 53
                                        53                                    
                                 
                                             09:00
 09:00                                             31 Oktober 2025
 31 Oktober 2025                                            Peneliti Temukan Antivenom Baru Penangkal 17 Ular Mematikan
Para peneliti dari Technical University of Denmark (DTU) baru saja menemukan terobosan medis yang bisa menyelamatkan ribuan nyawa setiap tahun. Mereka berhasil menciptakan antivenom baru yang mampu melawan bisa dari 17 spesies ular berbisa paling mematikan di Afrika sub-Sahara, termasuk mamba hitam, kobra, dan rinkhals.
Temuan yang dipublikasikan di jurnal Nature ini dianggap sebagai langkah besar dalam dunia pengobatan gigitan ular, terutama bagi masyarakat pedesaan Afrika yang sering menjadi korban.
Setiap tahun, lebih dari 300 ribu kasus gigitan ular berbisa dilaporkan di wilayah tersebut, menyebabkan sekitar 7.000 kematian dan 10.000 amputasi.
Selama lebih dari 100 tahun, cara membuat antivenom hampir tidak berubah. Metode tradisional dilakukan dengan menyuntikkan bisa ular ke tubuh kuda, lalu mengambil antibodi dari plasma darahnya untuk dijadikan obat.
Meskipun cara ini telah menyelamatkan banyak nyawa, efek sampingnya bisa parah karena antibodi dari hewan bisa memicu reaksi alergi berat pada manusia.
"Antivenom tradisional memang efektif, tetapi banyak pasien mengalami syok akibat zat asing dari hewan yang masuk ke tubuh mereka," ujar Shirin Ahmadi, peneliti pengembangan antibodi dari DTU, mengutip dari The Scientist (29/10/2025).
Selain itu, jumlah antibodi yang benar-benar berguna di dalam obat biasanya kecil karena tercampur dengan antibodi lain yang tidak menetralkan racun.
![Ilustrasi ular kobra. [Unsplash/Hendrik Schlott]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/12/05/43023-ilustrasi-ular-kobra.jpg) PerbesarIlustrasi ular kobra. [Unsplash/Hendrik Schlott]
        
        
        
        
    PerbesarIlustrasi ular kobra. [Unsplash/Hendrik Schlott]Untuk mengatasi masalah itu, tim Ahmadi mengembangkan antivenom berbasis nanobody, yakni antibodi super kecil yang diambil dari llama dan alpaka. Hewan ini memiliki antibodi unik bernama camelid heavy-chain-only antibodies, yang hanya memiliki satu domain — jauh lebih sederhana, cepat bekerja, dan lebih stabil dibanding antibodi manusia atau kuda.
Penelitian dimulai dengan menyuntikkan bisa dari 18 spesies ular Afrika ke seekor llama dan seekor alpaka. Tubuh kedua hewan tersebut kemudian menghasilkan jutaan antibodi kecil, yang kemudian disaring dan diuji untuk melihat mana yang paling efektif menetralkan racun.
Hasilnya, tim menemukan delapan nanobody terbaik yang mampu melindungi tikus dari kematian akibat bisa 17 dari 18 spesies ular, kecuali mamba hijau timur (Dendroaspis angusticeps). Dalam uji laboratorium, kombinasi delapan nanobody ini bahkan mengungguli Inoserp PAN-AFRICA, antivenom komersial yang selama ini digunakan di banyak rumah sakit Afrika.
Lebih mengejutkan lagi, nanobody ini tidak hanya mencegah kematian akibat racun, tetapi juga mengurangi kerusakan jaringan yang biasanya menyebabkan amputasi.
"Beberapa tahun lalu, saya takkan percaya kalau sejumlah kecil antibodi bisa menetralkan racun dari begitu banyak spesies," kata Kartik Sunagar, peneliti racun ular dari Indian Institute of Science mengutip dari The Scientist (29/10/2025). "Namun hasil ini membuktikan bahwa hal itu sangat mungkin."
Keunggulan utama dari antivenom baru ini bukan hanya efektivitasnya, tetapi juga cara produksinya. Karena dibuat secara rekombinan di laboratorium (in vitro), produksi nanobody tidak lagi membutuhkan hewan besar seperti kuda dan bisa dilakukan dalam jumlah besar dengan biaya lebih murah.
Menurut Anne Ljungars, ahli bioteknologi dari DTU yang ikut dalam penelitian, nanobody memiliki kelebihan lain yang sangat penting. "Mereka kecil, stabil, dan tetap efektif bahkan di suhu tinggi, sehingga cocok untuk daerah tropis yang minim fasilitas penyimpanan dingin," demikian hasil temuannya.
Selain itu, risiko efek samping juga jauh lebih rendah karena nanobody memiliki imunogenisitas rendah, artinya lebih aman digunakan dan bahkan bisa diberikan sebelum gejala gigitan muncul, bukan setelah korban mulai menunjukkan tanda-tanda keracunan.
Meski hasil awalnya menjanjikan, antivenom baru ini masih perlu melalui uji klinis pada hewan besar dan manusia untuk memastikan efektivitas dan masa kerja obat di dalam tubuh. Ahmadi menyebut bahwa timnya juga berencana menyempurnakan formula agar lebih efisien.
Namun, tantangan terbesar saat ini bukanlah ilmiah, melainkan pendanaan. "Sulit mencari investor untuk penelitian seperti ini," ujar Andreas Hougaard Laustsen-Kiel, rekan peneliti DTU.
"Kebanyakan korban gigitan ular berasal dari daerah miskin dengan akses kesehatan terbatas, jadi secara bisnis, proyek ini memang tidak terlalu menarik bagi investor," tambahnya.
Meski demikian, semangat para peneliti tetap tinggi. Bagi Ahmadi, penelitian ini bukan sekadar eksperimen laboratorium, melainkan misi kemanusiaan. Ia bahkan mengaku menitikkan air mata saat pertama kali melihat hasil uji jaringan yang menunjukkan perbaikan signifikan pada tikus yang disuntik antivenom baru.
"Saya berteriak kegirangan di restoran saat melihat grafik hasilnya di ponsel saya," kenangnya sambil tertawa.
Jika kelak lolos uji klinis dan disetujui untuk penggunaan medis, antivenom dari llama dan alpaka ini bisa menjadi harapan baru bagi jutaan orang di dunia, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang rawan gigitan ular berbisa.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa
Tag: #peneliti #temukan #antivenom #baru #penangkal #ular #mematikan
 
             
             
             Berita Terbaru
Berita Terbaru Nasional
Nasional Internasional
Internasional Ekonomi
Ekonomi Sport
Sport Tekno
Tekno Sains
Sains Health
Health Hobi
Hobi Tokoh
Tokoh Food
Food Travel
Travel Lifestyle
Lifestyle 
                                             
                                             
                                             
                         09:00
 09:00                             31 Oktober 2025
 31 Oktober 2025                             
                         
                         
                         
                         
                        