



Industri Tekstil Tertekan Tarif Impor AS, 1,2 Juta Pekerja Terancam PHK
Industri tekstil Indonesia terus terpukul. Terbaru, produk tekstil asal Indonesia dikenai bea masuk 47 persen oleh pemerintah Amerika Serikat (AS).
Tarif tinggi ini dikhawatirkan akan menekan ekspor dan mengancam kelangsungan usaha tekstil di dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyoroti kondisi industri tekstil yang sudah melemah jauh sebelum tarif baru AS diterapkan.
"Sudah banyak pabrik yang tutup. Sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil berhenti beroperasi. Akhirnya, sekitar 250.000 karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujar Redma dalam keterangan tertulis, 24 Desember 2024.
Redma menjelaskan penutupan pabrik disebabkan oleh banjir impor ilegal. Barang masuk tanpa kontrol ketat dan menekan produk lokal.
Impor ilegal ini memperparah kondisi industri tekstil yang sudah melemah akibat deindustrialisasi selama satu dekade terakhir.
Saat pandemi Covid-19, impor dari China sempat berhenti. Industri tekstil lokal pun sempat pulih. Namun, setelah lockdown dicabut, barang impor kembali masuk dan banyak yang ilegal. Banyak perusahaan terpaksa tutup karena tak mampu bersaing.
Tekanan Bertubi-tubi
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyebut industri tekstil sudah lama kesulitan.
Pandemi memicu inflasi global dan menurunkan daya beli. Masyarakat lebih fokus membeli makanan ketimbang pakaian.
"Jadi berimbas ke daya beli pakaian di Amerika, Uni Eropa, bahkan Jepang," kata Jemmy.
Konflik Ukraina-Rusia ikut memperparah kondisi. Nilai tukar rupiah yang melemah membuat harga bahan baku naik karena masih impor.
Jemmy menilai aturan impor makin longgar setelah Kementerian Perdagangan merombak Permendag Nomor 36 Tahun 2023 menjadi Permendag Nomor 8 Tahun 2024.
Setelah aturan ini berlaku, pengusaha tidak lagi wajib mengantongi pertimbangan teknis (pertek) saat mengajukan Persetujuan Impor (PI) untuk pakaian jadi, alas kaki, besi, baja, kosmetik, elektronik, hingga obat tradisional.
Pertek dinilai sebagai bentuk perlindungan industri dalam negeri. Tanpa itu, produk luar masuk lebih mudah ke pasar domestik.
Tarif Baru AS Bikin Biaya Ekspor Melonjak
Pemerintah AS baru saja menetapkan tarif impor 47 persen untuk produk tekstil Indonesia. Kebijakan ini bagian dari tarif resiprokal yang diumumkan Presiden Donald Trump.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut produk tekstil dan garmen jadi komoditas utama yang terdampak.
"Dengan diberlakukannya 10 persen tambahan, maka tarifnya itu menjadi 10 persen ditambah 10 persen ataupun 37 persen ditambah 10 persen,” ujar Airlangga dalam konferensi pers virtual, Jumat (18/4/2025).
Sebelum kebijakan ini, bea masuk tekstil Indonesia ke AS berkisar 10 sampai 37 persen. Setelah ditambah 10 persen, totalnya menjadi 20 sampai 47 persen.
Tak hanya tekstil, produk lain seperti alas kaki, furnitur, dan udang ikut terdampak.
“Itu menjadi produk yang Indonesia mendapatkan tarif bea masuk lebih tinggi dibandingkan beberapa negara pesaing, baik dari ASEAN maupun negara Asia yang lain,” ucap Airlangga.
Ia mengatakan tambahan tarif ini meningkatkan ongkos ekspor. Beban ditanggung eksportir dan importir sekaligus.
“Ini juga menjadi concern bagi Indonesia karena dengan tambahan 10 persen ini ekspor kita biayanya lebih tinggi,” ujar Airlangga.
1,2 Juta Pekerja Terancam PHK
Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memperkirakan 1,2 juta tenaga kerja bisa terdampak PHK akibat kebijakan tarif timbal balik AS.
Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), kenaikan 1 persen tarif impor bisa menurunkan ekspor hingga 0,8 persen.
Dengan kenaikan tarif saat ini, ekspor ke AS diprediksi turun 20 sampai 24 persen per item.
“Kita hitung hasilnya itu 1,2 juta dan untuk produksi TPT (tekstil dan produk tekstil) sendiri itu sekitar 191.000 tenaga kerja yang berpotensi terkena PHK,” kata Nailul dalam diskusi Forwin, Kamis (17/4/2025).
Nailul menjelaskan setiap kali tarif naik, harga barang Indonesia ikut naik di pasar AS. Saat ini ekspor Indonesia belum bisa langsung dialihkan ke negara lain. Permintaan pun turun, produksi ikut anjlok, dan tenaga kerja terkena imbas.
“Pasar internasional turun, otomatis produksi turun, otomatis akan memengaruhi tenaga kerja yang digunakan. Ini yang kita lihat efeknya sampai ke sana,” ujar Nailul.
Ancaman PHK juga tak hanya terjadi di sektor tekstil. Sektor informal seperti petani dan industri kimia dasar ikut terdampak.
Beberapa produk AS seperti minyak hewani dan minyak nabati membutuhkan bahan baku dari Indonesia.
Palm oil termasuk yang terdampak. Nailul menyebut sektor crude palm oil (CPO) berpotensi kehilangan sekitar 28.000 tenaga kerja.
Sejumlah pabrik tekstil sudah pailit sepanjang 2025. Puluhan ribu pekerja kehilangan pekerjaan.
Salah satunya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang menutup pabrik dan mem-PHK 10.669 karyawan.
PT Mbangun Praja Industri (Bapintri) di Cimahi, Jawa Barat, juga melakukan PHK terhadap 267 buruh karena tekanan keuangan.
Tag: #industri #tekstil #tertekan #tarif #impor #juta #pekerja #terancam