KPK: Pengajuan JR Alexander Marwata ke MK Sikap Pribadi, Tak Mewakili Lembaga
Hal itu tidak mewakili KPK secara kelembagaan.
"Sepanjang pengetahuan saya, proses pengajuan itu dilakukan secara pribadi, bukan atas nama lembaga," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Sabtu (9/11/2024).
Tessa tidak bisa berkomentar lebih jauh terkait pengajuan uji materi yang dilakukan Alex Marwata ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena langkah itu merupakan sikap pribadi.
Jubir berlatar belakang pensiunan Polri ini meminta publik memantau prosesnya saja di MK.
"Belum bisa saya komentari, kembali lagi, karena bukan menjadi ranah lembaga di situ, walaupun beliau merupakan wakil ketua, nanti kita tunggu saja apakah diterima atau tidak, atau hasilnya nanti di Mahkamah Konstitusi seperti apa," katanya.
"Ya KPK tentunya berharap yang terbaik, apa pun hasil dari Mahkamah Konstitusi itu yang terbaik untuk negara ini, untuk lembaga ini dan negara ini," imbuhnya.
Diberitakan, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengajukan JR ke MK terkait norma Pasal 36 huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Selain dia, ada dua pegawai KPK, yakni Lies Kartika Sari selaku auditor muda KPK dan Maria Fransiska selaku pelaksana pada unit sekretaris pimpinan KPK yang mengajukan JR ke MK. Mereka mengajukan uji materi terkait norma Pasal 37 UU KPK.
Menurut Alex, dua pasal dimaksud bisa dijadikan pihak-pihak luar untuk mengkriminalisasi pimpinan dan pegawai.
Alex mengatakan bahwa rumusan pasal itu tidak jelas, sekalipun dalam penjelasan UU KPK dinyatakan cukup jelas.
Ketidakjelasan itu lantaran adanya batasan yang tidak pasti di dalam normal Pasal 36 huruf a UU KPK. Selain itu, juga banyak kejanggalan di norma pasal yang dimaksud.
"Apa urgensinya? Pasal itu bagi kami (pimpinan dan pegawai, red) bisa dijadikan alat untuk mengriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK," kata Alex kepada wartawan, Jumat (8/11/2024).
Adapun Pasal 36 huruf (a) UU KPK diketahui berbunyi: "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun."
"UU menyebutkan dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara, dengan alasan apa pun," kata Alex.
"Kalau dengan tersangka sudah jelas perkara sudah di tahap penyidikan dan tersangka sudah ada. Tapi pihak lain itu siapa? Batasan perkara itu di tahap apa? Dengan alasan apa pun itu apa maknanya? Kalau tidak ada penjelasannya bisa jadi penerapannya pun akan semau-maunya penegak hukum," imbuh pimpinan KPK berlatar belakang hakim ini.
Alex kemudian mempertanyakan penafsiran frasa "dengan alasan apa pun" di dalam Pasal 36 huruf a tersebut dalam rangka melakukan tugas sebagai pimpinan KPK.
"Bagaimana kalau dalam rangka melaksanakan tugas? Bagaimana kalau pertemuan/komunikasi dilakukan dengan iktikad baik atau misalnya pada saat bertemu tidak tahu status orang yang ditemui?" ujar Alex.
"Kalau tanpa pengecualian berarti bertemu di kondangan pun bermasalah, sekalipun tidak ada hal penting yang dibahas," lanjutnya.
Alex menilai, mestinya ada penjelasan konteks pertemuan yang dimaksud di dalam pasal tersebut.
Semisal, yang mengakibatkan munculnya konflik kepentingan atau terhambatnya penanganan perkara di KPK.
Lebih lanjut, Alex pun menyebut bahwa hanya aparat penegak hukum yang tak memahami esensi dari dua pasal yang digugatnya bersama pegawai KPK tersebut.
Sehingga, lanjut dia, justru menilai pertemuan dengan setiap orang yang berurusan dengan lembaga antirasuah sebagai perbuatan pidana.
"Pasal 36 dan 37 merupakan ranah etik untuk menjaga integritas insan KPK dan marwah KPK. Jadi, sebelum ke pidana mestinya dilihat apakah ada pelanggaran kode etik," kata Alex.
Alex menyebut, permohonan uji materi itu diajukan juga untuk pimpinan saat ini dan yang akan datang. Termasuk, juga untuk insan KPK secara keseluruhan.
"Jangan ada keraguan sedikit pun dalam memaknai pasal undang-undang oleh penegak etik maupun penegak hukum. Selain itu, juga supaya ada perlakuan yang sama antarpenegak hukum," ujar dia.
Oleh karena itu, Alex berpendapat bahwa perlakuan yang diterima insan KPK justru berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya.
"Larangan bertemu/berkomunikasi dengan pihak beperkara hanya berlaku untuk insan KPK, tapi aparat penegak hukum yang lain tidak ada masalah ketika pimpinannya bertemu dengan pihak yang berperkara. Ini tidak adil dan diskriminatif," kata dia.
Di samping itu, ia sepakat jika pertemuan atau komunikasi yang dilakukan dengan pihak beperkara dapat menimbulkan konflik kepentingan mesti disanksi etik maupun pidana.
"Apalagi jika hubungan atau komunikasi yang dilakukan para pihak mendapat keuntungan atau manfaat," kata Alex.
Adapun terkait penerapan norma Pasal 36 huruf a UU KPK yang dianggap tidak berkepastian hukum itu, dalam gugatannya ia meminta MK perlu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi.
"Atau memaknai Pasal 36 dengan 'Pasal 36: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: (a) mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau yang mewakilinya dengan maksud untuk meringankannya'," sebut Alex.
Disinyalir permohonan uji materi yang diajukan Alex Marwata berkaitan dengan diusutnya pertemuan dia dengan mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto oleh Polda Metro Jaya.
Eko merupakan pihak beperkara di KPK. Ia telah divonis selama enam tahun penjara karena melakukan praktik gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Eko disebut menerima uang dari para pengusaha dengan total nilai Rp 23,5 miliar lebih selama menjabat.
Tag: #pengajuan #alexander #marwata #sikap #pribadi #mewakili #lembaga