Menanam Sawit di Papua: Risiko Ekologi dan Pelajaran dari Sumatera
- Menanam dan membudidayakan perkebunan sawit di Papua, memiliki berbagai persoalan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Persoalan tersebut mulai dari di tingkat petani sampai dengan isu lingkungan.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menegaskan bahwa Papua dan bahkan Indonesia secara keseluruhan saat ini berada di ambang batas daya dukung lingkungan.
Menurutnya, perluasan lahan tanam sawit di Papua tidak memiliki landasan ekologis maupun tata ruang yang kuat, dan justru berpotensi memicu kerusakan lingkungan permanen.
Berdasarkan riset Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) yang dilakukan Sawit Watch, kondisi Papua sudah berada pada status kritis.
Total potensi lahan sawit yang dinilai sesuai dan optimal atau nilai batas atas (cap) di Pulau Papua hanya sekitar 290.837 hektar.
Sementara itu, luas perkebunan sawit yang telah eksisting hingga 2022 mencapai 290.659 hektar.
Angka ini menunjukkan bahwa Papua hampir sepenuhnya telah mencapai kapasitas ideal ekosistemnya untuk sawit.
“Artinya, ruang ekologis Papua untuk sawit sudah sangat sempit dan nyaris jenuh,” ujar Achmad kepada Kompas.com, Kamis (18/12/2025).
Kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan karena sebagian perkebunan sawit yang sudah ada justru berada di wilayah yang seharusnya dilindungi.
Sawit Watch mencatat sekitar 75.308 hektar kebun sawit di Papua berdiri di kawasan dengan variabel pembatas, seperti hutan primer, kawasan konservasi, kawasan bernilai keanekaragaman hayati penting (KBA), serta habitat burung cenderawasih.
Burung cenderawasih
Menurut Achmad, pembukaan lahan baru di Papua sama artinya dengan menghancurkan ekosistem penting yang memiliki nilai ekologis dan budaya tinggi, serta sulit, bahkan mustahil, dipulihkan.
Situasi di Papua, lanjut Achmad, tidak terlepas dari gambaran kondisi nasional. Secara keseluruhan, ruang ekspansi sawit di Indonesia dinilai hampir terlampaui.
Total daya dukung lingkungan untuk sawit seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 18,15 juta hektar, sementara luas lahan sawit tertanam saat ini telah mencapai sekitar 17,3 juta hektar.
Dengan margin yang semakin tipis, setiap penambahan lahan baru berisiko besar melampaui kemampuan alam dalam menopang aktivitas perkebunan secara berkelanjutan.
Achmad mengingatkan bahwa rencana ekspansi sawit di Papua berpotensi mengulang bencana ekologis yang telah terjadi di Sumatera.
Krisis iklim dan bencana lingkungan yang berulang di pulau tersebut dinilai sebagai bukti nyata kegagalan tata kelola sawit dan pengabaian terhadap daya dukung lingkungan.
Di Sumatera, luas tutupan sawit tercatat mencapai sekitar 10,70 juta hektar, sedikit melampaui nilai batas atas (cap) sebesar 10,69 juta hektar.
Lebih dari itu, sekitar 5,97 juta hektar perkebunan sawit berada di wilayah variabel pembatas, seperti lahan gambut dan daerah tangkapan air.
Kondisi tersebut, menurut Sawit Watch, berkorelasi erat dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologis.
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Mandailing Natal di Sumatera Utara, serta Pesisir Selatan di Sumatera Barat dinilai bukan sekadar akibat cuaca ekstrem.
“Analisis spasial menunjukkan sekitar 320.807 hektar konsesi sawit berada di bentang lanskap yang mengalami banjir parah,” jelasnya.
Pembukaan hutan di Aceh untuk sawit dan tambang ilegal.
Konversi hutan di wilayah variabel pembatas menjadi perkebunan sawit monokultur telah menghilangkan fungsi alami hutan sebagai “spons” penyerap air, sehingga limpasan air meningkat tajam dan memperparah bencana.
