Kasus Mardani Maming, Guru Besar Fakultas Hukum UI Rumuskan 3 Legal Issues yang jadi Dasar Kekhilafan Hakim
Terdakwa kasus gratifikasi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) Mardani H Maming usai menjalani sidang Vonis secara online di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/2/2023). Majelis Hakim memvonis Mardani M Maming dengan hukuman sepuluh tahun penjara dan denda Rp500 juta serta membayar uang pengganti sebesar Rp110 miliar FOTO : FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS
13:24
16 Oktober 2024

Kasus Mardani Maming, Guru Besar Fakultas Hukum UI Rumuskan 3 Legal Issues yang jadi Dasar Kekhilafan Hakim

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Topo Santoso, mengungkapkan sejumlah kekhilafan hakim dalam putusan kasuseks Bupati Tanah Bumbu Mardani H. Maming.

“Kesimpulan yang dapat ditarik pada intinya adalah putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata,” jelas Topo melalui keterangannya, Senin (14/10).

Pendapat hukum yang sama disampaikannya saat bedah buku berjudul Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming yang diadakan di Jogjakarta, pekan lalu. Buku tersebut menyoroti proses persidangan yang dianggap penuh kekhilafan dalam kasus tindak pidana korupsi Mardani H. Maming.

Topo merumuskan tiga legal issues atau isu hukum utama yang menjadi dasar kekhilafan tersebut. Pertama, unsur 'menerima hadiah'.

“Karena fakta-fakta yang dengan proses bisnis dan keperdataan seperti fee, dividen, dan hutang piutang ditarik seolah-olah sebagai keterpenuhan unsur menerima hadiah. Hal ini lebih merupakan konstruksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diterima oleh hakim,” jelas Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia ini.

Isu kedua ialah penggunaan unsur 'sepatutnya diduga' yang tidak tepat. Sebab unsur tersebut digunakan untuk menunjukkan culpa (kealpaan) terdakwa. Namun, menurut Topo, unsur ini tidak tepat diterapkan dalam konteks tindak pidana korupsi, yang seharusnya lebih menekankan pada opzet (kesengajaan).

Tindakan terdakwa yang melahirkan Keputusan Bupati dinilai telah sesuai dengan Hukum Administrasi Negara, dan tidak seharusnya dipersoalkan dalam ranah Hukum Pidana.

“Fakta-fakta bisnis seperti transfer antar perusahaan atau utang-piutang merupakan ranah keperdataan yang harus dipisahkan dari tindak pidana,” jelasnya.

Selain itu, telah ada Keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan bahwa itu adalah murni bisnis antar perusahaan. Dengan demikian, jika ada kontrak dan putusan pengadilan, maka tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan diam-diam.

Isu ketiga menurut Prof Topo adalah kesalahan dalam penerapan pasal 12 Huruf b UU PTPK, di mana Majelis Hakim pada tingkat pertama, yang keputusannya diperkuat oleh pengadilan banding dan kasasi, keliru dalam menyatakan terpenuhinya semua unsur pada Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).

“Tidak terlihat adanya mens rea (niat jahat) dalam tindakan terdakwa. Prosedur hukum telah dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan tidak ada hubungan kausal antara keputusan terdakwa dengan penerimaan dividen, fee, atau saham yang dianggap sebagai hadiah,” tegas Prof Topo.

Berdasarkan hasil kajian hukum ini, Prof Topo menyatakan bahwa Mardani H. Maming seharusnya dinyatakan bebas. Ia juga berpendapat bahwa Mahkamah Agung semestinya memulihkan harkat dan martabat terdakwa sesuai dengan keadaan sebelumnya.

"Dengan mempertimbangkan dokumen yang telah saya pelajari, baik putusan pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, saya menyimpulkan bahwa terdapat kekhilafan yang nyata dalam penanganan kasus ini," pungkas Topo.

Editor: Banu Adikara

Tag:  #kasus #mardani #maming #guru #besar #fakultas #hukum #rumuskan #legal #issues #yang #jadi #dasar #kekhilafan #hakim

KOMENTAR