Mengenang Buya Syakur, Ulama NU Kharismatik yang Lama Menuntut Ilmu di Timur Tengah dan Eropa
– Indonesia kembali kehilangan sosok ulama kharismatik. KH Syakur Yasin, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Cadangpinggan, Indramayu, Jawa Barat, tutup usia pada Rabu (17/1) sekitar pukul 02.00 WIB dini hari.
Ulama yang biasa disapa Buya Syakur menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Mitra Plumbon, Cirebon.
"Innalillahi wainna ilaihi raaji’un. Sampun kapundut dateng kersane Gusti Allah (telah dipanggil ke Rahmatullah) KH. Buya Syakur Yasin Cadangpinggan. Mugi Husnul Khatimah," demikian kata Kiai Rifqiel Asyiq yang dilansir NU Online.
Buya Syakur lahir di Kertasemaya, Indramayu, pada 2 Februari 1948. Dia merupakan anak dari dari pasangan KH. Moh Yasin Ibrohim dan Nyai Hj. Zaenab.
Lahir dari kalangan pendakwah membuat masa kecil Buya Syakur banyak dihabiskan di lingkungan pesantren, tempat ayah dan ibu nya mengasuh.
Pada 1960, Buya Syakur diminta secara pribadi oleh KH Sanusi untuk tinggal di Pesantrennya. KH Sanusi merupakan pengasuh pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.
Selama 12 tahun menuntut ilmu di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, di sana Buya Syakur berhasil menyelesaikan pendidikan formal, yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada 1963. Kemudian dilanjutkan dengan Pendidikan Guru Agama (PGA) pada 1966.
Keinginannya Untuk Menuntut Ilmu di Timur Tengah sampai ke Eropa
Setelah 12 tahun mengabdi di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, ditambah telah menamatkan pendidikan formal, membuat Buya Syakur ingin lebih memperdalam ilmu pengetahuannya di luar negeri.
Sebelum berangkat ke luar negeri, Buya Syakur melanjutkan mengaji pada Kiai Rumli di Tegalgubug untuk memperdalam ilmu mantiq dan balaghoh sesuai arahan sang ayah.
Di Tegalgubug, Buya Syakur fokus mendalami ilmu tentang memperkuat kerangka berpikir dan dapat mengimplementasikannya secara lisan maupun tulisan.
Setelah selesai menempuh pendidikan di pondok pesantren Babakan Ciwaringin dan Tegalgubug, Buya Syakur melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah pada 1971. Saat itu Buya mendapat beasiswa.
Iraq merupakan negara pertama yang dituju Buya Syakur untuk menuntut ilmu. Setahun berselang, Buya Syakur melanjutkan pendidikannya di Syria. Di sana Buya Syakur ditunjuk sebagai ketua PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia).
Dalam menyelesaikan S-1 di Syria, Buya Syakur menulis karya tentang kritik sastra objektif terhadap karya-karya novelis asal Mesir, Yusuf As-Siba'i.
Selesai pendidikan S-1, Buya Syakur melanjutkan petualangan ke Libya. Di sana dia mendalami ilmu Alquran dan kuliah jurusan sastra Arab sampai pada 1979. Di Libya, Buya Syakur pun didaulat menjadi ketua PPI Libya.
Pada 1979, Buya Syakur melanjutkan studi linguistik di Tunisia dan berhasil menuntaskannya pada 1981. Tak berhenti di situ, keinginannya belajar yang kuat akhirnya membawa dia ke Benua Biru. Buya Syakur melanjutkan studi tentang ilmu metodologi dan dialog tetris di London dan berhasil menyelesaikannya pada 1985.
Setelah kurang lebih 20 tahun mengenyam pendidikan akademik di Timur Tengah dan Eropa, akhirnya pada 1991 Buya Syakur kembali ke Tanah Air. Di Indonesia bersama dengan Gus Dur, Quraish Shihab, Nurcholis Madjid, dan Alwi Shihab mereka membentuk Forum Empati Club.
Tag: #mengenang #buya #syakur #ulama #kharismatik #yang #lama #menuntut #ilmu #timur #tengah #eropa