Saat Negara Minta Dipahami: Komunikasi Kekuasaan di Tengah Bencana
Foto udara warga menyeberangi sungai dengan jembatan darurat di wilayah Tenge Besi, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Sabtu (20/12/2025). Akses warga pejalan kaki masih harus melintasi jembatan darurat dari batang kayu dan kendaraan roda dua harus menyeberangi arus sungai saat debit air surut, sementara roda empat tidak dapat melintas, akibat jalan dan jembatan penghubung antara Bener Meriah menuju Takengon, Kabupaten Aceh Tengah putus diterjang banjir bandang pa
14:22
23 Desember 2025

Saat Negara Minta Dipahami: Komunikasi Kekuasaan di Tengah Bencana

BENCANA selalu menghadirkan dua jenis krisis sekaligus: krisis kemanusiaan dan krisis kepercayaan.

Ketika banjir, longsor, dan kerusakan infrastruktur melanda berbagai wilayah di Sumatera, penderitaan warga menjadi kenyataan paling nyata.

Namun, bersamaan dengan itu, muncul pula krisis lain yang tak kalah serius: bagaimana negara berbicara kepada warganya di saat darurat, dan bagaimana kekuasaan merespons kritik yang lahir dari pengalaman konkret masyarakat terdampak.

Dalam beberapa hari terakhir, publik mencermati pernyataan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Teddy Indra Wijaya yang meminta masyarakat “memahami” bahwa pemerintah sudah bekerja sejak hari pertama dalam menangani bencana.

Pernyataan ini diperkuat Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Maruli Simanjuntak yang menegaskan bahwa prajurit TNI bekerja siang dan malam, bahkan dengan risiko kehilangan nyawa.

Kritik dan pemberitaan negatif dinilai tidak adil dan berpotensi melemahkan semangat di lapangan.

Secara normatif, tidak ada yang keliru dari pernyataan tersebut. Negara memang wajib hadir. Aparat memang bekerja keras. Banyak personel mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa.

Namun, persoalan sesungguhnya bukan pada apakah negara bekerja atau tidak, melainkan bagaimana negara memilih berbicara tentang kerjanya, dan apa makna komunikasi semacam itu dalam sistem demokrasi.

Di sinilah pentingnya analisis kritis: bukan untuk meniadakan kerja negara, tapi untuk membaca makna politik di balik bahasa kekuasaan yang digunakan dalam situasi krisis.

Negara, bahasa, dan permintaan untuk “dipahami”

Permintaan agar masyarakat “memahami” bahwa pemerintah sudah bekerja merupakan bentuk komunikasi politik yang sangat khas.

Ia menempatkan negara sebagai subjek aktif yang bekerja, dan publik sebagai pihak yang diharapkan bersikap empatik, sabar, serta menahan kritik.

Dalam bahasa lebih sederhana: negara meminta kepercayaan, bahkan sebelum semua pertanyaan terjawab.

Dalam teori komunikasi politik, ini dikenal sebagai framing legitimasi—upaya untuk menegaskan bahwa kekuasaan sedang dijalankan secara benar dan layak mendapat dukungan moral.

Dalam situasi bencana, framing semacam ini sering digunakan untuk menjaga stabilitas, meredam kepanikan, dan mencegah delegitimasi negara.

Namun, masalah muncul ketika framing ini secara implisit menggeser kritik menjadi seolah-olah bentuk ketidakmengertian, ketidaksabaran, atau bahkan ketidakadilan publik terhadap negara.

Kritik tidak lagi dibaca sebagai masukan, melainkan sebagai gangguan terhadap kerja yang sedang berlangsung.

Padahal, dalam demokrasi, kritik publik—terutama dalam situasi krisis—bukanlah gangguan, melainkan mekanisme koreksi.

Pernyataan KSAD yang menekankan kerja keras prajurit TNI, lengkap dengan kisah pengorbanan dan korban jiwa, menghadirkan dimensi emosional yang sangat kuat.

