Mengapa Prabowo Ingin Tambah Polisi Hutan?
- Banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatera telah menelan korban jiwa lebih dari 1.000 orang. Bencana ekologis ini sekaligus membuka mata banyak pihak bahwa terdapat persoalan yang lebih serius di dalamnya, yaitu adanya dugaan ilegal logging yang masif.
Temuan ribuan kubik gelondongan kayu yang terbawa arus pasca-banjir bandang diduga merupakan sisa pembalakan liar di wilayah terdampak. Presiden Prabowo Subianto pun merespon dengan mengambil langkah tegas, menindak para pembalak, serta hendak melipatgandakan jumlah polisi hutan.
Rasio Pengawasan yang Mustahil
Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengungkap adanya ketimpangan yang sangat besar antara luas wilayah hutan dengan jumlah personel polisi hutan yang bertugas menjaganya.
Di Aceh, misalnya, jumlah hutan di wilayah tersebut mencapai 3,5 juta hektare. Sementara, polisi hutan yang menjaganya hanya 32 orang. Dalam hitungan matematis, seorang polisi hutan harus mengawasi sekitar 109.000 hektare lahan hutan.
Pengawasan wilayah hutan pun menjadi tantangan serius yang harus dilakukan oleh mereka. Di samping tugas penindakan lain yang tak kalah menantang, seperti mencegah dan menindak setiap pelaku pembalakan liar, perambahan hutan, perburuan satwa yang dilindungi dan pembakaran hutan.
"Ini sama sekali tidak masuk akal dan Pak Presiden langsung meminta kepada saya untuk melipatgandakan jumlah polisi hutan kita. Sehingga illegal logging yang kemudian mengakibatkan rusaknya hutan kita dapat diatasi sesegera mungkin," ujar Raja Juli dalam jumpa pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025).
Tak Cukup Hanya Andalkan SDM
Meski begitu, pola pengawasan hutan dinilai Wakil Ketua Komisi IV DPR Alex Indra Lukman tak cukup hanya dengan mengandalkan polisi hutan.
Menurutnya, Indonesia dianugerahi wilayah hutan yang sangat luas. Sehingga, apabila pemerintah hanya mengandalkan sumber daya manusia (SDM) untuk mengawasinya, tentu tidak akan cukup mencegah pembalakan liar kembali terjadi.
"Saking luasnya, sehingga sulit bila hanya mengandalkan sumber daya manusia untuk melindungi bila tidak didukung oleh teknologi," kata Alex kepada Kompas.com, Selasa (16/12/2025).
Untuk itu, Alex meyakini, diperlukan pemasangan teknologi di hutan untuk mencegah terjadinya illegal logging.
"Kita harus gunakan teknologi yang bisa baca bukaan hutan dalam skala kecil, sehingga bisa dilakukan pencegahan," imbuh Alex.
Sementara itu, anggota Komisi IV Daniel Johan mendukung rencana penambahan polisi hutan. Bahkan, rekomendasi serupa sudah pernah disampaikan Komisi IV sejak beberapa waktu lalu, namun tak pernah dihiraukan oleh menteri kehutanan yang menjabat.
Tumpukan kayu gelondongan yang hanyut dari hulu sungai saat banjir bandang dan longsor melanda Aceh Tamiang sejak Rabu (26/11/2025).
"Komisi ini menilai perintah Presiden untuk meningkatkan jumlah polisi hutan sangat relevan dengan agenda menjaga kelestarian lingkungan dan mitigasi bencana ekologis, apalagi berkaitan dengan bencana banjir bandang baru-baru ini," ujar Daniel.
"Kita sudah dari dulu menyampaikan kepada Kementerian Kehutanan bahkan di era sebelumnya, bahwa polisi hutan kita harus diperkuat, diperbanyak jumlah personilnya. Tetapi faktanya, rekomendasi dari DPR Komisi IV tidak dijalankan," sambungnya.
Dianggap Tak Efektif
Namun, rencana penambahan ini dinilai kurang efektif untuk menyelesaikan akar persoalan bencana ekologis yang terjadi.
Manager Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Teo Reffelsen, menilai bahwa akar persoalan kerusakan lingkungan justru terletak pada kebijakan perizinan di kawasan hutan.
“Penambahan polisi hutan tidak akan efektif tanpa evaluasi dan penataan ulang serta pencabutan izin usaha yang telah diberikan di dalam kawasan hutan,” ujar Teo kepada Kompas.com.
Menurut Walhi, pemberian izin secara serampangan untuk industri ekstraktif dan perkebunan monokultur merupakan penyebab utama kerusakan hutan yang berujung pada bencana ekologis.
Teo menegaskan, semua dampak kerusakan lingkungan seharusnya sudah bisa diprediksi sejak awal melalui dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
"Jika memang akan ada dampak kerusakan sistemik terhadap lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, seharusnya izin tidak diberikan,” imbuhnya.