Food Estate Disebut Gagal, Dosen Universitas Brawijaya Berikan Penjelasan
- Guru besar bidang Sosiologi Pertanian Universitas Brawijaya, Mangku Purnomo, membeberkan sejumlah kesalahpahaman terkait food estate (lumbung pangan).
Pertama, sebut dia, manfaat food estate tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat. Ia menilai, pihak yang menyebut food estate tidak sukses karena gagal panen satu kali, merupakan orang yang tidak paham pertanian.
“Evaluasi baru bisa dilakukan setelah minimal tiga kali siklus panen,” kata Mangku Purnomo dalam siaran pers yang TKN Prabowo-Gibran kirimkan kepada Kompas.com, Rabu (17/1/2024).
Dia menjelaskan, manfaat food estate bisa dirasakan paling tidak dalam tiga tahun, ketika semua infrastruktur, seperti irigasi, gudang pengolahan, jalanan ke sentra produksi, hingga jalanan ke pusat industri, sudah bagus.
“Tapi kalau membangunnya dari awal, setidaknya butuh lima tahun," imbuhnya.
Mangku menjelaskan bahwa food estate bukan sekadar pembebasan lahan dan membangun pertanian. Inti utamanya adalah bagaimana hektaran tanah pertanian bisa dikelola secara terpadu oleh pihak tertentu.
“Food estate juga harus diperluas definisinya, tidak selalu diartikan membuka lahan baru, tapi juga kemampuan agregasi produksi. Artinya, jika ada perusahaan yang mampu mengagregasi dan mengatur manajemen untuk produksi pangan sekitar ribuan ton, itu bisa disebut food estate,” papar dia
Peraih gelar doktor dari Gottingen University Jerman itu menambahkan, tujuan utama dari food estate adalah menjaga pasokan pangan di dalam negeri.
Hasil pertanian dari food estate hanya dikeluarkan saat ada kejadian tertentu, seperti untuk menjaga inflasi, menghindari kelangkaan, atau distribusi di tempat bencana.
Dengan demikian, lanjut dia, hasil dari lumbung pangan tidak akan merusak harga pasar atau mengganggu kesejahteraan petani.
“Food estate sebagai upaya menjaga pasokan itu menjadi keniscayaan, fokusnya adalah cadangan pangan. Produk food estate seharusnya tidak masuk pasar umum pangan. Jadi untuk nonkomersial, karena tidak bisa langsung berhasil dari sisi teknis agronomis,” papar Mangku.
Mangku pun mengingatkan semua pihak untuk membedakan food estate dengan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Pasalnya, dalam PIR, modal dan tanah menjadi tanggung jawab perusahaan.
"Kalau food estate integrasi pertanian, jadi petani bisa menyetor atau tidak tinggal disesuaikan bentuk kerja samanya,” sambung Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu.
Perdebatan lain di masyarakat adalah soal mana yang lebih diuntungkan antara food estate dengan contract farming. Menurut Mangku, dua hal itu bisa diintegrasikan dan tidak seharusnya dipertentangkan.
“Food estate konsepnya mass food product. Contract farming adalah interaksi ekonominya. Jika saya kaitkan, maka bisa diintegrasikan antara food estate dengan petani melalui contract farming. Food estate lebih realistis karena nyatanya kita butuh site baru, tetapi terkoneksi dengan pertanian rakyat,” papar dia.
Kemudian, persoalan lainnya adalah relasi antara food estate dengan petani. Wacana yang beredar adalah food estate akan mengganggu keberlangsungan petani tradisional.
Sebaliknya, Mangku menjelaskan, program yang digagas di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut justru bisa meningkatkan kesejahteran petani.
“Food estate justru bisa jadi penggerak kesejahteraan dan inti pertumbuhan. Jika membuka lahan baru, maka petani-petani sekitar harus diintegrasikan dengan food estate. Jika itu bisa dilakukan, maka mereka akan lebih sejahtera. Yang kita butuhkan sekarang adalah roadmap food estate yang lebih detail,” papar dia.
Lebih lanjut, Mangku mengapresiasi kebijakan yang dikomandoi oleh Prabowo Subianto yang berusaha mewujudkan swasembada pangan di Indonesia.
“Swasembada bukan sekadar realistis atau tidak, tapi kewajiban. Apa pun upaya harus dilakukan kalau kita masih ingin Indonesia ini ada. Oleh karena itu, kita harus pisahkan fungsi food estate dengan pertanian rakyat. Yang satu fokus pada stok nasional atau cadangan dan satu lagi market-based,” ungkapnya.
Tag: #food #estate #disebut #gagal #dosen #universitas #brawijaya #berikan #penjelasan