Narasi ini efektif, menyentuh, dan secara moral sulit dibantah. Siapa yang berani mengkritik di tengah cerita tentang tentara yang gugur saat menolong korban bencana?

Di sinilah kita perlu berhati-hati. Bukan karena narasi itu salah, melainkan karena emosi dapat menjadi alat politik yang sangat ampuh.

Ketika kerja aparat dihadirkan dalam bingkai kepahlawanan, kritik terhadap sistem penanganan bencana berisiko dianggap sebagai serangan terhadap para pahlawan itu sendiri.

Padahal, kritik publik umumnya tidak ditujukan kepada prajurit yang bekerja di lapangan, melainkan kepada desain kebijakan, sistem koordinasi, prioritas anggaran, dan kecepatan pengambilan keputusan di level struktural.

Mengaburkan perbedaan ini berbahaya, karena ia menciptakan kesan seolah-olah mengkritik kebijakan sama dengan tidak menghargai pengorbanan aparat.

Dalam studi ilmu politik dan sosiologi kekuasaan, ini disebut sebagai moral shielding—penggunaan nilai-nilai moral luhur untuk melindungi kebijakan atau institusi dari evaluasi kritis.

Antara kerja nyata dan pengalaman warga

Prajurit TNI membersihkan Masjid Pesantren Islam Terpadu Darul Mukhlishin yang digenangi lumpur dan tertimbun puing kayu di Desa Tanjung Karang, Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (19/12/2025). Berdasarkan data sementara posko tanggap darurat bencana hidrometeorologi Aceh pada 18 Desember 2025 menyebutkan sebanyak 287 tempat ibadah yang tersebar di 16 kabupaten/kota tergenang lumpur dan rusak akibat bencana alam akhir November lalu. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra Prajurit TNI membersihkan Masjid Pesantren Islam Terpadu Darul Mukhlishin yang digenangi lumpur dan tertimbun puing kayu di Desa Tanjung Karang, Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (19/12/2025). Berdasarkan data sementara posko tanggap darurat bencana hidrometeorologi Aceh pada 18 Desember 2025 menyebutkan sebanyak 287 tempat ibadah yang tersebar di 16 kabupaten/kota tergenang lumpur dan rusak akibat bencana alam akhir November lalu. Pemerintah bisa saja benar ketika mengatakan bahwa ribuan personel telah dikerahkan, logistik telah disalurkan, dan koordinasi nasional telah dilakukan.

Semua itu mungkin valid secara administratif dan statistik. Namun, pengalaman warga terdampak sering kali hidup di ruang berbeda.

Bagi warga yang masih terisolasi, belum menerima bantuan, kehilangan rumah dan mata pencaharian, narasi tentang “negara sudah bekerja” terdengar abstrak. Yang mereka alami bukan data, melainkan antrean, keterlambatan, kekurangan, dan ketidakpastian.

Di sinilah letak jurang klasik antara logika birokrasi dan realitas sosial. Ketika negara berbicara dari sudut pandang sistem, publik berbicara dari sudut pandang pengalaman.

Konflik komunikasi muncul bukan karena salah satu sepenuhnya keliru, tetapi karena keduanya tidak bertemu dalam bahasa yang sama.

Permintaan agar publik “memahami” sering kali gagal menjembatani jurang ini, karena ia bergerak satu arah: dari negara ke warga.

Yang dibutuhkan justru komunikasi dua arah, di mana keluhan publik diakui sebagai data sosial yang sah, bukan sebagai gangguan opini.

Pernyataan yang meminta media untuk lebih menonjolkan kerja pemerintah dan tidak “memperbesar kekurangan” juga patut dikritisi.

Media bukan humas negara, melainkan institusi publik yang memiliki mandat etis untuk menyampaikan realitas secara utuh—baik keberhasilan maupun kegagalan.

Dalam demokrasi, media berfungsi sebagai penyalur suara warga yang tidak selalu terdengar di ruang kekuasaan.

Ketika media mengangkat kritik atau kekurangan dalam penanganan bencana, itu bukan berarti meniadakan kerja negara, melainkan menjalankan fungsi kontrol sosial.

