Penagihan Utang, Kekuasaan, dan Krisis Legitimasi Negara
Petugas pemadam kebakaran memadamkan api yang membakar kios pedagang usai dibakar massa saat kericuhan di kawasan Kalibata, Jakarta, Kamis (11/12/2025). Kericuhan tersebut dipicu oleh pengeroyokan dua debt collector atau agen lapangan penagih utang di Jalan Kalibata pada Kamis (11/12) sekitar pukul 15.30 WIB yang mengakibatkan satu orang tewas dan satu lainnya mengalami luka berat. (ANTARA FOTO/Fauzan)
13:32
17 Desember 2025

Penagihan Utang, Kekuasaan, dan Krisis Legitimasi Negara

KETIKA penagihan utang berujung pada kematian dan kerusuhan, sesungguhnya masyarakat menyaksikan dengan mata telanjang kegagalan negara menjaga keseimbangan antara ketertiban dan keadilan.

Tragedi di Kalibata, Jakarta, tidak dapat dibaca semata sebagai peristiwa kriminal yang berdiri sendiri. Ia adalah peristiwa politik dalam arti yang paling mendasar: momen ketika relasi begitu retak di hadapan publik.

Kekerasan, yang seharusnya dimonopoli dan dikendalikan oleh negara, justru menyebar ke tangan aktor-aktor informal yang bergerak di luar kendali hukum.

Padahal Negara diberi mandat untuk mengatur, menertibkan, dan melindungi, bukan sekadar mengelola.

Ketika warga merasa lebih takut pada debt collector, daripada percaya pada hukum dan aparat, karuan saja legitimasi itu mulai runtuh dari dalam. Rasa aman bergeser menjadi rasa cemas, dan hukum kehilangan aura perlindungannya.

Dalam situasi legitimasi yang rapuh, amarah sosial menjadi mudah tersulut. Ketidakadilan yang menumpuk mencari salurannya sendiri, dan tindakan main hakim sendiri mulai dipandang sebagai keadilan alternatif.

Kekerasan berubah menjadi bahasa yang dimengerti banyak orang, terutama ketika jalur hukum terasa jauh, lamban, dan tak berpihak. Di titik ini, negara tidak hanya kehilangan kendali, tetapi juga kehilangan kepercayaan.

Tragedi Kalibata memperlihatkan bagaimana konflik ekonomi yang tampak kecil di permukaan—tunggakan cicilan, penarikan kendaraan—dapat bermetamorfosis menjadi krisis sosial-politik.

Ia adalah sinyal bahaya bahwa persoalan ekonomi mikro, jika dibiarkan tanpa regulasi dan penegakan hukum yang adil, dapat mengganggu stabilitas sosial yang lebih luas. Api yang menyala di satu sudut kota bisa menjadi cermin kegagalan tata kelola secara nasional.

Desakan Komisi III DPR agar Otoritas Jasa Keuangan menghapus aturan penagihan utang oleh pihak ketiga, sejatinya adalah jeritan halus dari kegagalan negara menjalankan fungsi regulatifnya.

Ketika aturan justru melahirkan ketakutan, hukum kehilangan makna etiknya. POJK Nomor 35 Tahun 2018 dan POJK Nomor 22 Tahun 2023 tampil rapi di atas kertas, tapi di lapangan ia berubah menjadi selimut tipis yang menutupi praktik kekerasan.

Negara seolah tidak mencegah, melainkan mengatur kadar kekerasan agar tetap berjalan dalam batas administratif.

Maka regulasi ini memperlihatkan negara yang bernegosiasi dengan kepentingan pasar. Demi menjaga denyut industri pembiayaan, negara memilih bersikap lunak terhadap cara-cara penagihan yang secara sosial merusak. Stabilitas ekonomi diletakkan lebih tinggi daripada rasa aman warga.

Pengawasan yang longgar dan sanksi yang nyaris simbolik, menandakan bahwa perlindungan masyarakat tidak ditempatkan sebagai kepentingan utama, melainkan sebagai konsekuensi sampingan.

Negara pun perlahan bergeser perannya. Ia tidak lagi hadir sebagai pelindung, tetapi sebagai fasilitator pasar.

Kekuasaan regulatifnya digunakan untuk memastikan roda ekonomi tetap berputar, meski harus mengorbankan ketenangan hidup masyarakat kecil.

Dalam situasi ini, hukum kehilangan daya emansipatorisnya; ia tidak membebaskan, tetapi justru membungkam dan menormalisasi ketimpangan.

Paradoks demokrasi pun tak terelakkan. Di satu sisi negara dengan lantang mengafirmasi hak asasi manusia dan supremasi hukum, di sisi lain membiarkan praktik penagihan yang mencederai nilai-nilai tersebut berlangsung nyaris tanpa koreksi.

Demokrasi tampil sebagai retorika, sementara di ruang hidup warga, ketakutan menjadi pengalaman sehari-hari. Regulasi yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi instrumen kompromi politik antara negara dan modal.

Oleh karenanya desakan DPR ini mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar perangkat teknis, melainkan cermin pilihan moral negara.

Apakah negara akan terus bersembunyi di balik stabilitas ekonomi, atau berani menegaskan bahwa martabat warga lebih utama daripada kepentingan pasar.

