



Tak Hanya Barang Bajakan dan QRIS, AS Juga Protes Soal UU Produk Halal RI
Gelombang protes dari Amerika Serikat (AS) terhadap kebijakan perdagangan Indonesia kian meluas. Setelah sebelumnya menyoroti isu barang bajakan dan implementasi QRIS, kini Washington juga melayangkan keberatan keras terhadap Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Republik Indonesia.
AS secara terbuka menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia. Negeri Paman Sam menilai aturan yang mewajibkan sertifikasi halal untuk berbagai jenis produk yang diperdagangkan di Indonesia tersebut berpotensi menjadi hambatan teknis yang signifikan bagi ekspor mereka.
Kekhawatiran ini tertuang dalam dokumen Laporan Perkiraan Dagang Nasional 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) pada 31 Maret 2025. Dalam laporan tersebut, AS secara eksplisit menyoroti cakupan luas UU Jaminan Produk Halal yang dinilai memberatkan para eksportirnya.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sertifikasi halal wajib diberikan kepada produk pangan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, produk rekayasa genetika, barang konsumsi, dan produk kimia yang diperjualbelikan di Indonesia. Semua proses bisnis, termasuk produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemasaran, tercakup dalam undang-undang ini," demikian bunyi laporan USTR yang dikutip Selasa (22/4/2025).
Lebih lanjut, AS menyoroti proses penyusunan peraturan pelaksanaan UU Halal yang dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan masukan dari para pemangku kepentingan internasional.
"Karena Indonesia terus mengembangkan peraturan untuk menerapkan undang-undang ini, para pemangku kepentingan AS khawatir bahwa Indonesia telah menyelesaikan banyak peraturan tersebut sebelum memberitahukan rancangan peraturan tersebut kepada WTO dan mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan dan sebagaimana yang direkomendasikan oleh Komite WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Komite TBT WTO)," lanjut laporan tersebut.
USTR secara spesifik menyoroti Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 784/2021 tentang produk-produk yang memerlukan sertifikasi halal dan KMA Nomor 1360/2021 tentang bahan yang dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal. AS merasa bahwa aturan-aturan ini masih berpotensi untuk diubah agar tidak memberatkan perdagangan. "Ini adalah dokumen yang hidup, artinya dapat diamandemen tanpa memerlukan penerbitan keputusan baru," papar USTR.
Tak hanya soal kewajiban sertifikasi produk, AS juga menyoroti sejumlah aturan akreditasi bagi badan sertifikasi halal asing atau Halal Certification Body (HCB). Pemerintah AS merasa bahwa persyaratan akreditasi yang ditetapkan oleh Indonesia terlalu memberatkan dan menghambat HCB AS untuk menerbitkan sertifikasi halal bagi produk-produk yang akan diekspor ke Indonesia.
"Amerika Serikat khawatir bahwa peraturan akreditasi tersebut menciptakan permintaan dokumen yang berlebihan, persyaratan yang semakin memberatkan bagi auditor untuk memenuhi syarat, dan kebijakan rasio cakupan terhadap auditor yang sewenang-wenang, yang semuanya meningkatkan biaya dan menunda prosedur akreditasi yang tidak perlu bagi HCB AS," jelas laporan USTR dengan nada frustrasi.
Dengan nada yang jelas menunjukkan ketidakpuasan, laporan tersebut menutup dengan menyatakan bahwa AS terus menyuarakan kekhawatirannya terkait implementasi UU Nomor 33 Tahun 2014 di forum internasional, yaitu Komite TBT WTO dan Komite Perdagangan Barang WTO.
Kekhawatiran yang dilayangkan AS ini tentu bukan tanpa alasan. Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, potensi hambatan teknis terkait UU Jaminan Produk Halal dapat mengganggu arus perdagangan antara kedua negara. Peningkatan biaya dan kerumitan prosedur sertifikasi halal bagi produk-produk AS dapat mengurangi daya saing mereka di pasar Indonesia, yang pada akhirnya bisa merugikan neraca perdagangan kedua belah pihak.
Pemerintah Indonesia sendiri memiliki alasan kuat dalam memberlakukan UU Jaminan Produk Halal, yaitu untuk melindungi konsumen muslim di dalam negeri dan mendorong perkembangan industri halal nasional. Namun, tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan kepentingan domestik dengan kewajiban dalam perjanjian perdagangan internasional serta mempertimbangkan kekhawatiran mitra dagang.
Langkah selanjutnya dari pemerintah Indonesia akan menjadi krusial. Bagaimana respons Jakarta terhadap kekhawatiran yang disuarakan AS ini akan menentukan arah hubungan dagang kedua negara ke depan. Dialog dan negosiasi yang konstruktif menjadi kunci untuk mencari solusi yang saling menguntungkan dan menghindari potensi sengketa perdagangan yang tidak diinginkan. Isu UU Jaminan Produk Halal kini menjadi ujian nyata bagi diplomasi ekonomi Indonesia di kancah global.
Tag: #hanya #barang #bajakan #qris #juga #protes #soal #produk #halal