Jika pola yang sama diterapkan di Papua, Achmad menilai risikonya bisa jauh lebih besar. Papua masih memiliki bentang alam yang relatif utuh dan berfungsi sebagai penyangga ekologis penting, baik bagi Indonesia maupun dunia.
“Kerusakan hutan di wilayah ini tidak hanya berdampak pada lingkungan lokal, tetapi juga terhadap keanekaragaman hayati global, emisi karbon, serta keberlangsungan hidup masyarakat adat yang bergantung langsung pada hutan,” kata dia.
“Papua seharusnya menjadi pelajaran terakhir, bukan korban berikutnya,” tambahnya.
Sederet tantangan penanaman sawit di Papua
Peneliti Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menilai tantangan pertama yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana merancang kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan benar-benar berpihak pada petani tanpa mengorbankan lingkungan.
Menurut Eliza, mengoptimalisasi skema insentif untuk mendorong petani meningkatkan produktivitas, perlu dilakukan.
Dia bilang, selama ini pembiayaan sektor sawit banyak bersumber dari pungutan ekspor yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun, alokasi dana tersebut dinilai masih lebih banyak mengalir ke perusahaan besar, terutama untuk riset dan pengembangan produk turunan sawit, dibandingkan langsung menyentuh kebutuhan petani.
“Jadi, memang reformulasi pos pos anggaran BPDKS itu perlu untuk lebih berkeadilan. Dengan begitu petani selama replanting bisa dapat insentif dari dana ini,” ungkap Eliza.
Menurut dia, banyaknya dana yang mengalir ke perusahaan besar membuat petani kerap kesulitan bertahan secara ekonomi, terutama saat mengikuti program peremajaan sawit rakyat atau replanting yang membutuhkan waktu panjang sebelum menghasilkan.
“Nah BPDKS ini lebih banyak digunakan untuk insentif R and D (riset dan pengembangan) produk turunan sawit ke perusahaan-perusahaan besar ketimbang digunakan untuk petani,” jelas Eliza.
“Jadi memang perlu reformulasi pos-pos anggaran BPDKS agar berkeadilan. Dengan begitu petani selama replanting bisa dapt insentif dr dana ini,” tambah dia.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah persoalan legalitas lahan. Banyak kebun sawit rakyat, termasuk di wilayah Papua dan daerah pinggiran hutan lainnya, berada di kawasan yang belum teridentifikasi secara jelas sebagai lahan perkebunan rakyat.
Tumpang tindih dengan kawasan hutan membuat proses sertifikasi lahan menjadi rumit. Padahal, akses terhadap program replanting umumnya mensyaratkan lahan yang telah terdata dan bersertifikat.
“Kebanyakan petani, lahannya di hutan yang belum terindentifikasi sebagai lahan perkebunn rakyat. Sertifikasi lahan sulit, karena overlap dengan kawasan hutan,” ungkapnya.
Eliza juga menyoroti lemahnya koordinasi antarpemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, daerah, maupun swasta, serta komunikasi yang belum berjalan efektif. Menurut dia, hal ini semakin memperlambat penyelesaian persoalan ini.
Produktivitas rendah
Eliza menekankan bahwa rendahnya produktivitas sawit Indonesia dibandingkan Malaysia juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi kebun rakyat.
Produktivitas terendah justru berasal dari kebun milik petani, yang disebabkan keterbatasan modal untuk menggunakan bibit unggul bersertifikat dan pemupukan yang memadai.
Di sisi lain, pupuk untuk perkebunan sawit tidak disubsidi dan harganya relatif mahal. Jenis pupuk yang tersedia pun sering kali tidak dirancang khusus untuk kebutuhan tanaman sawit, sehingga hasilnya jauh dari optimal.
“Petani memiliki keterbatasan dana untuk menggunakan bibit sawit yang unggul dan tersertifikasi, serta tidak cukupnya pupuk yang diberikan, karena pupuk untuk perkebunan itu non subsidi yang hrganya mahal,” jelasnya.
“Sudah gitu, jenis pupuk yang trsedia itu pupuk yang tidak di design khusus tanaman sawit,” lanjut dia.