Di sanalah kualitas demokrasi diuji—bukan di podium pidato, melainkan di cara negara melindungi warganya dari kekerasan yang dilegalkan.

Jadi, penagihan utang oleh pihak ketiga tidak lagi dapat dipahami semata sebagai urusan teknis industri keuangan. Ia telah beralih rupa menjadi cermin sosial-politik, yang memantulkan cara kekuasaan bekerja di ruang paling sunyi: kehidupan warga.

Ketika debt collector datang dengan suara meninggi, tatapan mengancam, dan gestur kekerasan, yang hadir sejatinya bukan hanya individu penagih, melainkan wajah keras dari relasi kuasa antara negara, pasar, dan masyarakat kecil.

Di situlah utang kehilangan sifat administratifnya dan berubah menjadi pengalaman eksistensial tentang takut, tunduk, dan terdesak.

Dalam negara yang mengaku demokratis, hukum seharusnya berdiri sebagai penengah yang adil, menjaga jarak setara antara kepentingan modal dan hak warga negara.

Namun, praktik penagihan yang brutal justru memperlihatkan pembalikan peran yang getir: hukum melemah, sementara kekuasaan ekonomi menyusup mengambil alih fungsi koersif negara.

Penagihan utang pun tak lagi netral, melainkan sarat muatan politik —politik ketimpangan yang menormalisasi dominasi, politik ketakutan yang membungkam perlawanan, dan politik pemaksaan yang bekerja tanpa rasa malu.

Di tengah situasi inilah masyarakat lapisan bawah menjadi tubuh yang paling rentan. Mereka tidak hanya memikul beban ekonomi yang berat, tetapi juga tekanan psikologis dan stigma sosial yang menggerus harga diri.

Ketika utang berubah menjadi teror, yang dipertaruhkan bukan lagi sekadar kendaraan atau aset, melainkan martabat kewargaan.

Warga tidak lagi merasa sebagai subjek hukum yang dilindungi, melainkan objek penagihan yang dapat ditekan kapan saja, di ruang publik maupun privat.

Kesadaran akan krisis inilah yang sangat boleh jadi mendorong Komisi III DPR mendesak Otoritas Jasa Keuangan, untuk menghapuskan peraturan yang membolehkan penagihan utang oleh pihak ketiga atau debt collector.

Desakan itu bukan sekadar respons atas kekerasan yang berulang, melainkan penanda kegelisahan negara terhadap runtuhnya legitimasi hukum.

Ketika penagihan diserahkan kepada debt collector yang bekerja dengan logika target dan ancaman, negara seolah menyerahkan sebagian kewenangan koersifnya kepada aktor non-negara, dan membiarkan hukum bernegosiasi dengan kekerasan.

Reformasi penagihan utang

Reformasi penagihan utang tidak boleh lagi dipahami sebagai urusan teknis industri keuangan semata. Ia harus diletakkan sebagai agenda politik keadilan sosial, karena menyentuh langsung relasi kuasa antara negara, pasar, dan warga.

Selama penagihan diserahkan kepada pihak ketiga yang bekerja dengan logika target dan tekanan, kekerasan pun akan selalu menemukan jalannya.

Maka pengembalian fungsi penagihan kepada kreditur bukan hanya soal efisiensi, melainkan pernyataan politik tentang tanggung jawab dan akuntabilitas.

Dalam negara hukum, penagihan utang semestinya berjalan di atas prosedur yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Dialog harus menjadi jalan utama, bukan intimidasi.

Debitur memang memikul kewajiban hukum, tetapi kewajiban itu tidak pernah membenarkan perampasan martabat.

Di titik itulah negara diuji: apakah ia hadir untuk melindungi warga dari penyalahgunaan kekuasaan ekonomi, atau justru membiarkan kekerasan pasar bekerja atas nama stabilitas.

Pilihan negara dalam isu ini bukan pilihan netral. Ia adalah pilihan etis dan politis. Ketika negara membiarkan praktik penagihan yang kasar, ia sesungguhnya sedang memihak pada kekuatan modal.

Sebaliknya, ketika negara menegakkan prosedur hukum dan melindungi martabat warga, ia sedang menegaskan bahwa demokrasi bukan sekadar mekanisme ekonomi, melainkan ruang keadilan sosial.

Ekosistem leasing yang sehat hanya dapat tumbuh dalam tatanan sosial-politik yang adil. Hukum harus dihormati bukan karena takut, tetapi karena dipercaya. Pasar harus beretika, bukan karena diawasi semata, tetapi karena disadari batas-batas moralnya.

Dan masyarakat harus merasa aman, karena tanpa rasa aman, tidak ada kontrak sosial yang dapat bertahan.

Jika reformasi ini gagal dilakukan, setiap penarikan kendaraan akan selalu menyimpan potensi konflik politik kecil.

Konflik-konflik kecil itulah yang, jika terus diabaikan, perlahan menumpuk menjadi krisis sosial yang lebih besar. Di sanalah kita belajar bahwa keadilan yang diabaikan hari ini akan menjelma menjadi ketidakstabilan esok hari.

Tag:  #penagihan #utang #kekuasaan #krisis #legitimasi #negara

KOMENTAR