Neoliberalisme Pendidikan, PTN Jadi PTNBH dan Didorong ''Berbisnis'' Menghasilkan Profit Sebesar-Besarnya
Plt Sekretaris Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek Tjitjit Sri Tjahjandarie (tengah) menjelaskan soal polemik UKT di Jakarta (16/5). Hilmi Setiawan/Jawa Pos
11:16
18 Mei 2024

Neoliberalisme Pendidikan, PTN Jadi PTNBH dan Didorong ''Berbisnis'' Menghasilkan Profit Sebesar-Besarnya

– Belum juga ada solusi soal kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang meroket, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah kembali menuai sorotan. Kritik disampaikan sejumlah pihak lantaran pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie soal pendidikan tinggi (PT) yang disebut pendidikan tersier.

Dalam temu media baru-baru ini, Tjitjik menyebut PT adalah tertiary education, bukan wajib belajar. Karena itu, tidak semua lulusan SMA dan SMK wajib masuk PT.

Pemerintah, kata dia, fokus untuk memprioritaskan pendanaan pada pendidikan wajib 12 tahun. Perguruan tinggi tidak masuk prioritas karena masih tergolong pendidikan tersier. Kendati begitu, dia mengklaim bahwa pihaknya tetap memberikan pendanaan pada PT melalui bantuan operasional PTN (BOPTN).

Tapi, lanjut dia, besarannya tidak menutup biaya kuliah tunggal (BKT). Hingga akhirnya, sisanya dibebankan pada uang kuliah tunggal (UKT). Itu pun disesuaikan dengan kemampuan ekonominya. ”Ini sebenarnya secara prinsip bukan kenaikan UKT, tapi penambahan kelompok UKT,” katanya.

Atas pernyataan tersebut, pemerhati pendidikan dari Vox Point Indonesia Indra Charismiadji sangat menyayangkannya. Menurut dia, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Kemendikbudristek seolah lepas tangan dari ketidakmampuannya mengelola sistem pendidikan.

”Jadi, walaupun pendidikan tinggi bukan bagian dari wajib belajar, tidak tepat jika pemerintah punya pemikiran untuk berdagang layanan pendidikan dengan rakyatnya sendiri,” ujarnya kemarin.

Apalagi, anggaran pendidikan yang dikucurkan mencapai Rp 665 triliun setiap tahun. ”Sekarang kuliah mahal dan bahkan tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah. Sedih juga punya pejabat yang tidak sadar bahwa kebijakannya itu melanggar HAM,” ungkapnya.

Mengingat, di artikel 26 Deklarasi HAM dikatakan bahwa akses pendidikan tinggi harus terbuka berdasar meritokrasi. Artinya, berdasar prestasi dan kinerja, bukan karena uang.

Di sisi lain, lanjut dia, fakta bahwa pendapatan per kapita masyarakat Indonesia hanya Rp 75 juta per tahun tentu akan menyulitkan jika harus membayar iuran pengembangan institusi (IPI) atau uang pangkal di atas Rp 75 juta. Belum lagi ditambah UKT yang di atas Rp 20 juta per semester.

”Pemerintah boleh berdalih bahwa ada KIP kuliah untuk masyarakat miskin. Yang jadi masalah adalah masyarakat berpenghasilan menengah yang tidak mungkin bisa membayar biaya kuliah anak-anaknya,” katanya.

Sebab, anak dari orang tua dengan kondisi ekonomi menengah itu tidak bisa menjangkau beasiswa yang disediakan Kemendikbudristek. Sementara itu, mereka pun tidak cukup mampu jika harus membayar kenaikan UKT yang mahal. Belum lagi ditambah biaya pendukung kuliah lainnya. Misalnya, uang makan dan kos.

Indra pun kembali menyebut bahwa pola pikir pembuat kebijakan dalam mengelola pendidikan adalah dengan mekanisme pasar alias neoliberalisme. PTN didorong berstatus PTNBH dan diharapkan bisa ”berbisnis” serta mencari profit setinggi-tingginya. Dengan begitu, subsidi pemerintah berkurang. ”Ini yang saya sebut neoliberalisme pendidikan,” ungkapnya. (mia/ann/c19/ttg)

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #neoliberalisme #pendidikan #jadi #ptnbh #didorong #berbisnis #menghasilkan #profit #sebesar #besarnya

KOMENTAR