



Ramai Kisruh Pagar Laut, Guru Besar UGM Ungkap Sejumlah Suku di Indonesia Biasa Bangun Rumah Terapung
- Ditemukannya sertifikat kepemilikan baik berupa SHM (Sertifikat Hak Milik), maupun HGB (Hak Guna Bangunan) di perairan pesisir masih menjadi perdebatan. Hal itu menyusul munculnya pagar laut di beberapa lokasi.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria Suwardjono menilai, adanya HGB atau SHM di pesisir hal yang lumrah. Hal itu diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UU PA).
"Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu," kata Maria dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir, Jakarta, Kamis (6/2).
Dia mengungkapkan, sejumlah suku di Indonesia banyak yang membangun rumah di lahan atas perairan. Sebut saja Suku Bajo yang kondang dengan permukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Pada 2022, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang kala itu dipimpin Sofyan Djalil menyerahkan HGB kepada Suku Bajo. Setahun kemudian, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan HGB kepada Suku Bajo yang menghuni Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).
"Ingat semboyan nenek moyangku adalah pelaut. Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung. Termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau. Atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam. Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru," terang Maria.
Sementara, Pakar Hukum Agraria UGM, Nurhasan Ismail menerangkan, pasal 1 ayat 4 UU PA menyatakan, pengertian tanah termasuk daratan yang posisiya di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang danau atau sungai, masuk definisi tanah atau lahan.
Khusus tanah di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika yang ingin dimanfaatkan adalah kolom airnya, maka masuk pernah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk tingkat pusat. Jika lokasinya di daerah menjadi wewenang kepala daerah atau dinas terkait.
Terkait gaduh pagar laut yang telah mengantongi HGB di Tangerang dan Sidoarjo, dia menyebutnya sebagai bentuk kelatahan. Dari aturan hukumnya, memungkinkan adanya SHGB itu. “Misalnya di Sidoarjo, kalau HGB-nya mau diperpanjang, berati sudah 25 tahun yang lalu diberikan. Jadi, kenapa dipermasalahkan sekarang?,” kata Nurhasan.
Di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa hingga Pantai Selatan Madura, masyarakat memanfaatkan pesisir untuk menopang kehidupannya. Pelan-pelan mereka melakukan reklamasi, rujukan yang digunakan cukup dengan hukum adat.
“Karena tidak ada tanah lagi, negara tidak mampu menyediakan tanah untuk mereka. Ya mereka membentuk sendiri tanah itu. Pantai utara sepanjang Pulau Jawa ini lho, termasuk Madura," jelasnya.
Di sisi lain, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid ngotot mencabut hak tanah atau sertifikat pagar laut di Tangerang dan Bekasi. Baik berbentuk SHGB maupun SHM.
“Tidak gampang, karena setiap pembatalan itu berpotensi di-challenge di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Yang penting ending-nya semua sertifikat di luar garis pantai, kami batalkan,” kata Nusron.
Sejauh ini, Kementerian ATR/BPN membatalkan 50 sertifikat yang diterbitkan di wilayah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang. Adapun secara total di pagar laut Tangerang, terdapat 263 bidang dalam bentuk SHGB dan 17 SHM.
Tag: #ramai #kisruh #pagar #laut #guru #besar #ungkap #sejumlah #suku #indonesia #biasa #bangun #rumah #terapung