Memaknai Pernyataan Megawati ''Orde Baru Akhirnya Juga Jatuh''
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri memberikan pidato dalam HUT ke-51 PDI-P di Jakarta, Rabu (10/1/2024).(tangkapan layar YouTube PDI Perjuangan)
11:52
12 Januari 2024

Memaknai Pernyataan Megawati ''Orde Baru Akhirnya Juga Jatuh''

JUDUL esai ini mengutip pernyataan Megawati Soekarnoputri saat berpidato dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-51 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpinnya.

“Maaf beribu maaf, toh Orde Baru akhirnya juga jatuh,” kata Megawati (Kompas.com, 10/01/2024).

Saya berusaha menyimak dengan baik pidato Presiden RI ke-5 itu. Saya menduga berisi hal-hal substansial terkait dengan perpolitikan Tanah Air menjelang Pemilu 2024. Baik yang ditujukan kepada kader-kader PDIP maupun kalangan lain.

Baru yang ke-51 ini HUT PDIP tak dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang notabene kadernya. Sejak Jokowi berhasil diantarkan menjadi presiden oleh PDIP, ia selalu hadir saat HUT partai politik (parpol) asuhan Megawati itu.

Meski ada alasan resmi (karena sedang kunjungan luar negeri), ketidakhadiran Jokowi menegaskan posisi politik mutakhir Jokowi dan PDIP. Tak lain penegasan titik pisah.

Kita tahu titik pisah Jokowi dan PDIP terjadi menyusul pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto.

Sementara itu, PDIP mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) yang berpasangan dengan Mahfud MD sebagai cawapres.

Tentu saja posisi politik mutakhir itu akan menjadi materi penting bagi Megawati. Baik buat kader-kadernya maupun bangsa Indonesia pada umumnya.

Saya membaca banyak kritik-reflektif dilontarkan Megawati pada pidato HUT PDIP ke-51. Mengritik tindakan politik yang dianggap tidak patut, seperti mempermainkan hukum untuk meraih kekuasaan.

Sekaligus mengingatkan bahwa kekuasaan itu tidak langgeng. Mengingatkan bahwa performa PDIP hingga 51 tahun bukan kerja elitis oleh seseorang (presiden atau menteri) melainkan berkat kecintaan akar rumput (rakyat) yang dicapai melalui kerja keras para kader. Bukan tiba-tiba PDIP menjadi seperti hari ini, melainkan bercucuran keringat.

Maka, saya membaca, lebih dari sekadar pidato politik ketua umum parpol, pidato pada HUT PDIP ke-51 itu terkesan sebagai pidato seorang “guru bangsa”.

Bukan sekadar kritik, tapi berisi petuah penting dari hasil refleksi atas pengalaman panjang Megawati menggeluti dunia politik dan kekuasaan.

Proses panjang itu bukan mulus-mulus saja, meski menyandang status anak Bung Karno (presiden pertama), melainkan justru statusnya sebagai anak Bung Karno membuat jalannya terjal berliku, banyak tikungan tajam, dan naik-turun.

Petuah-petuah itu bukan hanya buat para kader PDIP untuk menghadapi Pemilu 2024, tapi tak kalah penting justru buat bangsa Indonesia.

Lebih khusus lagi buat para elite politik, pemegang kekuasaan di lembaga-lembaga negara, tak terkecuali TNI, Polri, ASN, penyelenggara pemilu, yang sebagian besar adalah generasi yang melewati sejarah politik Indonesia episode “tumbangnya Orde Baru”.

Megawati punya bahan dan hak menyampaikan kritik dan petuahnya. Ia adalah politikus paling senior saat ini.

Ia melewati tahun-tahun akhir pemerintahan ayahandanya, Bung Karno. Megawati mengikuti secara aktif dan penuh zaman Orde Baru (rezim Soeharto), dan mengalaminya secara aktif dan penuh era reformasi hingga menjelang Pemilu 2024.

Bahkan Megawati merupakan sosok penting saat Soeharto berkuasa hingga Soeharto tumbang dan berlanjut di era reformasi. Parpol asuhannya memenangi pemilu pertama era reformasi.

Maka, sangat masuk akal bila kritik dan petuahnya direfleksikan secara historis dengan menyatakan: “Maaf beribu maaf, toh Orde Baru akhirnya juga jatuh.”

Buat saya, pernyataan tersebut mendalam sekali. Bukan tuduhan terhadap praktik kekuasaan hari ini yang diidentifikasi mirip Orde Baru, melainkan “jasmerah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) banget.

