MK Tegaskan Penyelesaian Sengketa Royalti-Hak Cipta Mesti Utamakan Restorative Justice
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, penyelesaian sengketa terkait royalti atau yang berkaitan dengan Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 harus mengedepankan pendekatan restorative justice.
MK menegaskan, penyelesaian melalui ranah pidana harus menjadi jalan terakhir atau ultimum remedium.
“Mahkamah menegaskan bahwa penegakan sanksi pidana dimaksud harus dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) sebagai bagian dari penerapan prinsip ultimum remedium,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (17/12/2025).
MK menilai, penyelesaian sengketa terkait hak cipta sepatutnya dilaksanakan dalam beberapa tahapan sebelum berujung ke pidana.
Tahapan ini mulai dari penyelesaian secara administratif, perdata, lalu restorative justice, baru setelah itu pidana.
“Artinya, sebagai salah satu wujud dari prinsip ultimum remedium, sanksi pidana dalam perlindungan hak cipta dilaksanakan apabila upaya penyelesaian secara administratif, perdata, atau prinsip restorative justice tidak tercapai,” lanjut Enny.
Diberitakan, MK mengabulkan sebagian gugatan terkait UU Hak Cipta yang diajukan oleh 29 musisi yang tergabung dalam gerakan Vibrasi Suara Indonesia (VISI).
Majelis hakim menyebutkan, frasa ‘setiap orang’ dalam Pasal 23 Ayat (5) UU Hak Cipta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial".
Lebih lanjut, majelis hakim konstitusi juga menyatakan frasa "imbalan yang wajar" dalam norma Pasal 87 Ayat (1) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
MK juga menegaskan bahwa sengketa royalti harus menggunakan pendekatan restorative justice daripada pidana.
“Menyatakan frasa "huruf f" dalam norma Pasal 113 Ayat (2) UU Hak Cipta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice",” kata Ketua MK Suhartoyo.
Tag: #tegaskan #penyelesaian #sengketa #royalti #cipta #mesti #utamakan #restorative #justice