam perumusan kebijakan. Langkah-langkah ini penting untuk membangun ekosistem kerja digital yang inklusif dan adil.
Selain itu, serikat pekerja perlu memperluas jangkauan mereka untuk mengorganisasi pekerja digital yang selama ini tersebar dan tidak terlindungi.
Pendidikan digital kritis juga penting agar masyarakat menyadari dampak sosial dari sistem kerja platform yang mereka gunakan sehari-hari.
Momentum May Day 2025 menjadi pengingat bahwa perjuangan pekerja digital adalah bagian dari agenda keadilan sosial di era baru. Para pengemudi dan kurir bukan sekadar pengguna aplikasi, tetapi manusia kerja yang layak diakui dan dilindungi.
Tanpa intervensi regulatif yang berpihak pada pekerja, dunia kerja digital akan terus didominasi oleh logika kapitalisme platform yang eksploitatif.
Negara dituntut untuk tidak sekadar menjadi fasilitator pasar, tetapi penjamin keadilan sosial dan pelindung martabat kerja.
Regulasi pelindungan pekerja digital bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan prasyarat bagi negara modern yang beradab. Kini saatnya kita membangun tatanan kerja digital yang menjunjung keadilan, keberlanjutan, dan kemanusiaan.
Tag: #hari #buruh #2025 #agenda #melawan #eksploitasi #ojek #online