Membatasi kritik atas nama stabilitas justru berpotensi menciptakan ilusi keberhasilan, yang pada akhirnya merugikan negara itu sendiri.

Tanpa kritik, kebijakan tidak diperbaiki. Tanpa evaluasi terbuka, kesalahan berulang. Dan tanpa transparansi, kepercayaan publik justru terkikis perlahan.

Bencana dan watak kekuasaan

Menko PMK Pratikno (tengah), Mendagri Tito Karnavian (kedua kiri), Mensesneg Prasetyo Hadi (kedua kanan), Seskab Teddy Indra Wijaya (kanan), Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kiri) menyampaikan keterangan terkait penanganan bencana Sumatera di Posko Terpadu Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/12/2025). Dalam keterangan pers tersebut pemerintah memaparkan perkembangan penanganan bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh dengan akses transportasi mulai pulih, layanan dasar berangsur normal, dan pemerintah memastikan akan terus bekerja keras dalam menganggulangi dampak bencana tesebut.ANTARA FOTO/Galih Pradipta Menko PMK Pratikno (tengah), Mendagri Tito Karnavian (kedua kiri), Mensesneg Prasetyo Hadi (kedua kanan), Seskab Teddy Indra Wijaya (kanan), Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kiri) menyampaikan keterangan terkait penanganan bencana Sumatera di Posko Terpadu Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/12/2025). Dalam keterangan pers tersebut pemerintah memaparkan perkembangan penanganan bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh dengan akses transportasi mulai pulih, layanan dasar berangsur normal, dan pemerintah memastikan akan terus bekerja keras dalam menganggulangi dampak bencana tesebut.Setiap bencana adalah cermin yang memperlihatkan watak terdalam rezim. Bukan hanya soal kecepatan respons, tetapi juga soal kerendahan hati politik.

Negara yang matang secara demokratis tidak alergi terhadap kritik, bahkan di saat krisis. Ia mampu mengatakan: “Kami bekerja keras, tetapi kami belum sempurna. Kritik Anda sah, dan akan kami dengarkan.”

Sebaliknya, negara yang mudah tersinggung oleh kritik cenderung melihat ketidakpuasan publik sebagai ancaman, bukan sebagai peringatan dini.

Dalam jangka panjang, sikap semacam ini berbahaya, karena memutus hubungan dialogis antara negara dan warga.

Meminta publik untuk memahami negara tanpa upaya serius untuk memahami publik adalah komunikasi sepihak. Ia mungkin efektif secara jangka pendek, tetapi rapuh dalam jangka panjang.

Komunikasi publik dalam situasi bencana seharusnya tidak dibangun di atas dikotomi “negara bekerja” versus “publik mengkritik”. Keduanya bisa berjalan bersamaan. Negara bisa bekerja keras, dan publik tetap berhak mengkritik.

Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma: dari komunikasi defensif menuju komunikasi reflektif. Dari pembelaan citra menuju pembukaan ruang evaluasi. Dari tuntutan empati sepihak menuju dialog yang setara.

Negara tidak kehilangan wibawa dengan mengakui keterbatasan. Justru sebaliknya, kejujuran dan keterbukaan adalah sumber legitimasi yang paling kuat dalam demokrasi.

Bencana bukan panggung untuk adu narasi, melainkan ujian etika kekuasaan. Ketika negara meminta untuk dipahami, ia juga harus bersedia memahami.

Ketika aparat bekerja keras, kebijakan tetap harus dievaluasi. Ketika kritik muncul, ia tidak perlu diredam, tetapi dikelola sebagai energi perbaikan.

Dalam demokrasi, kehadiran negara tidak diukur dari seberapa keras ia membela diri, melainkan dari seberapa lapang ia membuka diri terhadap suara warganya—terutama mereka yang paling menderita. Dan di situlah sesungguhnya negara diuji.

Tag:  #saat #negara #minta #dipahami #komunikasi #kekuasaan #tengah #bencana

KOMENTAR