Soal Risiko ''AI Bubble'', Telkomsel Akan Lebih Cermat Investasi AI
Ilustrasi AI Bubble.(paddle.com)
19:18
16 Desember 2025

Soal Risiko ''AI Bubble'', Telkomsel Akan Lebih Cermat Investasi AI

Ringkasan berita:

  • AI Bubble merujuk pada lonjakan ekspektasi dan investasi AI yang berisiko tidak seimbang dengan manfaat nyata, namun dinilai wajar sebagai bagian dari siklus teknologi.
  • Telkomsel menilai kunci menghadapi AI Bubble adalah keseimbangan investasi dan monetisasi, dengan menghindari FOMO serta tidak gegabah belanja infrastruktur AI mahal.
  • Pendekatan Telkomsel fokus pada adopsi AI yang terukur, lewat kolaborasi, cloud, dan use case nyata, seiring pelaku industri Indonesia kini lebih berhati-hati belajar dari startup bubble.

– Belakangan, istilah "AI Bubble" menjadi buah bibir di tengah tren perkembangan teknologi kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI).

AI bubble merujuk pada situasi ketika perkembangan AI dipenuhi ekspektasi tinggi dan aliran dana besar-besaran, sehingga muncul kekhawatiran bahwa valuasi perusahaan serta skala investasi, tidak lagi seimbang dengan nilai atau manfaat nyata yang dihasilkan industri.

Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika pertumbuhan teknologi berlangsung sangat cepat dan membentuk "gelembung" ekonomi.

Jika ekspektasi tersebut tidak diiringi hasil nyata atau monetisasi yang jelas, gelembung tersebut berisiko "pecah" dan memicu reaksi negatif di industri AI.

Menurut Direktur Utama Telkomsel Nugroho, fenomena AI Bubble memang berpotensi terjadi dan belakangan menjadi isu global. Namun, ia menilai kondisi tersebut sebagai bagian yang wajar dari siklus perkembangan teknologi.

“AI itu seperti teknologi besar sebelumnya. Ada internet bubble, startup bubble, bahkan 3G bubble. Jadi kalau sekarang muncul potensi AI Bubble, itu sesuatu yang biasa dalam perkembangan teknologi,” ujar Nugroho di sela peluncuran AI Innovation Hub di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/12/2025).

Nugroho menjelaskan, AI Bubble biasanya muncul ketika investasi tidak seimbang dengan potensi monetisasi.

Karena itu, Telkomsel memilih pendekatan yang hati-hati dan terukur, alih-alih agresif mengejar tren atau terjebak fenomena fear of missing out (FOMO).

“Yang penting itu menjaga keseimbangan antara investasi dan monetisasi. Kalau tidak seimbang, maka risiko bubble sangat besar. Artinya, yang menjadi penentu bukan AI-nya, tetapi bagaimana perusahaan mengelola investasi dan adopsi AI secara rasional,” imbuh pria yang akrab disapa Nugie ini.

Direktur Utama Telkomsel, Nugroho (kanan) saat ditemui awak media
di sela acara peluncuran AI Innovation Hub di Institut Teknologi Bandung, Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/12/2025).KOMPAS.com/Bill Clinten Direktur Utama Telkomsel, Nugroho (kanan) saat ditemui awak media di sela acara peluncuran AI Innovation Hub di Institut Teknologi Bandung, Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/12/2025).

Lebih cermat dalam investasi AI

Dalam menyikapi AI Bubble, salah satu langkah konkret yang dilakukan Telkomsel adalah tidak gegabah melakukan investasi besar pada infrastruktur AI, seperti pembelian perangkat komputasi mahal, tanpa perhitungan pengembalian yang jelas.

Menurut Nugroho, perkembangan teknologi AI sangat cepat, sehingga investasi perangkat keras yang dilakukan terlalu dini berisiko menjadi tidak relevan dalam waktu singkat.

“Kalau kami investasi terlalu besar di awal, tapi teknologinya cepat berubah, maka pengembalian investasi (return on investment/ROI) akan sulit tercapai,” ungkap Nugie.

Sebagai gantinya, Telkomsel memilih pendekatan yang lebih terukur, antara lain melalui kolaborasi dengan mitra, pemanfaatan komputasi awan (cloud), serta implementasi AI berbasis kebutuhan nyata (use case driven).

Walaupun ancaman risiko AI Bubble nyata, Telkomsel menegaskan bahwa AI bukan teknologi yang bisa dihindari. Tantangannya bukan memilih antara AI atau tidak, melainkan mengadopsi AI secara matang dan berkelanjutan.

“Bukan berarti karena ada potensi bubble lalu AI tidak dibutuhkan. AI tetap penting, tapi harus diadopsi dengan perhitungan yang matang,” tutur Nugroho.

Selain mengungkap sikap perusahaan soal AI Bubble, Nugroho juga menggambarkan fenomena adopsi alias tren AI di Indonesia.

Nugroho menilai adopsi AI di sini relatif lebih terukur dibandingkan fase teknologi baru sebelumnya.

Pengalaman "pahit" pada era startup bubble, menurut dia, membuat pelaku industri kini lebih berhati-hati dalam berinvestasi, terutama dengan maraknya AI.

Tag:  #soal #risiko #bubble #telkomsel #akan #lebih #cermat #investasi

KOMENTAR