Ekspansi lahan demi biodiesel
Menurut Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, upaya meningkatkan produksi energi alternatif lewat jalan ekspansi lahan, bukan solusi. Ini bahkan dinilai akan memperparah kondisi lingkungan.
“Rencana yang sejalan dengan target ekstensifikasi lahan 600.000 hektar pada 2026 dan mandatori B50 ini adalah strategi 'jalan pintas' yang berisiko memicu bencana ekologis, konflik agraria, dan krisis pangan,” tegas Achmad Surambo.
Di sisi lain, adanya kebijakan B50 akan memicu dilema antara pangan dan bahan bakar. Menurut dia, rencana mandatori B50 pada 2026 yang membutuhkan tambahan bahan baku FAME hingga 19 juta kiloliter berisiko memicu perebutan CPO antara kebutuhan energi (BBM) dan kebutuhan pangan (minyak goreng).
“Ini akan mengancam pasokan dan berpotensi memicu kelangkaan serta kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri,” tambahnya.
Menyambung Achmad Surambo, Eliza mengingatkan bahwa konsekuensi dari strategi ini adalah konversi hutan yang tersisa, terutama jika ditempuh melalui perluasan lahan.
“Kita masih berada dalam situasi duka akibat bencana alam yang dipicu tata kelola sumber daya alam yang serampangan,” kata Eliza.
“Ini seharusnya menjadi peringatan bahwa lingkungan tidak lagi bisa dikorbankan demi ambisi ekonomi,” tambah Eliza.
Ia menegaskan, peningkatan produksi sawit seharusnya tidak dilakukan melalui ekspansi lahan, melainkan dengan mengoptimalkan kebun yang sudah ada. Saat ini, perkebunan sawit rakyat menyumbang sekitar 34,84 persen dari total produksi nasional.
Jika produktivitas kebun rakyat dapat ditingkatkan melalui intensifikasi, tambahan produksi minyak sawit mentah (CPO) bisa diperoleh tanpa harus membuka hutan baru.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat moratorium sawit yang diterapkan sejak 2018, yang menekankan prinsip “intensifikasi tanpa ekspansi”.
Peremajaan sawit
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono menilai bahwa peremajaan sawit menjadi kunci utama dalam meningkatkan produksi tanpa harus membuka lahan baru.
Dia bilang, untuk memenuhi kebutuhan energi, maka strategi yang paling tepat adalah mengutamakan intensifikasi terlebih dahulu. Salah satu langkah penting dalam intensifikasi tersebut adalah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Namun hingga kini, realisasi PSR masih berjalan sangat lambat dan belum pernah mencapai target yang ditetapkan pemerintah.
“Untuk pemenuhan kebutuhan energi, memang sebaiknya diutamakan intensifikasi terlebih dahulu, utamanya peremajaan sawit rakyat (PSR) sangat lambat tidak pernah mencapai target,” ujar Eddy.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono dalam acara Halal Bihalal Gapki di Jakarta, Selasa (30/4/2024).
Kondisi tersebut mendorong pelaku usaha untuk mengambil inisiatif meningkatkan produktivitas melalui berbagai inovasi.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), misalnya, terus mendorong intensifikasi di tingkat perkebunan dengan melakukan introduksi serangga penyerbuk serta pengembangan bahan tanaman unggul baru, termasuk yang berasal dari Tanzania.
Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan hasil panen tanpa menambah luas areal tanam, sekaligus memperbaiki efisiensi pengelolaan kebun.
“Kalau GAPKI saat ini terus berupaya melakukan intensifikasi dengan melakukan introduksi serangga penyerbuk dan bahan tanaman baru saat ini dari Tanzania, ini terus kita kembangkan,” ujar Eddy.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan anggota GAPKI juga telah menjalankan program replanting secara bertahap. Saat ini, replanting dilakukan sekitar 5 hingga 10 persen per tahun dari total areal kebun yang dikelola.
Langkah tersebut dipandang sebagai upaya realistis untuk menjaga kesinambungan produksi jangka panjang, sekaligus sejalan dengan komitmen mengurangi tekanan terhadap hutan dan lingkungan akibat ekspansi lahan.
“Disamping itu perusahaan sudah melakukan replanting sekitar 5 persen hingga 10 persen per tahun,” lanjut dia.