Apalagi Megawati tahu bahwa sebagian besar pelaku politik hari ini adalah orang-orang yang turut mengalami proses politik akhir Orde Baru. Baik saat itu sudah menjadi pelaku maupun sekadar penonton.

Bagi generasi yang melewati masa-masa Orde Baru, mestinya tak ingin melihat Indonesia kembali pada masa kelam itu.

Sungguh kelam, karena itu reformasi bertekat membuang jauh praktik politik ala Orde Baru, menyingkirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi penyakit kronis Orde Baru.

Orde Baru dikenal totalitarian. Kekuasaannya masuk ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Bukan hanya ranah politik, ranah kebudayaan pun dicengkeramnya.

Tak ada ruang publik yang luput dari pengawasan rezim penguasa. Kampus disterilisasi dari ide-ide kritis melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Kekuasaan benar-benar sentralistik di tangan Presiden Soeharto. Tak terbagi, tak terbatasi.

Ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tapi semata-mata stempel kehendak presiden. Seluruh lembaga negara dan organisasi kemasyarakatan dalam hegemoninya.

Hukum mengikuti kehendak kekuasaan. Bahkan bahasa ditata sedemikian rupa. Tak ada kalimat “Harga BBM naik” pada zaman Orde Baru. Kalimat itu harus dieufemismekan menjadi “Harga BBM disesuaikan.”

Begitu kuatnya kekuasaan Orde Baru nyaris tak terprediksi akan runtuh. Soeharto boleh jadi tak pernah menduga akan dijatuhkan.

Hal itu tampak dari pelaksanaan Pemilu 1997. Seperti Pemilu sebelumnya, tak ada lawan politik. Tak ada aspirasi lain. Hanya satu aspirasi: Soeharto terpilih kembali sebagai presiden.

Dan, benar, Sidang Umum (SU) MPR 1998 hasil Pemilu 1997 menetapkan kembali Soeharto sebagai presiden secara aklamasi.

Namun, tragis dan ironis, dua bulan kemudian, tepatnya Mei 1998, Soeharto dipaksa mengundurkan diri dari jabatan yang telah didudukinya selama 32 tahun.

Isu KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) berhembus kencang bersamaan dengan krisis ekonomi. Pemerintah Orde Baru kehilangan kontrol dan legitimasi.

Ujungnya Presiden Soeharto terpaksa mengudurkan diri pada Mei 1998. Meski baru ditetapkan secara aklamasi oleh MPR pada SU MPR Maret 1998.

Saya membaca pernyataan Megawati “Maaf beribu maaf, toh Orde Baru akhirnya juga jatuh” bermaksud mengingatkan sekaligus ajakan. Mestinya pengalaman kelam masa Orde Baru tersebut tak terulang kembali pada Indonesia masa depan.

Ia mengritik keras rekayasa hukum untuk melanggengkan kekuasaan. Ia juga mengecam cara-cara kekerasan dan intimidasi. Apalagi dilakukan aparat negara.

Tak seharusnya kekuasaan dibiarkan semaunya. Kekuasaan harus dibatasi dan dibagi. Kekuasaan harus dilembagakan melalui pranata hukum.

Prinsip negara demokrasi itulah yang seharusnya sama-sama dijunjung tinggi oleh para pelaku politik.

Dari pidato pada HUT PDIP ke-51 tersebut, saya melihat, Megawati konsisten sebagai sosok politikus yang lebih dekat pada model rasionalitas substantif dalam perspektif Weber. Politik dihayati sebagai pelaksanaan prinsip keyakinan dan pencapaian idealisme.

Jalan politik dipahami sebagai jalan pelayanan dan pengabdian kepada rakyat, bangsa dan negara. Bukan sekadar pragmatisme memperoleh kekuasaan.

Nilai-nilai substantif dan etika tak boleh direduksi sekadar alat maksimalisasi perolehan kekuasaan.

Maka, menjadi politikus adalah bekerja demi publik, demi kebaikan bersama, bukan pribadi, bukan keluarga, bukan pula kelompok. Ada keteladanan dan etika yang berimplikasi pada pendidikan politik.

Suatu kritik-reflektif dan petuah yang mencerahkan, namun tak mudah. Sungguh ujian, terutama bagi PDIP.

Tag:  #memaknai #pernyataan #megawati #orde #baru #akhirnya #juga #jatuh

KOMENTAR