Video Kuliah Jensen Huang 14 Tahun Lalu Baru Kerasa ''Nendang'' Sekarang
– Pada tahun 2025 ini, rasanya hampir mustahil membuka laman berita teknologi tanpa melihat nama Nvidia. Perusahaan yang bermarkas di Santa Clara, AS, ini telah bermetamorfosis menjadi "dewa" baru di Silicon Valley.
Valuasinya yang menembus angka triliunan dollar AS, dominasinya yang nyaris absolut di pasar chip AI, dan antrean panjang perusahaan untuk mendapatkan stok GPU H100 atau Blackwell, adalah berita sehari-hari.
Sosok di baliknya, Jensen Huang, kini dipuja bak bintang rock. Jaket kulit hitamnya menjadi ikon, dan tanda tangannya di atas VGA card menjadi simbol status.
Namun, ada sebuah pengalaman menarik ketika kita melihat ke masa lalu. Baru-baru ini, algoritma YouTube saya menyodorkan sebuah video lawas di YouTube, rekaman kuliah umum Jensen Huang di Stanford University.
Videonya bertanggal 24 Juni 2011, berarti lebih dari 14 tahun yang lalu. Saat itu, Nvidia "hanyalah" perusahaan pembuat kartu grafis yang populer di kalangan gamer. Mereka sukses, ya, tapi belum menjadi perusahaan teknologi sebesar sekarang.
ChatGPT belum lahir, "AI generatif" belum menjadi kosa kata sehari-hari, dan saham Nvidia masih diperdagangkan di angka belasan dollar.
Menonton Jensen Huang versi 2011 berbicara, kita tidak melihat seorang "penjelajah waktu" yang tahu segalanya.
Kita melihat seorang CEO yang sedang bertarung mempertahankan relevansi. Namun, jika didengarkan dengan seksama pada tahun 2025, video berdurasi satu jam itu ternyata berisi blueprint atau cetak biru dari kekaisaran AI yang kita lihat hari ini.
Tidak punya visi
Satu hal yang paling mencolok dari video lawas tersebut adalah kerendahan hati Jensen terhadap kata "visi".
Pada era itu, di mana setiap pendiri startup berlomba-lomba meneriakkan visi mengubah dunia, Jensen muda justru menolaknya.
"Visi itu kata yang terlalu berat. Kata itu menyiratkan bahwa Anda tahu persis apa yang akan terjadi di masa depan, bahwa Anda punya bola kristal," ujarnya di hadapan mahasiswa Stanford saat itu.
Alih-alih visi, Jensen menawarkan konsep yang lebih sederhana, perspektif.
"Kami tidak punya visi. Kami punya perspektif bahwa grafis komputer akan menjadi media ekspresi paling penting," katanya.
Perbedaan ini krusial. Visi membuat perusahaan kaku, sementara perspektif membuat mereka adaptif.
Karena perspektif inilah, Nvidia tidak terjebak hanya melayani pasar gaming. Ketika mereka melihat bahwa chip grafis (GPU) ternyata jago melakukan perhitungan matematika paralel, mereka tidak membuang temuan itu. Mereka mengejarnya, meskipun saat itu belum ada pasarnya.
Inilah cikal bakal revolusi AI. Jensen tidak "meramalkan" AI. Dia hanya punya perspektif bahwa komputasi harus dipercepat (accelerated computing), dan dia bersiap di sana menunggu dunia mengejarnya.
Kantor pusat Nvidia di Santa Clara, California, Amerika Serikat.
Seni "memakan diri sendiri"
Momen paling mengejutkan dalam video tersebut adalah ketika Jensen membahas tentang keberanian untuk membunuh produk sendiri.
Pada 2011, Nvidia sudah menjadi raja fixed-function graphics (grafis dengan fungsi tetap). Namun, Jensen menyadari jalan buntu. Jika mereka terus di sana, mereka akan mati.
"Jika Anda tidak memakan (produk) Anda sendiri, orang lain yang akan melakukannya," tegas Jensen dalam video tersebut.
