Perang Harga Mobil Listrik: Berkah Konsumen Hari Ini, Alarm Industri Otomotif Nasional
Jaecoo J5 EV, salah satu mobil listrik yang sempat membuat heboh karena harganya yang dianggap murah. (Istimewa)
14:32
18 Desember 2025

Perang Harga Mobil Listrik: Berkah Konsumen Hari Ini, Alarm Industri Otomotif Nasional

 

 

Perang harga mobil listrik berbasis baterai alias Battery Electric Vehicle (BEV) terlihat kian sengit di Indonesia dan membawa dua wajah sekaligus. Di satu sisi, konsumen menikmati harga yang semakin terjangkau. 

Namun di sisi lain, fenomena ini memunculkan alarm serius bagi keberlanjutan industri otomotif nasional dalam jangka menengah dan panjang.

Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai perang harga BEV merupakan konsekuensi logis dari beberapa faktor global dan domestik yang bertemu dalam satu momentum. 

Mulai dari turunnya biaya teknologi baterai, kuatnya integrasi rantai pasok Tiongkok, hingga paket insentif fiskal Indonesia yang masih sangat ramah terhadap kendaraan listrik hingga 2025.

“Dampaknya jelas. Gap harga antara BEV dan mobil murah konvensional seperti LCGC runtuh. Adopsi mobil listrik melonjak, dan pangsa merek Tiongkok naik signifikan,” kata Yannes dihubungi JawaPos.com.

Kondisi ini membuat peta persaingan otomotif Indonesia mulai bergeser. Produsen Jepang dan Korea yang selama puluhan tahun mendominasi pasar kini mulai terdesak, terutama di segmen pertumbuhan paling strategis: kendaraan listrik mass-market dan city car yang sensitif terhadap harga.

Konsumen Diuntungkan, Tapi Tidak Tanpa Risiko

Dalam jangka pendek, konsumen menjadi pihak yang paling diuntungkan. Harga BEV yang semakin murah membuat mobil listrik tak lagi menjadi barang eksklusif. Pilihan model bertambah, ekosistem mulai bergerak, dan target adopsi EV pemerintah lebih mudah tercapai.

Data penjualan menunjukkan respons pasar yang sangat cepat ketika selisih harga dengan mobil berbahan bakar bensin semakin menyempit. Bagi konsumen perkotaan dan pengguna armada, total biaya kepemilikan (total cost of ownership) menjadi semakin menarik.

Namun, Yannes mengingatkan ada risiko yang sering luput dari perhatian publik. Salah satunya adalah ketidakpastian harga mobil listrik di pasar bekas.

“Perang harga yang terlalu liar berpotensi menghancurkan resale value. Konsumen mungkin senang saat membeli, tapi bisa kecewa ketika ingin menjual kembali kendaraannya,” ujarnya.

Efek domino lainnya adalah tekanan terhadap layanan purnajual. Dengan margin yang semakin tipis, produsen berisiko memangkas investasi di sektor layanan, ketersediaan suku cadang, hingga kualitas after-sales yang justru krusial bagi kendaraan berbasis teknologi baru.

Titik Kritis Industri Ada di 2026

Menurut Yannes, tantangan sesungguhnya bukan pada ledakan adopsi saat ini, melainkan pada fase setelahnya. Tahun 2026 disebut sebagai titik kritis, ketika arah perang harga ini akan menentukan masa depan industri EV Indonesia.

“Apakah price war ini akan bertransformasi menjadi kompetisi berbasis produksi lokal dan transfer teknologi, atau justru menjadikan Indonesia hanya sebagai pasar ritel EV murah,” kata dia.

Tanpa regulasi yang tepat, Indonesia berisiko menjadi 'playground' bagi produk impor, sementara nilai tambah tinggi, mulai dari desain, teknologi baterai, hingga penguasaan sistem, tetap berada di luar negeri. 

Kondisi ini juga berpotensi membuat strategi hilirisasi nikel dan baterai nasional tidak sinkron dengan produk yang beredar di pasar.

Margin industri yang tergerus juga bisa membuat investor lokal dan global berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di sektor manufaktur EV dalam negeri.

Jepang Terdesak, Tiongkok Menekan

Fenomena perang harga ini sebagian besar digerakkan oleh merek-merek Tiongkok. Polanya mengingatkan pada strategi yang sebelumnya terjadi di pasar domestik Tiongkok, di mana price war digunakan sebagai alat untuk mengubah struktur pasar, bukan sekadar mendongkrak penjualan jangka pendek.

Di Indonesia, dampaknya memang belum sepenuhnya menjatuhkan dominasi merek Jepang. Namun tanda-tandanya mulai terlihat, terutama di segmen kendaraan listrik, generasi pengguna baru, serta pasar fleet dan city car.

Sementara itu, pabrikan Jepang dan Korea masih cenderung bertahan di zona nyaman kendaraan ICE dan hybrid yang masih sangat menguntungkan. Mereka juga menjaga citra kualitas dan resale value yang selama ini menjadi kekuatan utama, sesuatu yang bisa runtuh jika ikut terjun dalam perang harga ekstrem.

Regulasi Jadi Kunci

Yannes menegaskan, kunci agar perang harga ini tidak berubah menjadi 'race to the bottom' ada pada peran pemerintah. Regulasi perlu diarahkan untuk menciptakan kompetisi yang sehat dan berkelanjutan.

Beberapa aspek krusial yang dinilai perlu dikunci antara lain kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang riil, komitmen produksi lokal, standar minimal layanan purnajual, perlindungan konsumen terkait baterai, mulai dari garansi hingga daur ulang, serta konsistensi insentif yang berpihak pada industrialisasi, bukan semata volume impor.

“Kalau itu dijaga, perang harga mobil listrik justru bisa menjadi katalis menuju ekosistem EV Indonesia yang matang. Kalau tidak, ini bisa jadi bom waktu baru bagi sektor otomotif,” papar dia. (*)

Editor: Dinarsa Kurniawan

Tag:  #perang #harga #mobil #listrik #berkah #konsumen #hari #alarm #industri #otomotif #nasional

KOMENTAR