Sependapat dengan Eddy, Eliza juga menilai bahwa program peremajaan sawit memiliki potensi besar, tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan.
“Kenapa harus ada replanting? Karena produktivitas kita rendah, tanaman yang tidak menghasilkan juga cukup besar,” ungkap Eliza.
Dia mengatakan, setiap hektar replanting diperkirakan mampu menyerap satu hingga dua pekerja langsung pada fase awal selama enam hingga 12 bulan, serta menciptakan lapangan kerja tidak langsung di sektor hilir seperti pengolahan dan distribusi.
Secara historis, program replanting juga berkontribusi pada pemulihan ekonomi pascapandemi dengan menyerap tenaga kerja di perdesaan, mendukung ketahanan pangan dan energi nasional, serta meningkatkan devisa ekspor.
Namun, realisasi program ini masih jauh dari target. Pada 2024, misalnya, luas replanting yang terealisasi hanya sekitar 38.247 hektar. Rendahnya capaian ini tidak terlepas dari kebutuhan mendesak petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Eliza menjelaskan, petani sering kali lebih memilih tetap memanen tandan buah segar meski produktivitasnya rendah, daripada melakukan replanting yang membutuhkan waktu tiga hingga empat tahun sebelum menghasilkan pendapatan, dan baru mencapai produktivitas optimal pada tahun kelima.
Selama masa tunggu tersebut, terjadi kesenjangan pendapatan yang cukup besar. Ditambah lagi, replanting membutuhkan modal awal yang tidak kecil, sementara akses petani terhadap pembiayaan formal masih terbatas.
“Replanting bersifat padat karya karena melibatkan berbagai aktivitas, mulai dari penebangan tanaman tua, persiapan lahan, penanaman bibit unggul, pemeliharaan, hingga pembangunan infrastruktur kebun,” jelasnya.
Karena itu, keberhasilan program replanting sangat bergantung pada strategi kebijakan yang diambil pemerintah. Salah satu opsi adalah memberikan insentif pendapatan bagi petani selama masa tunggu tanaman belum menghasilkan.
“Mengingat demand terhadap sawit tinggi kaena kebijakan B40, permintaan global, seringkali untuk memenuhi itu jadinya harus ekspansi (lahan) sehingga mendorong deforestasi,” jelasnya.
“Padahal lahan hutan kita ini makin sedikit, itu harus dipertahankan,” jelas dia.
Ada juga opsi lain untuk meningkatkan produksi sawit, yakni mendorong pola tanam sela atau intercropping agar petani tetap memperoleh penghasilan.
Dengan pendampingan dan bantuan bibit, petani dapat menanam jagung, kacang-kacangan, atau komoditas hortikultura lain yang berpotensi menghasilkan pendapatan Rp 5–10 juta per hektar per tahun selama dua hingga tiga tahun pertama.
“Solusi lainnya adalah petani diberikan bantuan dan didampingi untuk menanam tanaman sela yang dapat menumbukan pendapatan merreka selama masa tunggu itu,” jelasnya.
Model ini, menurut Eliza, sudah menunjukkan hasil positif. Program seperti “Sawit Plus” yang dijalankan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), misalnya, berhasil meningkatkan pendapatan petani melalui intercropping.
Di Riau, petani yang menanam jagung di sela-sela tanaman sawit mampu memanen 4–5 ton per hektar dalam waktu empat bulan, cukup untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari.
“Contoh suksesnya misal d riau, petani intercropping jagung panen 4-5 ton/ha dalam 4 bulan, cukup untuk kebutuhan hidup,” tegas dia.
Sementara itu, Achmad Surambo menilai adanya skema Moratorium Permanen yang disertai Peremajaan Sawit Rakyat (Replanting) justru akan memberikan output ekonomi yang jauh lebih tinggi.
“Kami memproyeksikan output PDB positif hingga Rp 30,5 triliun dan mampu menyerap 827.000 orang tenaga kerja hingga tahun 2045,” jelas dia.
Tag: #menanam #sawit #papua #risiko #ekologi #pelajaran #dari #sumatera