Ia menceritakan keputusan pentingnya mengubah arsitektur GPU menjadi programmable. Keputusan ini melahirkan CUDA pada tahun 2006, bahasa pemrograman yang memungkinkan GPU dipakai untuk hal selain pemrosesan grafis.
Investasi Nvidia di CUDA saat itu dianggap membebani keuntungan perusahaan. Wall Street skeptis. "Buat apa bikin chip grafis yang bisa diprogram? Orang cuma mau main game Crysis!" mungkin begitu pikir investor kala itu.
Namun, pada tahun 2025, kita tahu betapa jeniusnya langkah itu. Tanpa CUDA, para peneliti AI (termasuk tim awal OpenAI) tidak akan memiliki alat untuk melatih neural networks secara efisien.
Tanpa "pengorbanan" profit di masa lalu yang diceritakan Jensen di video itu, revolusi AI hari ini tidak akan terjadi di atas perangkat keras Nvidia.
Akrab dengan "hampir mati"
Melihat Nvidia yang sekarang begitu dominan, sulit membayangkan mereka pernah menjadi perusahaan yang rapuh. Namun, Jensen di tahun 2011 berbicara panjang lebar tentang kegagalan.
Ia menceritakan masa-masa awal Nvidia, saat produk pertama mereka yang dirilis pada 1995, NV1, gagal total karena bersikeras menggunakan teknologi Quadratic Texture Mapping (alih-alih Polygons yang kemudian jadi standar industri).
"Kami kehabisan uang. Kami punya cukup uang untuk 30 hari operasional," kenangnya.
Penyelamatnya? Sebuah keputusan nekat untuk membuang hampir semua ego, beralih ke standar industri, dan mengebut pengerjaan produk RIVA 128 (NV3) dalam waktu 6 bulan.
"Definisi startup adalah entitas yang selalu dalam kondisi hampir bangkrut," ujar Jensen.
Mentalitas ini, yang ia sebut sebagai "Intellectual Honesty" (kejujuran intelektual untuk mengakui kesalahan dengan cepat), rupanya terus dibawa hingga Nvidia menjadi raksasa.
Bahkan saat ini, di puncak kejayaan AI, Jensen sering berkata dalam wawancara terbaru bahwa ia masih bangun tidur dengan perasaan "cemas" bahwa perusahaannya bisa hancur.
CEO Nvidia, Jensen Huang memamerkan chip AI Blackwell buatan perusahaannya.
Pesan untuk masa depan
Di akhir video, seorang mahasiswa bertanya tentang masa depannya di Nvidia. Jensen menjawab setengah bercanda, "Saya ingin pekerjaan ini (CEO) sampai saya umur 80 tahun."
Saat itu, audiens tertawa. Itu terdengar seperti ambisi klise. Namun kini, ucapan itu terdengar seperti janji yang ditepati. Rambutnya kini telah memutih sepenuhnya, jaket kulitnya mungkin lebih mahal, tapi esensi pemikirannya tidak berubah.
Menonton video Jensen Huang tahun 2011 memberikan kita pelajaran berharga. Bahwa kesuksesan "semalam" yang dinikmati Nvidia saat ini adalah hasil dari akumulasi keputusan-keputusan menyakitkan yang diambil lebih dari satu dekade lalu.
Dunia melihat Nvidia hari ini sebagai pemenang lotere AI. Namun lewat video lawas ini, kita melihat bahwa mereka bukan sedang bermain lotere. Mereka sedang membangun bendungan, batu demi batu, selama 30 tahun, menunggu hujan turun.
Dan ketika hujan itu akhirnya turun dalam bentuk AI Booming, hanya Nvidia yang punya wadahnya.
Video itu ditutup dengan tepuk tangan mahasiswa Stanford. Mereka mungkin tidak sadar bahwa pria di panggung itu, satu dekade kemudian, akan menjadi orang yang menyediakan "otak" bagi komputer yang mungkin akan menggantikan pekerjaan mereka.
Berikut video Jensen Huang 14 tahun yang lalu berdurasi satu jam lebih yang wajib Anda tonton saat ini, https://www.youtube.com/watch?v=Xn1EsFe7snQ.
Tag: #video #kuliah #jensen #huang #tahun #lalu #baru #kerasa #nendang #sekarang