Perang Harga Mobil Listrik Munculkan Ancaman Layanan Purnajual: Siapa yang Menjamin Konsumen?
Perang harga mobil listrik di Indonesia membuat kendaraan listrik semakin terjangkau dan diminati. Namun di balik banderol yang terus ditekan, muncul kekhawatiran baru di kalangan konsumen: siapa yang menjamin layanan purnajual ketika margin produsen semakin menipis?
Fenomena banting harga Battery Electric Vehicle (BEV) dinilai memang menguntungkan konsumen dalam jangka pendek. Pilihan model bertambah dan selisih harga dengan mobil berbahan bakar bensin semakin kecil.
Tetapi sejumlah pengamat mengingatkan bahwa layanan purnajual, mulai dari ketersediaan suku cadang, kualitas servis, hingga dukungan baterai, bisa menjadi korban tersembunyi dari perang harga yang terlalu agresif.
Margin Tertekan, After-Sales Terancam
Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai perang harga yang dibiarkan tanpa pengaturan berisiko menggerus fondasi layanan purnajual.
“Dengan harga yang ditekan sedemikian rendah, ruang produsen untuk berinvestasi di after-sales menjadi sangat terbatas. Padahal untuk kendaraan listrik, layanan purnajual itu krusial,” ujar Yannes dihubungi JawaPos.com.
Berbeda dengan mobil konvensional, kendaraan listrik sangat bergantung pada sistem baterai, perangkat lunak, dan komponen elektronik yang membutuhkan dukungan teknis jangka panjang. Tanpa jaringan servis yang memadai dan pasokan suku cadang yang terjamin, konsumen berpotensi menghadapi masalah serius setelah masa awal kepemilikan.
Risiko Nyata bagi Konsumen
Beberapa risiko yang dikhawatirkan muncul antara lain keterbatasan bengkel resmi, waktu tunggu suku cadang yang panjang, hingga ketidakjelasan pembaruan perangkat lunak.
Dalam kondisi ekstrem, produsen atau merek yang tidak memiliki rencana bisnis jangka panjang berisiko hengkang dari pasar, meninggalkan konsumen tanpa dukungan.
“Mobil bisa saja murah saat dibeli, tetapi biaya dan kerepotan setelahnya bisa jauh lebih mahal,” kata Yannes.
Kondisi ini menjadi semakin sensitif karena pasar mobil listrik Indonesia masih dalam tahap awal. Tingkat literasi konsumen terhadap aspek teknis EV, termasuk perawatan baterai dan sistem kelistrikan, dinilai belum merata.
Sikap Produsen: Tak Semua Mau Ikut Banting Harga
Sejumlah produsen menegaskan tidak ingin terjebak dalam perang harga yang dinilai tidak berkelanjutan. PT BYD Motor Indonesia, misalnya, menilai persaingan harga ekstrem justru berpotensi merugikan konsumen.
Head of Marketing Communication PT BYD Motor Indonesia, Luther T. Panjaitan, mengatakan bahwa preferensi konsumen Indonesia tidak semata-mata soal harga murah.
“Konsumen di Indonesia sangat memperhatikan kualitas produk, kekuatan merek, dan keberlanjutan bisnisnya. Harga murah saja tidak cukup,” ujar Luther.
Menurut dia, investasi di jaringan dealer dan layanan purnajual membutuhkan komitmen besar. BYD mengklaim telah membangun puluhan showroom serta pabrik sebagai bentuk jaminan keberlanjutan.
“Dengan level harga yang terlalu ditekan, sangat sulit bagi produsen untuk tetap berinvestasi di pelayanan kepada pelanggan,” tambahnya.
Merek lainnya, Jaecoo, juga mengaku tak ingin ikut perang harga mobil listrik. Padahal, Jaecoo sendiri baru-baru ini bikin geger market EV di Indonesia dengan Jaecoo J5 EV yang harganya bisa dibilang disruptif.
"Kita mau build the trust dulu, jadi kita kasih harga yang sangat-sangat kita paling usahakan bisa kasih," ungkap Zheng Shuo, Presiden Direktur Chery Group.
Shuo juga meyakini kalau mereka tidak menerapkan strategi perang harga untuk memasarkan Electric Vehicle (EV) baru mereka walaupun jelas-jelas mobil baru mereka punya banderol harga yang mengganggu pasar di segmen lainnya.
After-Sales Jadi Faktor Penentu Kepercayaan
Isu layanan purnajual juga dinilai akan memengaruhi kepercayaan pasar secara keseluruhan. Ketika konsumen mulai merasakan penurunan kualitas layanan atau kesulitan mendapatkan dukungan teknis, persepsi negatif terhadap mobil listrik bisa meluas, bukan hanya pada merek tertentu.
Selain itu, lemahnya after-sales berpotensi berdampak pada pasar mobil bekas. Ketidakpastian servis dan suku cadang dapat mempercepat penurunan nilai jual kembali kendaraan listrik, yang pada akhirnya merugikan pemilik.
Yannes menegaskan perlunya peran pemerintah untuk memastikan perang harga tidak mengorbankan perlindungan konsumen. Regulasi dinilai perlu mengatur standar minimal layanan purnajual, ketersediaan suku cadang, serta jaminan baterai dan daur ulangnya.
“Kompetisi harga boleh, tapi negara harus memastikan konsumen tidak ditinggalkan setelah transaksi selesai,” ujarnya.
Di sisi lain, konsumen juga diimbau lebih kritis sebelum membeli mobil listrik. Harga murah sebaiknya tidak menjadi satu-satunya pertimbangan. Jaringan servis, masa garansi, reputasi merek, dan komitmen jangka panjang produsen perlu menjadi faktor utama dalam keputusan pembelian. (*)
Tag: #perang #harga #mobil #listrik #munculkan #ancaman #layanan #purnajual #siapa #yang #menjamin #konsumen